Tak boleh dibiarkan saja, lo, Bu-Pak. Justru kita harus mendekatkannya kepada siapa saja. Biar hidupnya jadi "kaya".
Bukan tak mungkin, lo, Bu-Pak, si kecil menolak kala diajak ke rumah kakek-neneknya dari pihak ibu atau sebaliknya. Namun bila diajak ke rumah kakek-nenek dari pihak ayah, getolnya bukan main. Bahkan, kerap minta diajak ke sana. Nah, ini biasanya jadi persoalan buat suami atau istri yang orang tuanya enggak "dipilih" oleh sang buah hati. Bahkan, bukan tak mungkin bisa memicu terjadi konflik antara suami-istri maupun antara menantu dengan mertua. Jadi, runyam, kan?
BANYAK FAKTOR
Kedekatan cucu terhadap kakek-nenek, menurut Rahmitha P. Soendjojo, terutama ditentukan oleh jarak atau kedekatan fisik. Jadi, kalau tinggalnya sekota atau malah satu kompleks perumahan, kemungkinan cucu lebih dekat dengan kakek-neneknya ini jauh lebih besar, ketimbang yang tinggalnya berjauhan. Namun begitu, "kedekatan cucu dengan kakek-nenek sebenarnya bisa dibina, kok, tanpa harus si cucu seharian main dan mengobrol di rumah kakek-neneknya atau si kakek-nenek yang main ke rumah cucunya," terang psikolog pada DIA-YKAI, Jakarta ini.
Soalnya, bentuk relasi kakek-nenek dengan cucu ini dipengaruhi pula oleh bentuk relasi dalam keluarga asal ayah-ibu. "Mereka yang dibesarkan dalam keluarga hangat, umumnya akan mewariskan kehangatan pula kepada generasi berikutnya." Itu sebab si cucu akhirnya cuma mau dekat sama kakek-nenek dari pihak keluarga yang memberi kehangatan ini. Sebaliknya, "mereka yang tumbuh dalam keluarga dingin dan cenderung menjaga jarak, juga akan membawa aura semacam ini kepada anak-cucunya."
Namun ini pun bukan harga mati, lo, karena masih ada situasi-situasi tertentu yang ikut mewarnai bentuk relasi cucu dengan kakek-neneknya. Antara lain, penerimaan kakek-nenek terhadap menantu, semisal mertua yang kurang menyetujui perkawinan anaknya dengan si menantu. Otomatis, kakek-nenek ini juga akan menjaga jarak terhadap cucunya. Situasi lain, posisi-posisi tertentu yang membuat kakek-nenek memperlakukan cucunya secara istimewa, seperti cucu dari anak sulung, anak kesayangan, atau anak yang paling berhasil cucu laki-laki pertama atau cucu yang sudah lama dinanti-nantikan kehadirannya, dan lainnya.
POSISI NETRAL
Jadi, jangan cuma lihat negatifnya saja, ya, Bu-Pak, bila si kecil lebih dekat dengan kakek-neneknya dari pihak pasangan kita. Saran Mitha, begitu psikolog ini biasa disapa, cari tahu mengapa anak kita tak mau dekat dengan kakek-neneknya dari pihak kita: apakah lantaran jarak rumah yang jauh ataukah karena beliau lebih hangat, gampang memberi pertolongan, mau dititipi si kecil tanpa banyak alasan, dan sebagainya. "Semua fakta ini sangat menunjang kedekatan cucu dengan kakek-neneknya, baik dari pihak ayah maupun ibu."
Namun kita tak perlu menyalahkan kakek-nenek yang enggak dekat dengan cucunya ini, lo. Misal, "Habis, sih, Papa-Mama pilih kasih sama cucu. Jadinya si Kakak enggak mau, deh, setiap diajak ke rumah Oma-Opanya." Justru kita punya kewajiban untuk berusaha mendekatkan beliau dengan cucunya dan mendudukkan diri pada posisi netral. Terlebih jika sampai terjadi rebutan cucu di antara kedua kakek-nenek ini, "mengapa enggak kita cut off saja untuk sementara waktu?" ujar Mitha. Dengan begitu, akan menunjukkan otorita kita sebagai orang tua.
Kita pun tak boleh menuruti begitu saja bila si kecil yang tegas-tegas menunjukkan antipatinya terhadap salah satu kakek-neneknya. "Tanyakan alasannya dan carikan solusinya berdasarkan keberatannya tadi." Misal, si Kecil bilang, "Habis,Kakek-Nenek suka ngomel, sih. Aku enggak boleh naik-naik atau loncat-loncat. Kan, sebel kalau serba dilarang!"
Jika kakek-neneknya sudah sepuh, "tentu sudah wajar, dong. Orang setua beliau, kan, memang tak suka lagi berhadapan dengan kebisingan dan hiruk-pikuk anak berlarian ke sana ke mari. Terlebih lagi bila si anak enggak ada yang menjaga," bilang Mitha. Nah, jelaskan kondisi faktual ini pada si kecil, bahwa kondisi inilah yang memunculkan berbagai larangan itu. Selain, kita juga harus lihat kondisi si kecil. Bila memang ia termasuk anak lasak, "kita harus memutuskan untuk tetap berkunjung tapi dengan waktu yang lebih singkat. Tentu sambil tetap memberi pengertian pada anak agar ia tak terlalu lasak di sana."
Lain cerita bila kakek-nenek masih segar bugar, apalagi jika si kecil didampingi pengasuhnya. "Boleh jadi sebagai tuan rumah, beliau enggak suka rumahnya berantakan. Namun kita tetap harus menghargainya dan ajarkan pada anak untuk belajar menghargai keinginan orang lain." Kita pun bisa bekerja sama dengan kakek-nenek untuk menyediakan tempat yang bisa di"obrak-abrik" si kecil. Toh, tak setiap sudut rumah enggak boleh dijamah, kan? Dari cara ini, kita sekaligus mengajari si kecil mengakomodir dan beradaptasi dengan situasi-situasi yang tak bisa dihindarinya, hingga kakek-neneknya tak merasa terganggu dan si kecil pun tak kecut hatinya. Dengan begitu, kita sebetulnya juga telah mengajari si kecil untuk mencari alternatif solusi menghadapi kakek-neneknya, kan?
INGATKAN KAKEK-NENEK
Yang mesti diwaspadai, jika anak kita merupakan cucu kesayangan. Soalnya, si kakek-nenek biasanya kelewat memanjakan. Hingga, kita jadi repot karena setiap kali anak kembali ke rumah, kita harus meluruskan sekaligus menegakkan disiplin yang selama ini sudah berjalan. Anak pun jadi bingung melihat di rumahnya sangat disiplin sementara di tempat kakek-neneknya longgar sekali, "Kok, enakan di rumah Kakek-Nenek, ya, aku boleh makan permen, es krim, boleh nonton TV sepuasnya." Hingga, ia mau ke rumah beliau hanya lantaran alasan-alasan tersebut. Ini jelas tak baik karena merugikan anak untuk jangka panjang.
Hati-hati, lo, Bu-Pak. Si Kecil akan tumbuh jadi anak yang sangat manja. "Ia pun akan kerap cari pelarian di rumah kakek-neneknya. Bukankah di rumahnya enggak enak?" bilang Mitha. Tak hanya itu, "ia juga tak pernah belajar menahan keinginan, menunda, serta membedakan mana yang kebutuhan dasar dan sekadar keinginan. Bukankah kalau ia tak mendapat dari orang tuanya, ia tinggal minta sama kakek-neneknya dan pasti dapat? Akibatnya, kalau ia sudah menginginkan sesuatu, tak bisa ditawar-tawar lagi: harus dapat sekarang juga!" Celaka, kan?
Bukan berarti kakek-nenek tak boleh memanjakan cucu, lo. Kalau cuma sesekali tentu tak jadi soal, semisal ulang tahun atau pada hari raya maupun kesempatan khusus seperti naik kelas atau si kecil jadi juara lomba. Dengan demikian, kita perlu memberi tahu beliau untuk bersikap sewajarnya saja terhadap cucu. Kemudian, agar beliau tak terlalu mengistimewakan si kecil, kita pun perlu mengingatkan bahwa masih ada cucu-cucu lain yang juga ingin mendapat perhatiannya, sambil tetap mengapresiasi penghargaan dan terima kasih kita.
Sekalipun beliau mertua, menurut Mitha, sah-sah saja kita "menegur"nya. Yang penting, bagaimana cara kita ngomongnya. "Kalau kita bisa membuat kalimat-kalimat yang efektif tanpa harus menyinggung perasaan beliau, sebenarnya, kan, enggak masalah," tutur lulusan Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, Bandung ini. Misal, kita enggak senang si kecil yang terbiasa tidur siang lantas merdeka kala menginap di rumah kakek-neneknya. Nah, kita bisa bilang, "Ma, saya khawatir si Adek akan rewel nanti malam kalau enggak tidur siang. Apalagi selama ini kami juga sudah membiasakannya tidur siang. Jadi, biarin aja, deh, Ma, dia tidur siang."
Jadi, tekankan pada kekhawatiran kita bahwa kalau kebiasaan itu dihilangkan, akan merusak ritmenya. Jikapun si kecil tak mau tidur siang lantaran ada hal-hal lebih mengasyikkan, tapi bentuk penggantinya harus berupa kesenangan di tempat tidur atau kegiatan yang sifatnya istirahat. Kita boleh, kok, melakukan modifikasi atau penyesuaian di sana-sini, tapi aturan-aturan tetap harus jalan.
Namun jika beliau memang tipe mertua yang susah diintervensi menantu, saran Mitha, "Bicarakan dengan pasangan agar ia yang menyampaikan kepada orang tuanya." Bukankah ayah dan ibu punya tanggung jawab sama untuk meluruskan hal-hal yang tak pada tempatnya?
JANGAN TANAMKAN BENCI
Menurut Mitha, orang tua sepatutnya membiarkan anak dekat dengan siapa saja karena akan memperkaya kehidupan anak. Arisan dan pertemuan keluarga, misal, sebetulnya bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk menjalin keakraban di antara kerabat, terutama mendekatkan si kecil dengan saudara-saudara sepupu maupun keluarga besarnya. Selain, untuk mengantisipasi kalau-kalau kelak mereka sudah besar tidak pacaran dengan saudara dekat, misal. Anak pun jadi belajar bertemu orang dan situasi baru, hingga tak kuper alias kurang pergaulan.
Sekalipun hubungan kita dengan orang tua/mertua enggak bagus, "jangan sampai anak terkontaminasi oleh memburuknya hubungan ayah-ibu dengan kakek-nenek." Jikapun si kecil tahu lantaran mendengar dari orang lain semisal om-tantenya, kita wajib membantu ia memilah-milah dengan tak memberi penilaian buruk. Bukan berarti kita harus berpura-pura menutupi kejelekan kakek-nenek, lo. "Sampaikan saja faktanya dan bagaimana kita menyikapi fakta itu secara positif, tapi tanpa disertai rasa tak suka atau emosi berlebihan."
Pendeknya, kita tak boleh menanamkan kebencian atau kedengkian pada si kecil terhadap kakek-neneknya, melainkan harus mengupayakan terus agar si kecil memperoleh imej positif tentang kakek-neneknya. Meski si kakek-nenek termasuk orang yang bertemparamen kasar dan kurang menyenangkan, misal, kita tetap harus selalu berupaya menetralisir keadaan. Namun kita boleh melakukan penghindaran, lo, salah satunya dengan berjauhan fisik. Artinya, kita berkunjung hanya pada waktu-waktu tertentu saja semisal ulang tahun, hari raya, dan hari istimewa lain. Ini lebih baik ketimbang sering datang tapi saling cuek atau malah ribut. Ingat, lo, si kecil di masa balita ini lagi kuat-kuatnya meniru. Nah, jika ia sampai meniru hal-hal jelek dari pertemuan tersebut, kan, celaka.
Bila diluar waktu-waktu tersebut si kecil minta ke rumah kakek-neneknya, sebaiknya kita telepon dulu untuk memberitahukan hal tersebut dan menanyakan apakah beliau tidak sedang repot, misal. Jika beliau berkenan, cukup kita antarkan saja si kecil dan menjemputnya lagi kemudian saat ia mau pulang. Tentu saja, agar tak memunculkan friksi baru, kita pun harus mengerem kunjungan ke rumah kakek-nenek yang kebetulan memiliki kedekatan dengan si kecil.
Nah, Bu-Pak, hal ini tentulah bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga buat kita sebagai calon kakek-nenek. Jangan sampai cucu-cucu kita nanti jauh dari kita gara-gara sikap kita sendiri.
SEJAUH MANA KAKEK-NENEK BOLEH TERLIBAT?
Menurut Mitha, tergantung pada kesepakatan keluarga bersangkutan. "Bila kakek-nenek diberi tanggung jawab cukup besar sebagai "tempat penitipan anak" selagi ayah-ibu bekerja, mau tak mau mereka terlibat agak dalam karena ikut mengurusi tetek-bengek keperluan cucunya."
Idealnya, bila sudah berumah tangga, masalah apa pun yang muncul menjadi tanggung jawab suami-istri. Jadi, bila suami-istri lebih kerap "melapor" ke orang tuanya begitu muncul masalah ketimbang mencoba menyelesaikannya sendiri, "tak heran bila orang tua alias si kakek-nenek ini akhirnya jadi ikut campur melulu dalam urusan rumah tangga anaknya," tandas Mitha.
Julie/Th.Puspayanti/nakita
KOMENTAR