Ini bisa terjadi, lo, karena cemburu pertanda anak merasa tak aman. Ia takut tak disayang lagi.
"Ah, masa, sih, anak sekecil itu sudah bisa cemburu? Lagian, sama ayahnya sendiri, kok, cemburu," begitu pikir kita. Padahal, meski masih batita, si Buyung juga bisa, lo, cemburu sama ayahnya, atau si Upik cemburu pada ibunya.
Menurut teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, pada masa transisi dari usia batita ke usia prasekolah, anak akan mengembangkan ketertarikan yang kuat atau rasa ingin dekat dengan orang tua lawan jenisnya. Hingga, kala ayah berdekat-dekatan dengan ibu, si Buyung pun cemburu. Ia menganggap cinta ibunya akan diambil ayah. Jadilah ia mengembangkan rasa permusuhan pada ayah. Hal serupa juga terjadi pada si Upik yang mencemburui ibunya karena menganggap si ibu akan mengambil cinta ayahnya. "Kalau dijelaskan secara rasional memang sulit," kata Evi Sukmaningrum.
Namun menurut Freud, jelas psikolog dan staf pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini, anak yang masih kecil punya kecenderungan merasa nyaman ketika dekat dengan orang tua yang berlainan jenis kelamin. "Anak perempuan akan mengembangkan ketergantungan yang tinggi pada ayah, sementara anak laki-laki pada ibu."
Masih menurut Freud, lanjut Evi, agar si kecil dicintai oleh orang tua lawan jenisnya, ia akan melakukan identifikasi. Jadi, si Buyung akan berusaha sama seperti ayahnya agar dicintai ibunya, sebaliknya si Upik akan berusaha sama seperti ibunya untuk mendapatkan cinta ayahnya. Dari sinilah berkembang self identification si kecil, ia akan mencontek sikap bicara sampai gaya jalan orang tuanya.
TERIKAT PADA SATU ORANG TUA
Terlepas dari teori Freud, secara logika, jelas Evi, kecemburuan si kecil disebabkan ada ketergantungan yang tinggi pada salah satu orang tua, hingga ia tak mau membagi kasih sayang atau atensi pada orang tua yang satunya. Jadi, pada diri anak, entah si Upik atau Buyung, ada keinginan mendapatkan rasa sayang yang berlebihan dari salah satu orang tua saja, biasanya yang menjadi caregiver utama.
Misal, si Upik yang biasa diasuh oleh ibu akan merasa cemburu bila melihat ibu sedang bersama ayah. "Ia tak mau menerima si ayah karena ada perasaan terancam atau rasa takut bahwa kasih sayang si ibu akan terbagi dengannya." Atau, bila si ayah yang biasa mengasuhnya, maka si Upik pun akan lebih dekat dengan ayahnya. Hingga, ia pun akan mengembangkan sikap serupa, yaitu takut kasih sayang ayah terbagi dengan ibu.
BIKIN TAMBAH CEMBURU
Celakanya, tak sedikit orang tua yang menganggap lucu kecemburuan si kecil lantaran si kecil melampiaskannya dengan berguling-guling di lantai atau berusaha menjauhkan ibu dari si ayah sambil menangis. Hingga, orang tua jadi terdorong menggoda, "Lihat, nih, Bunda, Ayah ambil!"
Padahal, sikap orang tua yang demikian hanya membuat anak makin merasa terancam, kok, Bunda malah bersekongkol dengan Ayah untuk memisahkan cinta dia dan si Bunda (atau sebaliknya). Selain, akan menimbulkan kecemasan atau ketakutan yang tinggi pada anak karena orang tua tak mendukungnya untuk memberikan kasih sayang, tapi malah memperlihatkan seolah-olah akan meninggalkan.
Jika hal ini terus-menerus terjadi, anak akan merasa dirinya tak menjadi spesial buat orang tuanya, karena kasih sayang ayah-ibu hanya untuk mereka berdua. Akhirnya, anak akan berpikir, "Ayah cuma sayang sama Bunda, Bunda cuma sayang Ayah, aku enggak!"
Dampaknya juga tak bagus bila orang tua malah mengatur "siasat". Misal, ayah-ibu sepakat untuk tak saling dekat-dekat di depan si kecil. "Anak jadi tak bisa melihat model keluarga yang sehat." Dengan kata lain, anak tak bisa melihat bahwa ayah-ibunya harmonis dan saling menyayangi.
Bukan cuma itu, kalau si Buyung dekat dengan ibu, dia akan menganggap ayahnya sebagai rival, "Ayah adalah musuh untuk mendapatkan ibu." Hingga, si Buyung tak lagi mau menurut sama ayahnya atau si Upik tak menurut sama ibunya. "Nah, bukankah ini akan mengembangkan lingkungan yang tak sehat?" ujar Evi.
AKTIF MENDEKATI ANAK
Tak jarang pula, kala menyaksikan anaknya menjadi temper tanntrum semisal guling-guling di lantai lantaran cemburu, si ibu/ayah mengatakan, "Ya, udah, sini... sini sama Bunda. Ayah memang nakal!" Ini justru akan melabel anak bahwa benar si ayah merupakan ancaman baginya.
Yang terbaik, bilang Evi, ayah mendekati si kecil dan tanya secara baik-baik, "Kenapa, Dek, kok, guling-guling di lantai?" Atau, ayah memeluknya sambil berusaha menenangkan, "Bunda tetap sayang, kok, sama Adek. Ayah juga sayang Adek." Dengan begitu, si kecil merasa aman, bukan hanya pada ibu tapi juga ayah. "Ia tak takut lagi ibunya akan membagai kasih sayang pada ayah, hingga ia pun tak merasa terancam bila ibu dekat-dekat dengan ayah." Karena baginya, ayahnya pun bisa membuat dirinya merasa aman dan dia juga tahu bahwa ayah mencintainya.
Selain itu, bila orang tua sudah tahu penyebab rasa cemburu si kecil karena ia mengembangkan keterikatan hanya pada salah satu orang tua, maka libatkan orang tua yang satu. Misal, si kecil amat tergantung pada ibu. Nah, ajak si ayah agar melibatkan diri dalam aktivitas si kecil semisal bermain bersama.
Keterlibatan orang tua yang "dimusuhi" oleh anak dalam upaya menenangkan si anak maupun memupuk kedekatan dengan si anak, menurut Evi amat penting. Hal ini akan menumbuhkan rasa aman pada si kecil, karena ia merasa disayangi dan dicintai, bukan hanya oleh salah satu orang tua, melainkan keduanya.
Kadar Cemburu Tiap Anak Berbeda
Tiap anak itu unik. Makanya, takaran cemburu masing-masing anak juga beda; ada yang besar, ada yang kecil, ada pula yang biasa-biasa saja. Perbedaan ini, jelas Evi, bukan karena kadar rasa cemburu itu sendiri, melainkan lebih karena kebutuhan atensi tiap anak berbeda. Hal ini disebabkan temperamen yang berbeda sejak lahir.
"Pada anak sulit, harus diberikan atensi lebih besar. Beda dengan anak yang cepat beradaptasi dengan lingkungan dan merasa aman, dia tak memerlukan atensi besar dari orang tuanya." Nah, anak-anak yang butuh atensi besar ini, akan marah kala orang yang dekat dengannya memberikan atensi pada orang lain. Dari marah inilah lama-lama akan mengembangkan rasa cemburu.
Bila Si Kecil Tak Cemburu
Ada juga, lo, anak yang tak punya cemburu. Bukan berarti kita lantas tenang-tenang saja. Soalnya, si kecil tak cemburu bisa karena dia memang bukan tipe anak yang memerlukan atensi lebih. Dengan demikian, bila ia tak cemburu, normal-normal saja. Malah bisa menjadi bukti bahwa si kecil sudah merasa aman dan tak merasa terancam.
Penyebab lain, orang tua tak dekat dengan anak. Bila demikian, kita harus hati-hati dan perlu melakukan refleksi, kenapa, kok, si kecil tak cemburu. Jangan-jangan memang kita tak dekat dengannya, atau si kecil lebih sering diberikan pada pengasuh/orang lain.
Jika setelah ditelaah ternyata kita memang tak atentif, maka harus mendekatkan diri dengan anak. "Jangan lupa, anak kecil punya sensitivitas atau kepekaan tinggi, yang membuatnya bisa merasakan apakah orang ini sayang padanya atau tidak, lembut atau kasar kepadanya, dan lainnya."
Biasanya, anak lebih dekat dengan ibu karena sejak dikandung sudah terjalin bounding yang kuat. Namun tak menutup kemungkinan ada anak yang tak dekat dengan ibunya. "Ini bisa disebabkan beberapa hal." Misal, tiap kali ibu menggendong dengan marah-marah, "Aduh, Ibu capek, nih, seharian kerja, kamu, kok, nangis terus, sih?" Sedangkan ketika ayah menggendongnya lebih terasa hangat, "Lo, kok, anak Ayah yang cantik menangis? Kenapa, Sayang?"
Tentu saja si kecil lebih memilih ayah karena ia bisa merasakan sang ayah benar-benar menyayanginya. Nah, bila sudah tak merasa dekat, buat si kecil, ibu bukan figur pemberi kasih sayang hingga ia tak mengalami ketergantungan padanya. Jadi, si ibu mau ngapain pun, ia tak peduli.
Anak yang tak cemburu karena orang tuanya tak atentif, akan mengembangkan sikap cuek. Jika disuruh memilih antara orang tua dengan orang lain, dia akan memilih orang lain, karena dia tak merasa orang tuanya sebagai figur yang istimewa atau tak berbeda dengan orang lain.
Beda dengan anak yang tak cemburu karena bawaan, dia akan memilih orang tuanya, karena merekalah figur pemberi kasih sayang buatnya. "Anak yang tak cemburu karena bawaan, akan merasa aman, hingga ia mau tetap dekat dengan ayah-ibunya." Biasanya, kemampuan adopbility terhadap lingkungan sosialnya mudah; ia gampang berinteraksi dengan orang lain dan mudah akrab.
Faras Handayani/nakita
KOMENTAR