Makin berkembang imajinasinya, ia makin kreatif dalam mencipta sesuatu dari permainan ini. Ia pun belajar mengenali sebatas mana kemampuannya dan melatih keterampilan tangannya.
Main balok termasuk jenis bermain konstruktif, yaitu membuat/memanipulasi objek/benda menjadi sesuatu bentuk atau benda baru yang mungkin berbeda sama sekali dari bentuk asalnya. Namun, kemampuan anak untuk bisa membuat sesuatu bentuk, semisal menyusun balok-balok menjadi sebuah menara atau istana, berlangsung secara bertahap. Soalnya, jenis bermain ini berkaitan erat dengan kemampuan intelektual dan koordinasi motorik.
Di awal usia batita, kala menyusun balok, si kecil belum bisa menentukan mau berbuat apa dari balok-balok tersebut. Yang ia tahu hanyalah menyusunnya tanpa mengerti maknanya. "Awalnya anak batita masih pada tahap sensori motor, dia baru belajar keseimbangan atau menyeimbangkan balok-balok yang ia susun," jelas Evi Sukmaningrum, S.Psi. Jadi, tak masalah bila si kecil yang berusia setahun menyusun balok-baloknya tak beraturan, semisal yang kecil di bawah dan yang besar di atas, karena ia memang belum menangkap konsep keteraturan dan urutan, ia pun belum bisa membedakan balok besar dan kecil atau benda mana yang harus disusun lebih dulu.
Barulah di usia 2-2,5 tahun, si kecil mulai mengenal konsep besar-kecil, hingga ia bisa diajarkan untuk menyusun secara berurutan, dari yang besar di bagian bawah hingga ke atas makin mengecil. Selanjutnya, di atas usia 3 tahun, seiring kemampuan kognitifnya yang berkembang, ia mulai tahu akan membuat apa dengan balok-balok tersebut, entah gedung, jembatan, rumah, dan lainnya. "Jadi, ia tak lagi asal-asalan mengkonstruksikan sesuatu, tapi sudah memakai proses berpikir," kata pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini.
MENGEMBANGKAN KREATIVITAS
Mengingat si batita belum maksimal kemampuan motorik halusnya, maka balok-balok yang diberikan hendaknya berukuran besar-besar. Soalnya, untuk memegang balok/benda kecil dibutuhkan akurasi motorik halus yang tinggi. Selain, balok/benda kecil itu bisa membahayakan dirinya semisal tertelan. Bukankah tak sedikit batita yang masih suka memasukkan segala sesuatu ke mulutnya? Jadi, makin kecil usia anak, makin besar balok/benda yang digunakannya.
Tentunya si kecil pun perlu diawasi selagi bermain, hingga bisa mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkan. Misal, kala bermain balok dengan temannya, tiba-tiba ia memukul si teman dengan balok. Celaka, kan? Namun, tugas kita bukan semata-semata hanya sebagai pengawas, lo, melainkan lebih sebagai teman bermain. Jadi, kala ia tengah "menciptakan" sesuatu dari balok, kita pun menciptakan sesuatu dari balok lain. Meski begitu, kita jangan cuma menemaninya secara fisik, melainkan juga secara emosional, "Adek bikin apa? Bagus, ya, bentuknya," misal. Dengan kata lain, ada interaksi antara orang tua dan anak. "Jangan sampai orang tua menemani anak tapi enggak tahu anaknya sedang membuat apa."
Bukan berarti kita lantas boleh melakukan intervensi, lo. Misal, "Bukan begitu, Dek, bikinnya. Harusnya balok yang kuning di bawah dan balok yang merah di atas, baru yang hijau disusun di atas yang merah." Akan tetapi, biarkan ia main tumpuk sesuka hatinya. Justru dari situ ia belajar mereka-reka bentuk konstruksi yang sesuai dengannya. Jadi, beri kesempatan seluas mungkin pada anak untuk mencoba mengerjakannya dan membuat keputusan sendiri. Dengan begitu, imajinasinya makin berkembang dan ia pun jadi kreatif. Kelak, ia mampu mencipta bentuk tertentu secara orisinal yang tak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, semisal membuat kendaraan istimewa untuk menyeberangi lautan atau menciptakan robot sebagai teman bermainnya.
Jangan pula kita mengkritik ataupun mencela hasil karyanya, "Bentuk apa, tuh, Dek? Kok, bikin rumah kayak gitu? Itu, sih, kotak sabun!" Komentar begini cuma akan membunuh kreativitasnya. Justru kita harus memberi respon positif dan mendukungnya, "Bagus, ya, Dek. Nah, sekarang coba Adek bikin bentuk lain lagi," misal. "Ingat, bermain adalah ekspresi kesenangan anak tanpa tuntutan hasil akhir. Jadi, apa pun hasilnya, hargailah," bilang Evi.
MELATIH KESABARAN
Dengan bermain balok, selain melatih kemampuan motorik halusnya hingga makin terampil dan mengembangkan imajinasinya, juga bisa menjadi sarana pendidikan buatnya. Kita bisa mengenalkan konsep warna dan bentuk, serta tekstur. Hingga, si kecil lama-lama akan tahu, "O, ini bentuknya lebih besar ketimbang yang ini. Jadi, biar enggak jatuh, yang besar di bawah, yang kecil aku taruh di atas," atau, "Balok yang ini warnanya merah, yang ini hijau," misal.
Lewat permainan ini juga akan melatih kesabaran si kecil. Bukankah untuk menyusun balok agar dapat berdiri tinggi dibutuhkan pengendalian diri? Nah, si kecil dapat melatih kesabarannya dan memotivasi diri dalam meraih sesuatu. Kala ia marah-marah karena baloknya rubuh, kita perlu memberikan pengarahan, "Kenapa baloknya cepat rubuh, Dek? Karena Adek terlalu buru-buru. Sekarang coba pelan-pelan. Nah, bisa, kan!", misal. "Dari sini anak memiliki kesadaran bahwa ia harus sabar atau pelan-pelan agar berhasil menyusun balok."
Jangan sampai yang terjadi malah sebaliknya, ketika si kecil marah-marah dan mengatakan, "Adek enggak bisa main ini!", kita mendiamkan saja. Meskipun ia sedang kesal, saran Evi, coba dekati lagi, "Adek pasti kesal, ya? Tapi coba lagi, yuk! Tadi baloknya rubuh kenapa, ya?", misal. "Jadi, orang tua berusaha agar anak tak hanya berhenti pada rasa kesalnya, tapi juga harus mencari penyebab kegagalannya dan berusaha mencari penyelesaiannya." Dengan demikian, anak pun menyadari, bahwa dalam bermain, kadang ia akan menemukan masalah.
ANEKA MANFAAT
Tak hanya itu, lewat permainan ini, si kecil juga bisa mengenal nilai-nilai moral, antara lain ada peraturan yang tak boleh dilanggar. Misal, ia tak boleh merebut balok milik temannya jika baloknya sudah habis sementara ia masih membutuhkannya, "Adek harus bilang dulu, ya, kalau mau pinjam balok teman, tak boleh main rebut."
Dari sini pun, kita bisa mengembangkan sikap prososial pada si kecil, yakni dengan melatih kepekaannya untuk berbagi kepada teman yang membutuhkan. "Biasanya, kemampuan berbagi baru dimiliki anak di usia 3 tahun ke atas," jelas Evi. Nah, pada saat itu, kala melihat temannya masih membutuhkan balok sementara baloknya sudah habis, ia spontan akan memberikan, "Si Reza mau bikin jembatan, tapi baloknya kurang satu, aku pinjemin, ah!", misal.
Selain itu, lewat permainan ini pula kita bisa mengajarkan si kecil mengenali kemampuan dirinya. Misal, "Dek, lihat, tuh, si Dina bisa nyusun baloknya sampai tinggi. Adek juga bisa, kok. Yuk, Adek coba bikin." Hingga, seiring usia bertambah, biasanya di usia prasekolah, si kecil pun akan tahu sebatas mana ia mampu dan sebatas mana tidak, "O, ternyata aku bisa bikin rumah-rumahan," misal, atau kala hasil karya temannya lebih bagus, ia pun bisa menilai, "O, ternyata rumah-rumahan yang kubuat lebih jelek dari Susi. Aku masih harus banyak belajar, nih." Intinya, bilang Evi, makin besar anak, ia akan lebih tahu, apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya.
Bisa terjadi, kala bermain balok dengan teman, tiba-tiba ia merubuhkan susunan balok si teman. Biasanya lebih karena si batita kesal pada dirinya sendiri yang tak bisa menyusun balok seperti yang dilakukan si teman. Nah, kita bisa beri pengertian, "Adek enggak boleh begitu. Adek juga bisa, kok, menyusun balok sampai tinggi seperti yang disusun Dina. Coba, deh, Adek susun lagi," misal. Dari sini, ia pun sekaligus belajar mengenali sebatas mana kemampuannya.
Manfaat lain, permainan ini memiliki nilai terapeutik. Maksudnya, si kecil bisa mengekspresikan emosinya atau perasaan yang ia tekan selama ini dengan sebebas-bebasnya. Coba saja perhatikan, tak jarang si kecil merubuhkan susunan baloknya, lalu disusunnya lagi untuk kemudian dirubuhkannya lagi, sampai berulang-ulang. Bisa jadi, kala itu ia tengah melampiaskan amarahnya. "Kadang, anak, kan, tak bisa mengungkapkan emosinya secara verbal, apalagi pada anak tertutup atau pendiam. Nah, dengan menghancurkan kembali balok yang sudah disusunnya, ia bermaksud melampiaskan emosinya hingga merasa lega. Selanjutnya, tugas orang tualah untuk mencari tahu masalah yang dihadapi si anak," tutur Evi.
Nah, mengingat manfaatnya yang banyak, jangan lupa menyediakan mainan balok-balok ini buat si kecil, ya, Bu-Pak.
Bila Ingin Mengenalkan Lilin
Selain susun balok, bermain konstruktif juga bisa dilakukan dengan menggunakan lilin. Namun, permainan lilin biasanya baru bisa dilakukan setelah si kecil masuk TK, karena kemampuan kognitif dan motorik halusnya sudah lebih baik. Bukankah untuk membentuk lilin, anak harus menekan-nekannya, menggulung, dan lainnya, yang membutuhkan keterampilan tangan? Nah, pada batita, khususnya usia 2 tahun ke bawah, menurut Evi, masih memfokuskan pada kemampuan motorik kasar. "Jadi, yang sesuai, ya, permainan susun balok karena relatif mudah," katanya.
Namun begitu, tak ada salahnya bila kita ingin mengenalkan lilin pada si batita. Hanya, perlu disadari, si batita umumnya belum tahu lilin tersebut akan digunakan untuk apa. Itu sebab, ia harus diberi contoh dengan cara kita menciptakan bentuk yang mudah dulu, semisal bola, "Dek, kita buat bola dari lilin ini, yuk." Awalnya, mungkin hasil yang dibuat si kecil masih gepeng-gepeng, enggak apa-apa, kok. Toh, lama-kelamaan, seiring meningkatnya kemampuan motorik halus si kecil, ia pun bisa membuat bentuk bola dengan sempurna.
Faras Handayani/nakita
KOMENTAR