Bagi wanita bekerja, memutuskan kembali bekerja atau tidak setelah melahirkan merupakan suatu dilema. Padahal, kehadiran anak seharusnya tak perlu mengubah kebiasaan yang sudah dijalankan.
Buat ibu bekerja di negeri kita, menurut Dra. Nuke S. Arafah, dilema ini lebih merupakan kebimbangan antara meninggalkan anak yang masih bayi dan belum bisa apa-apa dengan faktor ekonomi. Beda dengan di negara maju yang lebih pada masalah eksistensi diri. Ini tercermin dari banyaknya ibu bekerja yang tak sesuai minat dan pendidikannya. Misal, wanita bergelar insinyur tapi bekerja di bank. "Jadi, lebih pada pemenuhan kebutuhan ekonomi," tegas psikolog ini.
Untuk mengatasinya, tergantung dari kesepakatan suami-istri bersangkutan. Memang, diakui Nuke, keputusan bekerja atau tidak bagi wanita merupakan haknya, "tapi, apapun keputusan yang dibuat sebaiknya atas dasar pertimbangan matang dan hasil rembukan bersama suami karena ini merupakan bagian dari komunikasi suami-istri." Dengan demikian, tak ada keberatan atau keterpaksaan pada salah satu pihak.
Justru bila tak dikomunikasikan, "akan timbul masalah," lanjut direktur LKBHIuWK (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Indonesia untuk Wanita dan Keluarga) ini, "entah masalah ekonomi, psikologi, maupun sosial." Itulah mengapa, dalam mempertimbangkan untuk kembali bekerja atau tidak, juga harus dipikirkan ketiga masalah tersebut dan diantisipasi dari masalah yang mungkin timbul.
FAKTOR EKONOMI
Jika dengan ibu bekerja maka anak tak makan atau tak bisa memberikan masa depan yang baik, misal, "mungkin ibu akan tetap bekerja setelah melahirkan." Lain hal bila sudah merasa mapan, "tak bekerja pun tak jadi soal. Toh, dengan penghasilan suami saja sudah mencukupi atau malah lebih cukup untuk kebutuhan keluarga."
Biasanya, mereka yang tak soal dengan masalah ekonomi, tak terlalu bimbang untuk berhenti bekerja dan mencurahkan perhatian pada anak. Bukankah setelah anak agak besar dan bisa ditinggal, ibu bisa menyibukkan diri dengan mengaktifkan hobi dan minatnya? Jikapun ibu ingin tetap membantu tambahan finansial juga tak masalah. Toh, bisa dilakukan sambil mengurus anak. Misal, ibu terampil membuat kue, menerima jahitan di rumah, membuka salon, dan sebagainya.
KEDEKATAN EMOSI
Tentunya, buat ibu yang ingin kembali bekerja harus sudah bisa mengatasi kebimbangan masalah anak. "Jauh hari setelah melahirkan harus disiapkan bagaimana meninggalkan anak kelak agar tetap aman dan nyaman di rumah." Misal, dengan menyerahkan anak kepada orang yang diserahi tanggung jawab dan dipercayai, hingga ibu bisa tenang meninggalkan rumah dan konsentrasi bekerja.
Nah, mencari tenaga pengasuh yang andal dan bisa dipercaya ini yang sulit. Sering, kan, mendengar kisah-kisah seram tentang pengasuh yang memperlakukan anak dengan tak baik? Jadi, kita harus hati-hati.
"Kita, kan, tak bisa percaya langsung begitu saja kepada pengasuh, tapi harus lihat dulu kualitasnya." Saran Nuke, cari pengasuh minimal sebulan sebelum ibu kembali bekerja. Dengan begitu, jika ibu merasa tak cocok, masih ada waktu untuk mencari gantinya.
Harus diperhitungkan pula, keberadaan pengasuh sebagai orang ketiga bisa saja menimbulkan masalah tersendiri. Misal, anak jadi lebih dekat dengan pengasuhnya hingga timbul kecemburuan pada ibu. Untuk mencegahnya, "ibu harus mendekatkan diri dengan anak." Caranya, manfaatkan waktu sebelum dan sepulang kerja untuk bersama-sama anak, entah memandikan, menyuapi makan, bermain, dan sebagainya. Pokoknya, selagi ibu di rumah, si pengasuh "diliburkan". "Asalkan intensif, waktu yang sedikit itu sudah cukup, kok. Tak perlu harus 24 jam memberi perhatian pada anak." Dengan begitu, kedekatan emosi anak dan ibu tetap baik.
Sebaliknya pada ibu yang tak bekerja, kedekatan emosi dengan anak juga harus tetap terjaga. "Jika sehari-hari anaknya dibiarkan cuma sama pengasuh sementara ibu kerjanya pergi-pergi, ke salon, shopping, nonton telenovela, atau tidur melulu, dan sebagainya, ya, sama aja boong. Keterlibatan atau hubungan emosi antara ibu dan anak tak terjalin dengan baik atau berkurang." Akibatnya, kendati ibu tak bekerja, si kecil tetap lebih dekat dengan pengasuh. Jadi, dengan tak bekerja harusnya dimanfaatkan betul untuk mengurus si kecil, ya, Bu.
EKSISTENSI DIRI
Sementara dari sudut sosial, sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Seperti dikatakan Nuke, "dulu, ibu yang bekerja setelah melahirkan sering dianggap tak urus dengan anaknya, 'Kok, tega-teganya, sih, anak masih bayi sudah ditinggal kerja.' Tapi umumnya itu dulu dan biasanya juga merupakan pendapat ibu mertua."
Sekarang, boleh dibilang hampir tak terdengar lagi suara sumbang seperti itu. Bukankah yang namanya ibu tetap punya nurani untuk mengurus anaknya secara penuh? Di sisi lain, dengan bekerja, ia pun dapat merasa dirinya berguna atau bermanfaat. Dalam bahasa lain, ibu merasa eksistensi dirinya lebih baik. Dari situ ia juga bisa tahu cara mendidik anak dengan baik dan menjalankan rumah tangga dengan baik.
Jikapun sampai ada tudingan kita tak peduli sama anak lantaran bekerja, semisal dari mertua, saran Nuke, jelaskan pada beliau bahwa kita bekerja bukan cuma demi kepentingan diri sendiri tapi juga buat masa depan anak dan keluarga. "Mertua pasti bisa mengerti dan mungkin malah mendukung."
Sementara buat ibu yang tak bekerja, Nuke minta agar tak perlu malu dan minder. "Mau bekerja atau tidak, itu, kan, hak kita. Jadi, kenapa harus malu dan minder?" Apalagi jika eksistensi diri kita pun cukup terpenuhi bahwa kita mampu mengurus sendiri si kecil. "Itu suatu kebanggaan, lo." Terlebih lagi bila kita pun mampu membuat sesuatu yang hasilnya diterima orang lain semisal membuat jahitan, kue-kue, dan sebagainya. Wah, kebanggaannya berlipat-lipat, lo, tak kalah dengan kebanggaan ibu-ibu yang orang kantoran.
TAHU AKAR MASALAHNYA
Nah, Bu, kini sudah enggak bingung lagi memilih untuk kembali bekerja atau tidak, kan? Tapi jangan lupa, lo, apapun keputusannya, harus dikomunikasi dulu dengan suami dan bahkan mertua. Tentu komunikasinya harus berjalan baik. Jadi, bila ada sesuatu yang tak disukai, harus dikemukakan dan dicari solusinya.
Prinsipnya, tekan Nuke, segala masalah bisa diatasi asalkan kita tahu pokok persoalannya. "Jika akar permasalahannya tak dicari, jangan harap didapat solusinya. Yang terjadi justru saling tuding." Misal, anak sakit lantas istri disalahkan karena bekerja hingga tak memperhatikan anak. Padahal, bukan bekerjanya yang disalahkan, tapi sakitnya anak yang harus diatasi. Begitu, kan, Bu-Pak?
Dedeh Kurniasih/nakita
KOMENTAR