Setelah setahun berpacaran, Bagus (24) dan Indah (23) memutuskan menikah. Semua berjalan lancar, namun di bulan keenam, pertikaian kecil muncul.
Indah tidak setuju jika suaminya nongkrong dengan teman-teman kuliahnya dan Bagus tidak terima jika istrinya bekerja. Padahal ketika mereka masih berpacaran, hal-hal tersebut tidak menjadi persoalan.
Menurut A. Kasandra Putranto, S.Psi., Psikolog., Humas Ikatan Psikologi Klinis, masalah-masalah di tahun pertama pernikahan seperti yang terjadi pada Bagus dan Indah bisa terjadi dikarenakan beberapa faktor. Apa saja? Simak, yuk!
Lama Masa Pacaran
Menurut teori, lama masa pacaran yang normal itu dari 6 bulan hingga 3 tahun. Kurang dari waktu itu, terlalu dini untuk menikah karena takutnya belum atau kurang mengenal karakter masing-masing, juga seluk-beluk dan karakter keluarganya. Sedang jika lebih dari itu, selain terlalu lama, bisa jadi kedua pasangan menjadi bosan.
Usia Pasangan
Faktor ini terbagi dua, yaitu usia kronologis (fisik) dan usia mental.
Meski tidak menjadi patokan atau jaminan, usia kronologis yang tepat bagi orang yang ingin menikah adalah 25-30 tahun. Usia ini dianggap sudah mencapai kematangan dalam berpikir.
Jika masih terlalu muda, pikirannya masih terpecah belah padahal seharusnya fokus pada rumah tangga. Dan biasanya, orang tua belum sepenuhnya bisa "melepas" mereka untuk mandiri, karena masih menganggap mereka anak kecil. Maka tak heran jika kemudian orang tua kerap mengatur dan masuk dalam setiap persoalan rumah tangga. Apalagi jika lelakinya tidak memiliki penghasilan (belum bekerja) dan masih mengandalkan orang tua untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Sementara usia mental bisa dilihat dari sisi emosional yang berasal dari usia masing-masing individunya. Biasanya, usia yang masih muda pikiran dan tingkah lakunya masih dipengaruhi oleh hormon yang khas, sehingga setiap kali menghadapi perbedaan pendapat, mereka meluapkannya dengan meledak-ledak.
Akan tetapi usia memang bukan penentu utama seseorang bisa bermental matang. Banyak juga orang yang berusia lebih tua, tapi karakternya belum matang, begitu juga sebaliknya.
Kasandra memberi contoh pasangan berusia muda Darius Sinatrya (26) dan Donna Agnesia (32). Meski saat menikahi Donna, usia Darius masih 21 tahun, tapi hingga sekarang keduanya terbilang berhasil menjalani rumah tangganya dengan tenang. "Keduanya sangat matang dan sangat stabil," ujar Kasandra.
Jadi, jika kedua pasangan menikah dalam mental yang sudah matang, mereka berpotensi mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah rumah tangga dengan lebih baik.
Karakter Kepribadian
Karakter itu lebih dari sekadar emosi. Karakter kepribadian itu mencakup konsep diri, pola pikir, kecerdasan berpikir, kematangan, kemampuan interaksi sosial, dan kualitas diri. Kadang, urusan kecerdasan (baik intelektual dan emosi) bisa memicu pertengkaran. Atau, bisa juga karena keduanya belum memiliki pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan setelah menikah.
Misalnya, apa yang harus dilakukan istri saat suami pulang kerja, etika ber-sms atau bertelepon dengan teman saat sudah menjadi suami-istri, atau cerita yang pantas diceritakan kepada orang tua seputar permasalahan rumah tangga.
"Istrinya pengin bebas, tidak dikekang suami, tapi suaminya tidak bisa karena cemburuan. Istrinya manja karena anak bungsu, sedang suaminya anak pertama dan suka mengatur. Istrinya kesal karena suaminya enggak meneleponnya seharian, sedang suami merasa itu tak terlalu perlu. Pulang kerja suami marah istrinya belum mandi, tidak masak, dan masih asyik menonton film Korea, sedang Si Istri merasa itu hal biasa yang sering dilakukannya saat masih sendiri. Suami suka bicara kotor, istri tidak pandai menjaga badan, dan lain-lainnya itu berhubungan dengan karakter," terang Kasandra.
Situasi dan Kondisi
Situasi dan kondisi antara lain berkaitan dengan posisi suami atau istri di dalam keluarga (anak ke berapa). Misalnya, jika menikah di usia sangat muda ditambah posisinya di keluarga adalah anak bungsu, sangat memungkinkan bagi keluarganya untuk ikut campur. Kata-kata "Bilangin, tuh, istri (atau suami) kamu, jangan suka bla bla bla..." atau, "Kamu masih kecil, mana ngerti, sih, kamu urusan rumah tangga" seringkali terdengar.
Jika ini yang terjadi, situasi dan kondisi juga berkaitan dengan karakter orangtua dan kakak/adik yang tidak matang atau tidak siap "melepas" anak dan saudaranya. Sayangnya, ketika mental pasangan ini juga tidak matang, mereka akan mudah terprovokasi dengan situasi dan kondisi ini, sehingga bisa menimbulkan konflik. Salah-salah, jika tak kuat, banyak pasangan yang mengambil jalan cerai di usia pernikahannya yang masih seumur jagung.
Ester Sondang / bersambung
KOMENTAR