Jangan dianggap sepele karena bisa berdampak serius, semisal gangguan ejakulasi dini, frigiditas, dan impotensi.
"Keterlaluan, deh, suamiku! Masak, sih, lagi asyik-asyik berintim-intim dia seenaknya buang angin! Aku, kan, jadi jijik banget. Jadinya malas, deh, untuk nerusin," begitu tutur seorang istri pada sahabat karibnya. Lain lagi keluhan seorang suami tentang kebiasaan istrinya yang kurang lebih sama. "Njengkelin enggak, sih, kalau setiap kali tengah bermesraan ia selalu berkelit mau ke kamar kecil? Terus terang, aku jadi suka curiga, lo, jangan-jangan itu cuma taktik dia untuk menghindari kedekatan kami."
Buang angin alias kentut, bertahak/bersendawa, keinginan buang air kecil atau besar,terang Dr. Ferryal Loetan, Sp.RM., MMR, sebetulnya merupakan "panggilan alam" yang bisa muncul kapan saja, termasuk saat yang bersangkutan tengah berintim-intim.
Hanya saja, lanjut konsultan seks yang juga Kepala Instalasi Rehab Medik RS Persahabatan, Jakarta ini, untuk sebagian masyarakat kota yang sudah berpendidikan dan tahu etika bersopan-santun, biasanya gangguan-gangguan tersebut akan membuat pasangan tersinggung. Misalnya, buang angin."Menurut etika, kan, sama sekali enggak sopan, apalagi bila dilakukan di depan orang lain, termasuk pasangan. Bukankah sejak kecil kita dibiasakan untuk keluar atau menjauh sebentar saat desakan tersebut muncul," kata Ferryal. Begitu juga dengan bertahak ataupun menggaruk-garuk bagian tubuh tertentu yang dianggap sebagai daerah "terlarang" menurut ukuran kebanyakan, seperti menggaruk-garuk pantat, buah dada, atau alat kelamin.
Jadi, kendati merupakan proses metabolisme tubuh yang normal, tidak berarti kita lantas bisa bersikap seenaknya. Terlebih kalau memang ingin disebut manusia yang tahu diri sekaligus menghargai etiket atau tata krama bersopan santun. Sama halnya dengan ngupil, contoh, boleh-boleh saja dilakukan malah dianjurkan, kok, guna membersihkan rongga/lubang hidung dari kotoran-kotoran yang melekat, tapi tidak lantas berarti dilakukan kapan saja dan di mana saja. "Hal-hal seperti itu, kan, bisa dipelajari bagaimana aturannya. Bukan malah cari gampangnya saja kemudian menjadikannya sebagai alasan untuk berkelit atau memaklumi kesalahan diri."
Toh, sejumlah aturan tadi sudah kita pelajari sejak "sekolah" di TK dalam bentuk-bentuk paling sederhana, seperti duduk yang manis, bagaimana bersikap sopan menghadapi guru dan bergaul dengan teman-teman, enggak boleh berisik saat makan, enggak boleh ngupil dan sebagainya. "Semua aturan tadi, kan, mesti kita bawa terus sampai dewasa," tutur Ferryal
Akan tetapi bila panggilan alam tadi muncul betul-betul tak disengaja atau sama sekali tak terduga, tentu saja pengertian dari pasangan pun amat diharapkan. Akan lebih bagus lagi jika yang bersangkutan pun minta maaf sesegera mungkin. Dengan minta maaf dan mengatakan hal tersebut betul-betul terjadi di luar kontrol biasanya rasa ketersinggungan pasangan akan berkurang. Tentu saja permintaan maaf ini harus dibarengi dengan semacam tekad untuk tidak mengulangi "kesalahan" serupa di lain waktu. Ironisnya, justru yang bersangkutan biasanya menganggap kejadian-kejadian tadi sebagai sesuatu yang lumrah, hingga ia tak merasa bersalah sedikit pun. Atau malah bukan tidak mungkin menyalahkan kondisi/lingkungan dan pasangannya. "Ngapain, sih, gitu aja dipermasalahkan?" Repot, kan?
BUTUH ENERGI TINGGI
Toh, kalau kita hidup sesuai aturan kesehatan, lanjut Ferryal, berbagai interupsi yang bisa bikin malu atau bahkan mengganggu tadi sebenarnya tak perlu terjadi, kok. Kentut, misalnya, kan jelas-jelas merupakan pertanda adanya gas berlebihan dalam lambung, entah akibat perut dibiarkan kosong, salah mengkonsumsi makanan tertentu yang memicu terjadinya gas, atau justru pertanda panggilan ke belakang. Begitu juga dengan bertahak yang umumnya terjadi kala kita "masuk angin" akibat kurang tidur atau kekenyangan akibat makan berlebih dan tak kenal waktu. "Padahal, makan seharusnya mengenal waktu dan makanan pun disantap dalam porsi yang wajar alias tak berlebih."
Lagi pula, tambah Ferryal, tiap individu seharusnya memiliki sensorship sendiri, di antaranya rasa tak nyaman bila sehabis makan lantas berintim-intim. Itu sebabnya, persiapkan diri betul-betul secara sehat sebelum berintim-intim. Semisal dengan menjaga kondisi tubuh, menghindari makanan yang diyakini bisa menimbulkan timbunan gas di perut seperti ubi atau softdrink.
Bukan berarti kita tak boleh makan sama sekali, lo, menjelang berintim-intim. Apalagi aktivitas hubungan seksual membutuhkan banyak energi dan kecukupan kalori tersebut bisa didapat dari makanan, hingga tak ada salahnya makan dulu sebelum berintim-intim. Tentu saja dengan tetap memperhatikan "aturan" dasar, yakni jangan terlalu kenyang dan jangan pula waktunya terlalu dekat antara sehabis makan dan berhubungan intim. Minimal sediakan tenggang waktu 2-3 jam agar tubuh berkesempatan mencerna makanan menjadi kalori yang dibutuhkan.
Jadi, kata Ferryal, "Sebetulnya aturan mainnya enggak njlimet, kok. Cukup jalani pola hidup sehat." Di antaranya, hindari makanan-makanan pencetus gangguan dan taati pola makan yang seimbang.
KOMENTAR