Daripada merasa terpaksa, lebih baik lihat dengan kacamata positif bila pasangan minta yang "aneh-aneh" saat berintim-intim. Toh, manfaatnya bisa dirasakan bersama.
"Bayangin, gimana nggak sebel? Masak, sih, setiap kali kami hendak berintim- intim, aku mesti dandan lengkap. Pakai baju seksi, sepatu hak tinggi!Jangan-jangan suamiku punya kelainan, ya?" begitu keluhan seorang ibu saat berkonsultasi ke pakarnya. Bagi sebagian perempuan, terutama yang malas berdandan, rutinitas semacam itu boleh jadi dianggap sebagai siksaan. Apalagi bila ajakan tersebut datang kala si istri sudah mengantuk atau tengah bergegas menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga.
Banyak memang, kebiasaan atau "ritual" yang menurut orang awam "aneh" yang dilakukan suami/istri saat berintim-intim. "Bahkan, ada, lo, suami yang mengharuskan istrinya selalu mengenakan wig(rambut palsu) setiap kali mereka berhubungan intim," ujar Dr. Sukiat memberi contoh. Dan hitung punya hitung, lanjut doktor psikologi dari Fakultas Psikologi UI, konon selama 5 tahun usia perkawinan pasiennya itu, tak kurang dari 275 wig telah digunakan si istri! Sementara bila tak mau mengenakan wig pilihannya, si suami kabarnya akan ngambek tak mau bertegur sapa selama berminggu-minggu dengan sang istri. Repot, kan?
BUKAN KELAINAN SEKS
Menurut Sukiat, permintaan "aneh" semacam itu sebetulnya wajar-wajar saja, kok. Sama sekali tak bisa dikategorikan sebagai keanehan. Apalagi disebut kelainan seksual. "Harus ada patokan bakunya, dong, kalau mau mengklasifikasikannya sebagai keanehan/kelainan. Kalau memang enggak normal, lalu bagaimana yang normal?" tandas Sukiat.
Normal-tidaknya perilaku seks seseorang, lanjut Sukiat, bisa dinilai berdasar perhitungan statistik, budaya/pandangan masyarakat yang berlaku, semisal homoseksual yang di Barat sudah bisa diterima, sementara di masyarakat Timur masih ditabukan. Atau kepercayaan masyarakat tertentu yang buat kita mungkin terasa begitu "ajaib".
Lebih lanjut Sukiat memberi contoh suami/istri yang suka menciumi jempol pasangan. "Itu, kan, bagian dari foreplay? Apa mau dibilang aneh atau tak normal kalau memang itu dilakukan untuk merangsang pasangan?" Soalnya, mayoritas wanita merasa rikuh, malu, alias enggan berterus terang pada suaminya tentang daerah mana saja yang memberinya kepuasan tertinggi. Alhasil, suami mesti rajin bereksplorasi menjelajahi tubuh istrinya untuk mencari daerah erogen. Nah, boleh jadi saat coba-coba lewat trial and error muncul hal-hal baru di antara suami istri yang akhirnya dijadikan rutinitas lantaran dirasa memberi kesenangan.
Daerah erogen atau yang peka terhadap rangsangan, memang sangat individual sifatnya. Dalam arti, belum tentu semua wanita terbangkitkan gairahnya saat diraba puting dadanya, misalnya. Tak heran kalau ada istri/suami yang tergila-gila menciumi ketiak suami/istrinya setiap kali ingin bermesraan. Tentu saja suami/istri yang jadi sasaran kerap merasa risih atau khawatir menyebarkan bau tak sedap.
Bercermin saat berhubungan intim, kata Sukiat, sebetulnya juga lebih merupakan kebiasaan. Besar kemungkinan kebiasaan tersebut muncul dari dorongan rasa ingin tahu. "Gimana, sih, kelihatannya kalau kita sedang berhubungan?" Apakah memperlihatkan penyerahan istri ataupun keperkasaan suami yang memunculkan sensasi baru. Hingga yang bersangkutan tak ingin kehilangan momen-momen seperti itu dan akhirnya sulit meninggalkan kebiasaan tersebut.
JUSTRU TERSANJUNG
Jadi, tandas Sukiat, tak perlu memandang negatif apalagi sampai bersikap antipati kalau pasangan menginginkan ini-itu saat berhubungan intim. Daripada menganggap pasangan kelewat ingin mengatur/mendikte harus begini-begitu, "Demi kebaikan/kenikmatan bersama, lihat segi positifnya saja, deh!" Untuk pasangan yang istri/suaminya gemar menciumi ketiak, contohnya, "Bukankah agar tak mengecewakan istri/suami tercinta, ia pun lantas rajin bercukur dan bersih-bersih setiap kali berangkat tidur atau ingin berintim-intim."
Begitu juga suami yang mengharuskan istrinya mengenakan stocking, gaun seksi yang tembus pandang, atau busana tertentu kesukaannya, mengapa tidak dituruti? Meski secara rasional bisa saja muncul anggapan bahwa rutinitas/keharusan semacam itu sebagai ulah neko-neko atau sesuatu yang merepotkan. Bukankah permintaan tersebut justru merupakan apresiasi suami terhadap kecantikan sang istri? Sebab, dalam pandangansuami, istrinya tampil luar biasa cantik dalam busana seperti itu.
KOMENTAR