Bu, jika memang yakin mampu hidup tanpa suami, pilihan bercerai bisa dijadikan alternatif. Kalau tidak, bersiaplah untuk hidup dimadu.
Patut dicurigai suami punya "simpanan" alias diam-diam kawin lagi bila saat dikonfirmasi, ia kerap bilang, "Kami cuma sebatas teman bisnis, kok. Nggak usah dengerin omongan orang, deh. Itu cuma fitnah buat menghancurkan keharmonisan kita."
Soalnya, kata Zainoel B. Biran, suami yang punya "simpanan" biasanya akan menutupi dengan terus berkelit. "Secara psikologis, umumnya defensif; selalu siap membela diri dengan dalih apa pun." Meski bukti-bukti sudah disodorkan di depan matanya, ia tetap membela diri. "Habis, aku dijebak, sih," begitu alasannya dengan enteng. Duh, Gusti!
Sudah gitu, sedikit pun ia tak merasa bersalah atau merusak masa depan anak-anak, terlebih jika ia telah menyiapkan deposito atau investasi lain untuk mereka. Namun kala diajak bercerai, ia menolak dengan alasan demi anak. Konyol, kan?
TERGANTUNG NILAI YANG DIANUT
Sungguh menyakitkan, ya, Bu, menghadapi kenyataan ini. Namun sedih berkepanjangan atau cuma meratapi nasib tentu tak menyelesaikan masalah. Kita harus mengambil keputusan, apakah perkawinan tetap diteruskan dengan segala konsekuensinya ataukah bercerai saja.
Menurut Bang Noel, sapaan akrab psikolog sosial dari UI ini, keputusan yang diambil biasanya berkaitan erat dengan sistem nilai yang dianut. "Perempuan yang percaya akan kemampuan dirinya, biasanya lebih berani menyongsong dan menjalani hidup seberat apa pun. Jadi, bila nilai kemandirian dan kompetensi diri yang dominan, ia akan memilih hidup sendiri dengan bercerai."
Namun bila segala upaya telah dilakukan, ternyata banyak hal yang tak memungkinkan bercerai, "tak ada pilihan lain kecuali membiarkan suami hidup bersama wanita lain di tempat terpisah." Sementara istri pun tetap jalan sendiri dan membuat hubungan suami-istri sedemikian formal dengan pisah kamar atau ranjang, misal, selain tak lagi menggantungkan "nasib" pada suami.
Tentunya, kewajiban suami untuk menafkahi dan mencukupi kebutuhan belanja anak-istrinya tetap jalan. "Perhatian dan kecukupan buat anak tak boleh berkurang sedikit pun hanya karena ayah tergoda pada wanita lain. Pokoknya, ayah tetap bertanggung jawab penuh, meski si ibu bisa saja membesarkan anak-anak sendirian!" tegas Bang Noel.
ISTRI BERHAK MENOLAK
Pilihan ini cukup "menguntungkan", lo, Bu. Terlebih jika kesulitan bercerai lantaran suami ngotot tak mau bercerai. "Istri bisa menunjukkan sikap tegas." Misal, dengan mengatakan, "Di atas kertas, kita memang enggak cerai, tapi kamu sudah tak berarti lagi buat saya! Saya tetap berada di sini semata-mata untuk mengurus anak-anak." Meski terdengar tak sopan, sah-sah saja, kok, Bu, kita omong begitu. Soalnya, kata Bang Noel, secara psikologis sudah tak ada lagi relasi di antara kita dan suami.
Dengan demikian, istri juga berhak menolak kala suami mengajak berintim-intim. "Lo, si suami, kan, sudah melakukan pelanggaran. Dia sudah membohongi istrinya dengan menikah diam-diam dan memperlakukan istrinya secara tak adil. Ini sudah bisa dijadikan dasar oleh istri untuk pasang tameng terhadap tuntutan suami yang masih merasa berhak mendapat pelayanan di ranjang," tutur Bang Noel.
KOMENTAR