* Pupuklah kelebihan anak.
Orang tua yang baik harus bisa melihat potensi anak; apa yang menjadi kelemahan dan kelebihannya harus bisa diketahui. Selanjutnya, kembangkan lebih jauh kelebihan itu. Ini membuat anak merasa, "Meski aku punya satu kelemahan, tapi bukan berarti aku enggak bisa melakukan apa-apa. Aku juga punya, kok, kelebihan yang orang lain belum tentu mampu melakukannya."
Buat anak, yang penting ada kepercayaan dan dukungan dari lingkungan dalam memberikan kesempatan kepadanya untuk mengembangkan kemampuannya. Karena dari situlah ia makin percaya bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu.
* Tempatkan anak pada porsi yang tepat.
Bila kita tahu ia punya kelemahan belajar, misal, ya, jangan masukkan ia ke "sekolah" yang murid-muridnya pintar-pintar. Jika hal ini dilakukan juga, sama saja kita "membunuh"nya. Namun bila ia ditempatkan di "sekolah" yang murid-muridnya biasa-biasa saja, ia jadi bisa berinteraksi dan bersama-sama belajar dengan teman-temannya.
Hal yang sama juga berlaku bila perekonomian kita pas-pasan. Jangan karena agar gengsi kita naik lantas si kecil dipaksakan "sekolah" di "sekolah" elite yang murid-muridnya berasal dari keluarga dengan sosial-ekonomi lebih tinggi dari kita. Ini hanya akan membuatnya terkena shock culture: teman-temannya pergi-pulang "sekolah" selalu diantar-jemput pakai mobil mewah, sementara dia jalan kaki. Mainan yang dimilikinya pun beda, hingga kala teman-temannya bercerita tentang mainan dengan teknologi canggih, si anak tak bisa mengikuti. Akhirnya, ia akan merasa dirinya berbeda dengan teman-temannya. Lama-kelamaan ini akan mengganggu proses interaksi dengan lingkungannya. Si anak jadi minder terhadap teman-temannya.
TERIMA ANAK APA ADANYA
Selain ketiga cara di atas, Destryna pun mengingatkan kita agar jangan membanding-bandingkan anak dengan anak-anak lain. Misal, anak tetangga sudah bisa baca-tulis, sementara si kecil belum hingga kita menganggapnya bodoh. Padahal, belum tentu. "Tak semua anak yang belum bisa baca-tulis itu bodoh, lo." Ingat, kan, kisah Thomas Alfa Edison yang sampai usia 7 tahun pun belum bisa membaca? Ternyata dia enggak bodoh, kok. Justru berkat kejeniusannya kita bisa menikmati lampu sebagai alat penerangan.
Jadi, pahami bahwa kemampuan tiap anak berbeda-beda. "Asalkan kita membina anak dengan tekun, maka tak ada kata tak bisa buat anak." Kuncinya, kesabaran dan kesediaan menerima keberadaan anak apa adanya. "Meski kita tahu ada satu kekurangan pada anak kita, tapi bila kita menerima, merangkul, dan menunjukkan kepadanya bahwa kita tetap bangga memiliki anak seperti dia, maka anak pun tak merasa disingkirkan atau diasingkan, hingga rasa percaya dirinya pun tumbuh dan berkembang."
Terlebih jika anak punya kekurangan fisik, entah badannya terlalu kecil/gemuk dibanding anak-anak lain seusianya ataupun ada kecacatan anggota tubuh. Dengan adanya kekurangan ini saja sudah cukup membuat anak merasa berbeda dan kurang dibanding teman-temannya, apalagi jika kita pun kerap menekankan perbedaan tersebut. Hati-hati, lo, anak akan menarik diri dari pergaulan. Lain hal bila kita atau lingkungan rumah si anak selalu mendukung dan menerima dirinya apa adanya, ia takkan merasa minder.
BERI WAKTU DAN PERHATIAN
Hal lain yang perlu diperhatikan, lanjut Destryna, "usahakan agar kita tak menggunakan kata 'jangan', karena berdampak pada matinya kreativitas anak." Akibatnya, anak yang sebenarnya punya potensi luar biasa hingga bisa mendukungnya percaya diri, akhirnya malah jadi minder lantaran ia merasa tak ada yang bisa dibanggakan dalam dirinya.
KOMENTAR