Bila orang tua tak menyadari ini, lanjut Mien, bisa dipastikan hanya akan jadi siksaan buat anak. "Mending kalau apa-apa yang ditugaskan oleh orang tua berjalan sempurna, hingga bisa menumbuhkan rasa percaya diri anak dan buntutnya akan tertanam konsep diri yang positif. Tapi kalau gagal, tentu ia akan merasa bersalah, hingga bukannya jadi percaya diri, tapi malah tak berani berbuat apa-apa, tak bisa membuat keputusan, atau bahkan jadi stres sendiri," paparnya.
Bahkan tak jarang, di balik perasaan tertekannya, si sulung, walau masih balita, punya kecenderungan suka mengatur adiknya. Sebabnya, ia merasa dirinya sudah lebih besar, baik dari segi usia, juga dalam hal kemampuan seperti: sudah bisa berlari dan meloncat; dalam bermain pun lebih pandai, dapat menyusun balok-balok jadi rumah, misal, sedangkan adiknya belum. Namun perilakunya itu, menurut Mien, biasanya semata-mata lantaran modelling atau meniru ibu/ayahnya yang suka bersikap demikian padanya: selalu mengatur dan memberi tahu segala hal.
Adakalanya pula si sulung jadi suka sok jagoan pada adiknya. Kalau adiknya salah sedikit, dia langsung memarahinya; atau kalau adiknya hendak melakukan sesuatu, ia langsung ambil alih dengan merebutnya, "Sini sama kakak saja, kamu belum bisa," misal. Hal ini terjadi karena pola asuh orang tua yang selalu membela si kakak, "Dek, sudah, dong, jangan gangguin Kakak," misal. Sebaliknya, bila orang tua selalu menekankan si sulung agar mengalah pada adik-adiknya, lama-lama ini pula yang akan tertanam pada dirinya bahwa ia harus selalu mengalah sama adik. Akhirnya, bisa saja si adik mau berbuat apa pun, si kakak akan menurutinya.
Kedua hal tersebut, menurut Mien, tak ada yang baik. Malah kalau dibiarkan, si kakak yang sok jagoan akan menekan adiknya atau berperilaku semena- mena pada sang adik. Sebaliknya, jika si kakak selalu mengalah pada adik, tak menutup kemungkinan si adik malah akan ngelunjak. Hingga, sosialisasi kakak dengan adik berjalan tak baik, dimana harusnya kakak mengayomi adiknya dan adik hormat pada kakaknya.
Saran Mien, orang tua harus bisa melihat perilaku keseharian anaknya. "Bila tak benar, harus cepat menegurnya untuk kemudian meluruskannya. Tapi jangan menegurnya di depan si kakak atau si adik." Misal, pada si sulung yang sok jagoan, "Kak, kenapa kamu merebut mainan Adek? Adek memang belum sepandai kamu, tapi kamu enggak boleh begitu. Harusnya malah kamu memberi tahu cara membetulkan mainannya itu." Sedangkan pada si adik yang ngelunjak, katakan, "Adek enggak boleh begitu, dong, sama Kakak, sebaiknya kamu minta tolong dengan cara baik-baik."
Jadi, orang tua mengajarkan pada si sulung untuk tahu posisinya: kapan harus mengalah, kapan harus melindungi, dan kapan harus tegas pada adiknya. "Tapi, ingat, lo, kapasitasnya sebagai anak balita bukan dewasa."
IRI PADA ADIK
Sebagai anak sulung yang awalnya dilimpahi kasih sayang dan perhatian penuh dari orang tua, maka si sulung juga biasanya tetap menuntut selalu dinomorsatukan daripada adiknya. Soalnya, sebagai anak pertama, ia merasa, "Aku, kan, kakaknya, yang paling besar, hingga harus didahulukan." Akibatnya, anak suka cemas sendiri, takut dirinya benar-benar disisihkan oleh orang tua. "Jika orang tua lantas luluh dan menuruti kemauan si sulung, hal ini hanya akan membuat si sulung jadi manja. Namun bila orang tua tegas, bisa memilih mana keinginan anak yang harus dituruti dan mana yang tidak, misal, anak pun takkan jadi manja," tutur Mien.
Lain lagi bila orang tua lebih memperhatikan si adik, malah membuat si sulung merasa iri pada adiknya, karena ia merasa dicampakkan orang tua dan tersaingi oleh adik. Perasaan iri ini akan membuatnya berusaha dengan berbagai cara menarik perhatian orang tua, apalagi kemampuan kognitifnya di usia ini sudah mulai baik. Dia akan melakukan hal yang tak biasanya dilakukan, seperti selalu rewel atau nakal, bahkan tak menutup kemungkinan ia akan memusuhi adiknya.
Nah, agar si sulung tak iri, saran Mien, berikan pengertian padanya, "Kakak, Bunda dan Ayah tetap sayang sama kamu, tapi karena kamu sekarang sudah besar, kamu harus sudah bisa mandi dan makan sendiri, ya. Lain dengan Adek yang masih kecil dan belum bisa apa-apa, hingga masih harus Bunda bantu," misal. Ikut sertakan pula si sulung dalam merawat adiknya, "Kakak mau ikut bantu Bunda mandiin Adek. Yuk, kita siapin airnya. Nah sekarang sambil Bunda mengeringkan Adek, kamu ambilkan bedaknya," misal. Biasanya anak senang sekali bila ikut dilibatkan. Malah mungkin akan semangat, "Bunda, Bunda, bajunya yang ini saja, sama seperti punya Kakak."
Dengan ikut melibatkannya, sekaligus orang tua mengajarinya bagaimana memperlakukan dan menyayangi adik. Hingga, akan tumbuh kesadaran pada diri si sulung untuk melindungi adiknya, memberikan contoh yang baik, tanpa ada perintah atau paksaan. Serta secara tak langsung juga dapat meningkatkan kemampuan kognitifnya. Contoh, saat ia asyik bermain bersama teman-temannya, tiba-tiba ia melihat adiknya sedang tidur di kamar, ia akan bilang pada mereka, "Eh, kita main di luar saja, yuk? Adikku lagi tidur. Kalau kita main di sini, nanti Adek bisa terbangun, kasihan, kan?" misal. Nah dari situ kita bisa melihat bahwa anak sudah bisa menterjemahkan situasi bahwa kalau ribut, adik yang sedang tertidur bisa bangun.
Jangan lupa pula untuk selalu menjaga hubungan komunikasi agar tetap berjalan harmonis. "Serta, apa-apa yang kita ucapkan pada anak harus sesuai dengan perilaku kita. Kalau kita mengatakan pada si sulung bahwa kita pun sayang padanya, tunjukan dengan perbuatan hingga ia bisa menangkap bahwa kita benar-benar sayang padanya Misal, dengan selalu memberikan perhatian atau mengajaknya bermain."
KOMENTAR