Akan tetapi jangan ditanya apa saja dampak negatifnya mengingat berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Yang jelas, bilang Singgih, bibit disintegrasi kepribadian sudah terbentuk dan berkemungkinan menjadi anak agresif, suka menentang dan variasi sejenis yang relatif banyak. Kendati bisa juga terjadi anak yang berasal dari keluarga dengan perilaku serba buruk, tak meniru mentah-mentah. Melainkan justru bertekad melepaskan bayang-bayang buruk tadi, lalu memilih bentuk kehidupan yang bertolak belakang.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan ibu untuk melindungi anak dari pengaruh buruk ayah. Paling tidak meredakan suasana yang serba kasar dan panas sekaligus mengarahkan anak agar lebih mampu bertahan. Salah satunya, jangan membicarakan terus menerus hal-hal negatif tentang ayahnya, apalagi dengan nada mengumpat.
Baik ataupun buruk perilakunya, ayah tetaplah ayah bagi si anak. Seburuk apa pun tetap perlu dinetralisir. Dengan begitu kita masih bisa berharap bahwa perkembangan kepribadian si anak takkan terusik terlalu berat.
Sebaliknya jika si ibu sama-sama tak matang emosinya, berkepribadian rapuh, anak pun akan makin kacau. Lagi-lagi si anak yang jadi korban. Kasihan, kan? "Meski tak secara otomatis ia akan jadi anak berperangai buruk pula, karena amat tergantung dari bagaimana lingkungan kelak bisa menetralisasikannya." Selain tergantung pula dari perangkat pribadi yang diperoleh dari dalam diri anak itu sendiri. Artinya, seberapa besar potensi dasarnya, bagaimana toleransinya terhadap frustrasi dan bagaimana pula sikapnya menghadapi agresivitas, serta lainnya. Perangkat pribadi ini berbeda pada tiap anak, bahkan pada saudara kembar sekalipun. Tentu kita mengharapkan tetap tersisa sisi baik yang dimiliki si anak yang nantinya akan bisa berkembang atau malah dominan dalam kepribadiannya.
Bisa "Dibaca" Selagi Pacaran
Sebetulnya, tegas Singgih, "bakat" suami yang gemar memukul ini, bisa, kok, dilihat sejak masa pacaran. Semisal emosi yang tak terkendali, hingga ketika mobilnya disalib saja langsung marah-marah dan mengumpat enggak karuan. "Teoritis memang bisa karena itu, kan, tergolong ciri pribadi. Masalahnya, bagaimana menilai orang lain yang justru tengah jadi tumpuan cinta secara objektif, amat susah karena semasa pacaran biasanya orang kerap terbutakan oleh cinta. Butuh kepekaan tersendiri untuk bisa menilai secara objektif." Jadi, nggak heran kalau orang kerap merasa terkecoh, "Sungguh, dia dulu baik banget, kok! Kalau tahu tukang pukul kayak begini, mana mau aku jadi istrinya."
Haruskah Melapor Ke Pihak Berwajib ?
Menghubungi ahli hukum atau pihak berwajib, menurut Singgih, sebetulnya bukan cara penyelesaian yang dianjurkan. Sebabnya, sudah menjurus pada mencari pembenaran, dalam arti siapa benar dan siapa salah. Itu sebab, umumnya masalah jadi tambah rumit karena bibit permusuhan di antara mereka makin besar.
Akan tetapi melapor ke pihak berwajib bisa dilakukan bila pemukulan terjadi lebih dari 2 kali dan disertai ancaman yang bisa dikategorikan tindak kriminal berupa tindak kekerasan yang membahayakan atau malah penganiayaan. "Kalau sudah seperti itu, bukan lagi sebatas masalah psikologis. Melapor pun tak lagi sebagai upaya mencari pembenaran diri, melainkan untuk melindungi diri dari siksaan fisik."
Jika Istri Yang Suka Memukul Suami
Kasusnya, terang Singgih, amat jarang karena umumnya yang dijadikan sasaran adalah makhluk yang dianggap lebih tak berdaya semisal istri dan anak. "Jikapun ada, selain karena kerpibadiannya kurang matang, pasti ia tergolong psikopat atau mengalami kelainan jiwa taraf berat." Penyembuhannya pasti jauh lebih rumit dan sumber kelainannya juga lebih mendalam. Hingga butuh waktu lama untuk merombak sekaligus memperbaikinya.
Th. Puspayanti/nakita
KOMENTAR