"Sudah keempat kalinya aku membenarkan hidungku agar lebih mancung, tapi kenapa rasanya masih kurang?" Itulah yang dirasakan orang yang kecanduan operasi plastik. Sekali dua kali operasi plastik, masih bisa diterima apalagi jika alasannya logis dan memang dibutuhkan. Namun bagaimana jika operasi plastik terus-menerus dilakukan?
Satu Bagian Tubuh
Ditemui di kampus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, Psikolog Agustine Dwiputri menjelaskan bahwa gangguan ini disebut body dysmorphic disorder. "Ini termasuk salah satu gangguan somatoform yaitu gangguan yang berkaitan dengan kecemasan dengan tubuhnya. Meskipun sebetulnya tubuhnya tidak ada masalah," urai Agustine. Penderita juga biasanya hanya fokus pada salah satu bagian tubuhnya yang selalu dianggap kurang sempurna. "Misalnya hidungnya kurang mancung, maka ia buat mancung. Mata kecil, dibuat besar atau memutihkan kulit terus-menerus," ujar Agustine. Psikolog ini juga mengingatkan bahwa body dysmorphic disorder bisa terjadi pada lelaki. Misalnya merasa alat vitalnya terlalu kecil atau memakai bantuan medis untuk membesarkan ototnya.
Keresahan akan penampilan ini berhubungan erat dengan standar kecantikan yang berlaku pada saat itu. Misalnya cantik berarti hidung mancung, kulit putih, bibir tipis, atau mata besar. "Paparan dari lingkungan sekitar khususnya media massa atau iklan sangat berpengaruh pada orang tertentu yang memiliki predisposisi. Sehingga kalau stres muncul karena diledek sedikit, dia malah berusaha untuk mendapatkan apa yang dia pikir ideal atau benar."
Cemas Tak Berujung
Predisposisi berarti kecenderungan khusus ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu atau kecenderungan untuk menerima atau menolak sesuatu berdasarkan pengalaman dan norma yang dimilikinya. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan penderita body dysmorphic disorder dengan mudahnya mencontoh standar kecantikan di media massa atau iklan. "Yang paling berharga bagi mereka adalah penampilan dan wajah," tambah Agustine.
"Pasti ada kondisi individual pada orang tersebut yaitu predisposisi atau kecenderungan mudah meniru dan mudah cemas terhadap situasi yang membuat dirinya terancam. Biasanya ini selalu berkaitan dengan rendahnya harga diri," lanjut Agustine. Sehingga ketika ada seseorang menoleh saat ia berjalan atau diejek oleh kawannya, bahkan dikomentari salah satu bagian tubuhnya, penderita bisa sangat cemas dan lelah. "Berjam-jam melihat di cermin, itu kan, melelahkan karena treatment-nya bukan itu (operasi plastik, Red.)," tegas Agustine.
"Memperbaiki" Tanpa Henti
Tetapi, jika seseorang menghilangkan kerutan di wajahnya dengan operasi plastik, bukan berarti ia terkena body dysmorphic disorder. Bisa saja, ia hanya ingin tampil lebih muda. Atau, "Ada juga yang memang dia habis kecelakaan dan harus melakukan operasi plastik yang tak hanya sekali," ujar Agustine.
Lantas bagaimana membedakannya? "Ketika ia selalu tak merasa puas dengan keadaan tubuhnya dan ingin memperbaikinya melalui operasinya itulah penderita body dysmorphic disorder," jelas Agustine. Sayangnya, menurut Agustine, penderita gangguan body dysmorphic disorder jarang meminta bantuan psikolog karena lebih memilih pergi ke dokter bedah kecantikan atau melakukan doctor shopping untuk membenarkan tindakannya. Bahkan sekalipun sudah diingatkan, penderita body dysmorphic disorder sering menolak masukan dokternya.
Bisa Ditiru Anak
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR