Tabloidnova.com - Kasus bunuh diri seorang remaja di Jakarta yang sejak pekan lalu ramai dibicarakan, telah memancing banyak pendapat dari berbagai kalangan. Tak hanya para orangtua, tapi juga sejumlah ahli atau psikolog.
(Baca: Diduga Kurang Kasih Sayang, Rangga Nekat Bunuh Diri di Dalam Lemari)
Menyoroti soal fenomena bunuh diri di kalangan remaja, psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, S.Psi, M.Psi, Psi, mengatakan, kendati secara persentase internasional kasus bunuh diri pada remaja masih di bawah 10 persen atau bahkan 5 persen, namun peristiwa ini dapat dikatakan kerap terjadi.
"Saya tidak punya data berapa persen kasus bunuh diri terjadi tiap tahun di Indonesia, tetapi persentase kejadiannya pada remaja Jepang kalau tidak salah lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Namun memang dapat dikatakan, kasus bunuh diri pada usia remaja kerap terjadi dibandingkan dengan rentang usia lainnya," papar psikolog yang kerap disapa Nina ini.
Salah satu penyebab mengapa anak usia remaja lebih rentan untuk melakukan tindakan bunuh diri, kata Nina, sangat dipengaruhi oleh faktor perkembangan usianya, yang selanjutnya sangat memengaruhi pembentukan hormonnya sehingga menjadi lebih fluktuatif dibandingkan usia sebelumnya.
"Seiring dengan bertambahnya usia anak menuju usia remaja, sistem hormon dalam tubuhnya pun berubah. Pada anak remaja, hormon di dalam tubuhnya menjadi lebih fluktuatif, sehingga ia akan mengalami fase kesulitan dalam mengatur atau meregulasi emosinya."
Ketika si remaja sedang mengalami kesulitan mengatur emosinya, lanjut Nina, ia akan terlihat sangat sedih sekali ketika mengalami sesuatu yang menyedihkan bagi dirinya. Atau sebaliknya, ketika sedang merasa senang, ia akan menampakkan diri sangat riang sekali.
Pada beberapa remaja, kata Nina, bisa jadi ada yang mengalami perubahan emosi secara drastis. Misalnya, di pagi sampai siang hari ia terlihat ceria sekali, namun tiba-tiba di sore menjelang malam ia terlihat sangat galau, murung, dan sedih sekali.
Tak heran, kata Nina, banyak sekali orangtua yang datang berkonsultasi kepadanya mengatakan, "Menghadapi anak remaja susah banget. Enggak mau dengar kalau dibilangin. Emosinya berubah-ubah." Untuk itu, Nina menyarankan, orang-orang yang punya hubungan paling dekat dengan si remaja harus mengerti dan memahami kondisi atau situasi yang sedang dialaminya.
"Memang tidak mudah mendekati anak remaja. Maka dari itu, orang-orang terdekatnya harus bisa mengajaknya mengobrol atau berbicara dengan cara yang penuh kehangatan, bukan menasihati atau berceramah panjang lebar. Intinya, justru harus lebih banyak mendengarkan si anak remaja," tandas Nina.
Intan Y. Septiani/Tabloidnova.com
KOMENTAR