Pengaruhnya luar biasa buruk, lo, Pak, buat anak, istri dan keutuhan rumah tangga.
Menurut Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa, siapa pun dan apa pun profesi"nya, perilaku atau bahkan kebiasaan memukul pasti berkaitan erat dengan kehidupan emosi yang kacau dan kepribadian yang tak matang. Artinya, orang yang gemar memukul adalah individu yang tak mampu mengendalikan munculnya dorongan sesaat atau impuls negatif dalam dirinya. "Ketidakmampuan inilah yang kemudian mendorong pemukulan terulang dan terulang kembali." Meski sesudahnya ia sempat menyesal dan berjanji takkan mengulanginya.
Kendati demikian, kecenderungan berulang-tidaknya pemukulan itu, tergantung pula pada konstelasi kepribadian individu tersebut secara umum. "Jika tambah lama tambah matang dan terintegrasi, ya, dorongan-dorongan tadi akan lebih bisa teratasi, hingga pemukulan takkan terulang," kata pakar psikologi perkembangan yang juga dikenal sebagai psikolog bidang olahraga ini.
Faktor lain yang juga terkait erat adalah rasa nyaman dan bahagia serta kehidupan yang jauh dari ketegangan. Soalnya, ketidakmatangan kepribadian antara lain ditandai pula oleh kehidupan yang penuh ketegangan akibat berbagai tantangan dan masalah yang tak mampu dikuasai/diselesaikannya. Selain, ada kemungkinan termasuk tipe kepribadian yang memang agresif, bahkan mengarah sadistis karena tak memperhitungkan diri sendiri maupun orang lain.
POLA ASUH
Tak kalah penting, pola-pola sikap dan kebiasaan/kebudayaan yang tertanam atau melekat dalam dirinya juga ikut berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku/kebiasaan memukul. Umumnya, mereka menganggap memukul sebagai sesuatu yang "biasa", hingga boleh-boleh saja dilakukan. Mereka tak menganggap serius dampaknya bagi orang yang dijadikan sasaran pukulannya. Tak heran jika sedikit-sedikit mereka lantas main pukul.
Menghadapi si pemukul yang seperti ini, mesti digali akarnya pada pengasuhan dan penanaman norma-norma pribadi maupun sosial selagi kecil. "Besar kemungkinan dulunya dia hidup dalam suasana dimana pukul-memukul dianggap lumrah, meski sebetulnya sangat membahayakan. Hingga dia belajar bahwa memukul memang harus dilakukan karena ia sendiri pernah mengalaminya. Sedangkan apa bentuk kesalahannya tidaklah begitu penting karena yang utama justru main pukul dulu," tutur Wakil Ketua I Badan Pimpinan Yayasan Tarumanagara ini.
Padahal, pukulan dirasakan bukan sekadar menyakiti korban secara fisik, melainkan juga melukai batin dan bersifat lebih mendalam karena bermuatan penghinaan dan perusakan harga diri. Itu sebab, terang Singgih, "pengobatan dan penyembuhannya akan makan waktu lama dan tak cukup hanya dengan kata maaf saja." Makanya, enggak heran kalau ada istri yang dipukul lantas balas memukul, hingga acara pukul-memukul jadi makin seru. Tentu saja ini bukan solusinya, karena masalah justru akan berkembang makin kompleks dan kian sulit terpecahkan.
Namun, jangan lantas kita jadi pesimis, lo. Soalnya, manusia selalu dalam posisi berkemungkinan, termasuk kemungkinan untuk berubah dan diubah. Artinya, jelas Guru Besar Emeditus pada Fakultas Psikologi UI ini, meski hidup dalam budaya pukul-memukul, tetap terbuka kemungkinan untuk berubah atau diubah oleh lingkungan, terutama keluarga dekatnya. Entah karena secara tak sadar ia meniru hal-hal baik yang dilakukan pasangan atau dipengaruhi terus-menerus oleh contoh-contoh konkret berupa sikap bijak pasangan.
KENDALIKAN EMOSI
Itu sebab, Singgih menyarankan agar kita mengendalikan emosi dalam menghadapi suami yang gemar memukul. "Jangan malah ikut-ikutan meledak atau larut di dalamnya. Seburuk apa pun perlakuan suami, istri tak dibenarkan membela diri dengan balas memukul yang akhirnya mengubah rumah tangga jadi arena tinju. Justru dengan memperlihatkan sikap sabar dan mampu mengendalikan emosi akan memperbesar kemungkinan suami terpanggil memperbaiki diri, karena hubungan suami istri adalah hubungan dinamis yang saling mengisi dan mempengaruhi," tuturnya.
Sedangkan sikap diam atau cuma meratapi nasib juga takkan banyak membantu bila tak diikuti pemikiran dan upaya nyata yang bisa dilakukan untuk menghilangkan atau minimal mengurangi perilaku buruk suami. Di antaranya memulai percakapan-percakapan yang baik dan komunikatif dalam suasana menyenangkan. Misal, "Lain kali kalau lagi marah, pukulin bantal aja, deh." Lakukan pengalihan objek semacam ini dengan cara santai sambil bergurau.
KOMENTAR