Tiba-tiba cemas bahwa diri tak seksi atau tak menarik lagi? Itu lumrah terjadi. Yang penting, segera temukan pemicunya.
Minum jamu ini, deh. Dijamin suami lengket tanpa dipelet!" begitu kira-kira bunyi sebuah iklan jamu. Ucapan itu juga sering kita dengar saat para wanita berkumpul. Jika ada yang mengeluh masalah kehidupan seksnya yang jadi dingin, suami tak tertarik lagi, merasa payudara sudah kendur, dan lainnya, semua berlomba memberi saran. Padahal, belum tentu kehidupan seks si pemberi saran lebih berkualitas dibanding yang mengeluh tadi.
Menurut dr. Boyke Dian Nugraha, SpOG, kekhawatiran wanita tentang melemahnya daya tarik seks mereka, wajar-wajar saja. Dalam arti, setiap wanita memang cenderung punya kekhawatiran, jangan-jangan pasangan sudah tak cinta lagi. Entah karena badannya sudah melar, keriput, dan lainnya.
Padahal, barometer cinta suami terhadap istri atau sebaliknya tak hanya bisa diukur dari hal-hal artifisial semacam itu. Rasa cemas macam itu, imbuh Boyke, biasanya muncul bersamaan dengan bertambahnya usia perkawinan maupun usia diri. Bagi kaum Hawa, pertambahan usia seolah identik dengan sirnanya cinta dan ketertarikan sang suami. Boleh jadi, kekhawatiran semacam ini tumbuh akibat teror berbagai anggapan keliru. Termasuk anggapan bahwa berlalunya masa muda berarti datangnya kerut-kemerut dan pudarnya segala bentuk daya tarik fisik. Kalau seseorang dulu begitu yakin dengan penampilan dirinya yang langsing, kini kelebihan lemak sedikit saja di perut, pinggang, paha, dan lengan, sudah dirasa amat mengganggu penampilan secara umum. Belum lagi payudara yang dianggap melorot alias tak lagi kencang lagi.
TAK CUMA WANITA
Sebetulnya, lanjut Boyke, tak cuma wanita yang mencemaskan daya tarik seksualnya. Pria yang terlihat perkasa sekalipun, bukan tidak mungkin kerap merasa tak berdaya. Sering, kan, kita dengar mereka mengeluh, "Penisku, kok, kecil amat, sih?", atau, "Aduh, mampu enggak, ya, aku membahagiakan istriku?" Kekhawatiran pria, tutur Boyke, umumnya memang terfokus pada ukuran alat kelamin. Sebab, buat kaum Adam, "harga diri" mereka sebagai lelaki seolah tak bisa dipisahkan dari keperkasaannya dalam urusan yang satu itu.
Jadi, tak perlu heran jika 85 persen pria, di mana pun mereka berada, tak pernah puas dengan ukuran penisnya. Meski sudah relatif besar, tetap saja takut karena yakin, ada yang lebih besar lagi. Di samping soal ukuran, kemampuan seksual juga sering dicemaskan. Hal ini, tegas Boyke, bisa dimaklumi karena proyeksi kejantanan pria memang ada pada alat kelaminnya.
REAKSI TAK WAJAR
Menurut Boyke, berbagai kekhawatiran seputar kehidupan seksual ini sebetulnya tak perlu dibesar-besarkan. Siapa pun, baik wanita atau pria, seharusnya bisa menerima bahwa pertambahan usia biasanya memang dibarengi dengan kemampuan seksual dan daya tarik fisik yang menurun.Apalagi, tegas Boyke, secara biologis pria ditakdirkan untuk poligami, sedangkan wanita tidak. "Dari jaman dulu memang sudah begitu, sih." Sehingga, kekhawatiran dalam diri wanita sebenarnya merupakan manifestasi ketakutan yang muncul dari bawah sadarnya, yaitu takut/khawatir sekali pasangannya akan lari ke wanita lain. Kekhawatiran-kekhawatiran itulah yang kemudian membuat si istri lantas mengupayakan segala macam cara untuk mengantisipasi kemungkinan yang sangat tidak mengenakkan tadi.
Soal finansial pun, bilang Boyke, sering jadi pemicu munculnya kekhawatiran seksual di antara suami-istri. Secara umum, lanjutnya, ada kecenderungan bila kondisi finasial makin mapan, maka dorongan/keinginan untuk coba-coba di luaran alias berselingkuh pun makin besar. Jangan salah, kecenderungan begini berlaku tanpa mengenal gender, lo. Artinya, bisa terjadi pada perempuan maupun laki-laki. Hingga ketika pasangannya memiliki kondisi finansial yang semakin membaik, si istri biasanya bertambah pula kecemburuan dan kekhawatirannya.
Seberapa jauh kekhawatiran-kekhawatiran seperti itu bisa ditolerir? Menurut Boyke, "Sepanjang hanya pada batas-batas ingin tampil menarik, oke-oke saja." Artinya, sepanjang reaksi si wanita terhadap kecemasan tadi tidak membahayakan dirinya maupun orang lain. Misalnya saja senam dan minum jejamuan kesehatan agar badan tetap kencang serta berdandan serasi mengikuti trend mode terakhir.
Nah, kalau rasa cemas sudah berlebihan sehingga melakukan macam-macam operasi (hidung, perut, dan lainnya), pasangan perlu meluruskan atau minimal mengingatkan. "Misalnya, operasi mengecilkan vagina supaya bisa jadi 'gadis' lagi padahal jelas-jelas sudah sering melahirkan, permak wajah sana-sini hingga penampilan mirip boneka Barbie. Yang seperti itu, jelas enggak bener lagi, dong," tegas Boyke.
SISI POSITIF
Di lain pihak, lanjut Boyke, kekhawatiran ini sebenarnya bisa bermakna positif. Tiap individu yang mencintai suami/istrinya pasti khawatir pasangannya tak mencintai dirinya lagi. Hingga bila dimanfaatkan secara benar, kekhawatiran ini bisa jadi "alat" untuk mempertahankan cinta pasangannya. Dengan senantiasa berusaha menjaga penampilan diri dan kehangatan cintanya sekaligus meredam kekhawatirannya.
Dalam ikatan perkawinan, tegas Boyke, yang dibutuhkan suami maupun istri sebenarnya bukan hanya daya tarik lahiriah atau kecantikan fisik belaka.
Melainkan juga kecantikan batiniah atau inner beauty seperti rasa aman bahwa suami bisa "menitipkan" pengasuhan anak-anak di tangan seorang ibu yang baik. Suami merasa dihargai sebagai kepala keluarga dan mendapat apresiasi yang baik, hingga senantiasa terpanggil kembali ke keluarga membawa hasil jerih payahnya. "Itu semua saya kira lebih penting daripada sekadar kecantikan fisik saja," ujar Boyke.
Mereka yang perkawinannya tak terlalu didasari ikatan cinta yang kuat, biasanya sering diliputi rasa cemas tadi. Terlebih bila dibangun hanya atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang bersifat lahiriah semisal, "Aku mau jadi istri/suaminya karena dia ganteng/cantik, sih." Bila itu yang dijadikan alasan, maka biasanya cinta pun akan berlalu dengan memudarnya daya tarik lahiriah itu sendiri. Sebaliknya, mereka yang perkawinannya dibangun atas rasa cinta yang kuat dan saling pengertian yang mendalam, biasanya akan lebih mampu bertahan saat menghadapi tantangan-tantangan yang melanda perkawinan mereka.
JANGAN PERNAH MENCELA
Untuk meredam kekhawatiran seputar daya tarik/kemampuan seksual baik pada suami maupun istri, tukas Boyke, "Solusinya enggak susah, kok, meski barangkali terdengar klise." Yakni dengan memberi/menunjukkan perhatian dan cinta kasih kepada pasangan. Tepatnya dengan selalu menunjukan penghargaan berupa pujian tulus atas segala bantuan dan jerih payahnya bagi keluarga. Selain pengakuan bahwa kita memang membutuhkan kehadiran dan kehangatan cintanya. "Saya yakin kalau hal-hal positif semacam itu dikomunikasikan, istri/suami pasti tak perlu merasa khawatir atau malah terancam."
Sebaliknya, segala bentuk komentar yang bernada menghina/melecehkan dipastikan akan menjatuhkan atau malah merusak harga diri pasangan. Itu sebab, saran Boyke, sedapat mungkin tahan keinginan untuk mencela penampilan pasangan. Semisal, "Ayah, kok, sekarang gendut kayak sapi bengkak!" Atau, "Dandanan Mama, kok, norak banget, sih!" Padahal semua bentuk hinaan/ejekan/pelecehan tadi justru mendorong individu yang dijadikan sasaran pelecehan tersebut melarikan diri pada hal-hal yang tidak rasional tadi.
Celakanya, bukan cuma itu dampak buruknya karena individu yang bersangkutan biasanya akan membentuk mekanisme pembelaan diri. Di antaranya, menumbuhkan rasa tidak suka atau malah memudarkan kadar cinta pada suami/istrinya. Istri yang selalu dihina, misal, biasanya menunjukkan reaksi mogok alias enggan melakukan hubungan suami-istri karena rasa malu, selain karena memang tidak bisa menikmati hubungan itu sendiri. Di dalam pikirannya sudah terbentuk pemikiran, dirinya memang tak lagi menarik secara seksual, hingga tak bisa membuat pasangannya terangsang. Dengan kata lain, semua bayangan negatif tadi akhirnya jadi kenyataan. "Jadi runyam, kan? Padahal, tujuan kita sebenarnya justru ingin menarik perhatian pasangan secara seksual," imbuh Boyke.
Begitu juga dengan suami. Pria yang dicekam kekhawatiran bahwa dirinya tak perkasa umumnya cenderung akan menutup diri/menjaga jarak selain berkurang kadar kehangatannya. Sama seperti istri, suami pun kian ogah melakukan hubungan seks. Bisa jadi, keengganan itu karena minimnya rasa percaya diri yang kemudian membuat suami takut memulai hubungan intim karena belum-belum sudah dibayangi kegagalan. Mereka khawatir tak bisa membahagiakan pasangan.
KEINGINAN COBA-COBA
Ironisnya, aku Boyke, dalam kondisi terpuruk seperti itu bukan tidak mungkin justru muncul angan-angan untuk mencoba mencari kehangatan/kepuasan dengan wanita lain. Terutama kalau si suami betul-betul tak berdaya alias impoten setiap kali berhubungan dengan istrinya. Semisal, "Masak iya, sih, aku selalu gagal setiap kali berhubungan? Siapa tahu dengan perempuan lain malah enggak." Celaka, kan?
Nah, agar masalahnya tak berkembang sedemikian pelik menjadi hal-hal yang merugikan perkawinan, kedua belah dituntut untuk mengantisipasinya jauh-jauh hari. Syaratnya, baik suami maupun istri mesti memiliki pengertian dan komitmen yang kuat. Ketika salah satu pasangan bermasalah, misalnya, pasangannya justru harus memberikan dukungan dan perhatian yang membesarkan hati. Saat istri bermasalah dengan penampilan fisiknya, katakan saja, "Enggak apa-apa, deh, Mama agak gemukan begini. Di mata Papa, Mama tetap wanita paling menarik, kok." Tentu saja apresiasi tersebut harus diucapkan secara tulus dan bukan sekadar basa-basi yang akhirnya terkesan sebagai rayuan gombal.
Begitu juga kala pria dicekam perasaan rendah diri lantaran lebih sering menemui kegagalan saat "bertempur". Saran Boyke, angkatlah harga diri suami agar tak semakin terpuruk dalam perasaan tidak perkasa. Semisal, "Enggak usah terlalu dipusingin, deh, Pa. Yang penting cinta Papa tetap untuk Mama dan kita bisa sama-sama membesarkan anak-anak." Sekali lagi, tandas Boyke, syaratnya cuma ketulusan dan bukan kepura-puraan yang bisa dirasakan/terbaca langsung oleh pasangan lewat nada suara maupun bahasa tubuh. Semua ini bisa terealisasi bila komunikasi suami-istri terjalin lancar.
SENAM KHUSUS
Kekhawatiran-kekhawatiran semacam itu pun bisa diminimalisir dengan niat dan upaya menjaga kondisi fisik dan mental agar tetap prima. Caranya, dengan melatih otot-otot tubuh, terutama otot-otot panggul bagian bawah yang pegang peran penting dalam menentukan kualitas hubungan suami-istri. Latihannya bisa dilakukan secara khusus di sanggar-sanggar senam atau cukup dengan menyediakan waktu secara terprogram untuk melakukan latihan sendiri di rumah. Toh, yang perlu dilakukan hanya gerakan-gerakan dasar, minimal sit up untuk mengecilkan dan mengencangkan otot-otot perut,push up untuk menguatkan otot-otot lengan, dan squat jump untuk mengencangkan otot paha bagian dalam.
Secara keseluruhan, latihan-latihan tersebut berguna untuk meningkatkan pernapasan dan aliran darah, hingga siap "tempur" bila saatnya tiba. Jangan lupa latihan Kegel untuk mengencangkan otot-otot seputar vagina. Kelenturan otot-otot tubuh ini amat perlu agar saat melakukan hubungan seks, tipis kemungkinan munculnya gangguan salah urat saat mencoba-coba posisi baru, misal. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah mencari tahu daerah-daerah yang paling bisa memunculkan sensualitas pada diri pasangan. Kalau pernah mencoba dan belum juga menemukannya, jangan pernah putus asa. Justru dari bereksplorasi itulah suami maupun istri bisa lebih mengenal pasangannya secara mendalam.
Yang tak kalah penting, jangan pula bertindak bodoh dengan membesar-besarkan kekhawatiran. Konkretnya, jangan lantas menghapus jadwal sarapan dan makan siang dari daftar menu hanya lantaran kita kelewat khawatir tampil tak seksi dengan perut kenyang. Ingat, perut kosong justru akan terisi angin yang malah akan menimbulkan gangguan selagi menikmati momen-momen istimewa. Belum lagi kenyataan bahwa agar siap tempur kita pun membutuhkan energi ekstra untuk aktivitas istimewa yang satu ini.
Soal berdandan, meski perlu untuk menunjang penampilan, namun tak perlu harus menor. Bisa-bisa niat kita untuk menarik perhatian pasangan malah akan membuatnya muak atau ngeri. Untuk acara yang satu ini konon pria lebih menyukai dandanan dan tata rambut alamiah alias apa adanya. Bukankah yang ia dambakan adalah kehangatan seorang istri dan bukannya boneka pajangan? Begitu juga dengan pemakaian parfum atau minyak wangi. Yang berlebihan hanya akan membuat orang lain menjauh sementara yang secukupnya malah akan mengundang rasa penasaran pasangan untuk semakin mendekati kita.
Nah, Bu-Pak, tampil wajar tanpa dibebani kekhawatiran ternyata lebih mudah dan menyenangkan, bukan?
Th. Puspayanti
KOMENTAR