Sinta memang merasa sangat terbantu dengan kehadiran Raihan, putra sulungnya yang sudah duduk di bangku sekolah dasar untuk meng-handle Devo yang usianya belum genap 3 tahun. Setiap kali merasa kerepotan, Sinta tinggal memanggil si sulung dan segalanya lantas beres. Apalagi, sang kakak sangat menyayangi adiknya, sehingga dengan senang hati membantu mengatasi kerepotan tersebut.
Sekilas tidak ada masalah. Semuanya berjalan harmonis. Sampai suatu hari Sinta menya-dari ada yang salah dengan putra bungsunya. "Tiap kali mau mengerjakan sesuatu, dia harus tanya kakaknya dulu. Pokoknya, semua tergantung kakak. Kalau kakaknya bilang biru, ikut biru, merah ya ikut merah. Saya jadi agak khawatir," keluhnya.
Apa yang dialami Devo sebenarnya tidak terjadi tiba-tiba. Seringnya orangtua meminta anak yang lebih besar mem-bantu si batita, lama-lama membuatnya sangat tergantung pada sang kakak. Fase otonomi atau kemandirian yang seharusnya mulai terbentuk di usia ini menjadi terganggu. Sedikit-sedikit ia minta bantuan, belum apa-apa sudah bertanya, dan banyak lagi sikap yang menunjukkan pola ketergantungan.
Kehadiran kakak sebagai sosok yang sangat berpengaruh bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, meniru kakak secara tidak langsung mengasah kemampuan berpikir dan motorik si batita. Namun di sisi lain, ia mungkin saja menjadi tidak mandiri gara-gara selalu mendapat bantuan dari sang kakak. Misalnya, kalau kakak mewarnai gambar langit dengan warna biru, ia selalu meniru pola tersebut. Demikian juga cara memakai baju, memilih makanan, menjawab pertanyaan dan sebagainya.
Sebetulnya, figur penghambat perkembangan ini tidak hanya kakak. Orangtua, pengasuh, kakek-nenek, saudara atau siapa pun yang terlalu "mendominasi" hidup si batita akan memberikan efek yang sama. Intinya, mereka inilah yang selalu menjadi sandaran mutlak atas kegamangan anak saat menemui masalah, baik masalah sepele maupun masalah berat.
Bila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, rasa percaya diri batita tidak akan berkembang maksimal. Akibatnya, ia tidak belajar untuk memercayai penilaiannya sendiri. Besar kemungkinan ia tumbuh menjadi anak yang penakut dan memiliki ketergantungan yang amat tinggi pada lingkungan. Tanpa bertanya atau meniru figur yang dianggapnya sebagai "patron", ia tidak pernah yakin dengan keputusan yang dibuatnya sendiri. Dalam jangka panjang, masalah ini tentu berakibat fatal.
KIAT MENGOREKSI
Bila orangtua jeli mengamati perkembangan anak seperti yang dilakukan Sinta, penanganan dini semestinya dapat segera dilakukan. Lebih "untung" lagi kalau terhambatnya perkembangan ini sudah terdeteksi sejak anak masih batita. Koreksi yang dilakukan jadi relatif lebih "mudah" sebab perkembangan fase otonomi baru saja dimulai. Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan orangtua:
* Kurangi ketergantungan secara bertahap
Langkah pertama yang bisa dilakukan orangtua adalah mengurangi tingkat keter-gantungan anak pada sosok yang dijadikannya sebagai patron. Entah itu kakak, orangtua, pengasuh atau lainnya. Lakukan perubahan secara bertahap. Misalnya saat ia bertanya, "Pakai baju biru atau merah ya, Kak?" Pancinglah dengan pertanyaan, "Coba adek yang milih, biru apa merah. Biar nanti kakak yang nyamain." Setiap kali ada kesempatan, latih terus dengan kondisi yang mengharuskannya menen-tukan pilihan. Mulailah dengan pilihan-pilihan sederhana kemudian lama-kelamaan makin tinggi tingkat kesulitannya.
* Tawarkan lingkungan yang lebih luas
KOMENTAR