Jadi, hati-hati memperlakukan si kecil. Jangan sampai kita malah mematikan rasa percaya dirinya. Bisa-bisa, besarnya nanti ia jadi orang yang antisosial.
Jangan pernah melecehkan anak ataupun memberi stigma (label/cap) semisal bodoh, tolol, bandel, dan sebagainya. Begitu, kan, yang sering dibilang ahli? Dampaknya itu, lo, amat tak bagus buat perkembangan si kecil. Salah satunya, ya, minder ini. Seperti diungkap Dra. Destryna N. Sahari, MA, "kata-kata yang sifatnya mengutuk atau menghakimi anak seperti, "Dasar anak bodoh!" atau "Dasar gendut!", dan lainnya sejenis itu, hanya akan mematikan rasa percaya diri anak."
Apalagi, lanjut Psikolog dari RS. Mitra Keluarga Bekasi ini, umumnya orang akan lebih cepat menyimpan hal jelek daripada yang baik. "Lihat saja, walaupun kita mendapat pujian puluhan kali, tapi lalu ada satu orang yang mengkritik kita, justru kritikan itulah yang akan disimpan lebih kuat dan lebih lama dalam pikiran kita dibanding puji-pujian tadi." Itu sebab, tegasnya, jika ingin menegur atau mengoreksi anak, gunakan kata-kata positif. Misal, "Cara memegang pensil yang benar itu begini, lo, Kak." Bukan malah bilang, "Gimana, sih, megang pensil saja enggak bisa? Sudah diajarin berkali-kali tapi masih juga enggak bisa. Bego amat, sih!"
ANTISOSIAL DAN GAMPANG MARAH
Jadi, salah kita juga, ya, Bu-Pak, hingga si kecil minder. Untuk itu, kita harus berbenah diri, jangan sampai si kecil keterusan minder. Kalau tidak, bisa berdampak pada perkembangan si kecil selanjutnya. "Kemungkinan besar nantinya ia akan jadi anak yang sangat tertutup," kata Destryna. Bahkan, ia pun bisa menjadi orang yang antisosial atau tak mau bergabung dengan lingkungan di mana ia berada. Bukankah jika keminderannya terus terpupuk akan makin menggunung hingga akhirnya ia menarik diri dari lingkungan?
Selain itu, juga bisa berdampak pada hubungan asmaranya, lo. "Bisa saja kala dewasa, kalau ia lelaki, tak berani mendekati wanita karena takut ditolak. Mungkin ia harus berpikir seribu kali dulu baru bisa menjalin hubungan. Sedangkan bagi yang perempuan, ia cenderung takut bergaul karena sudah negative thinking duluan. Ia merasa dirinya tak cantik, tak punya pendidikan yang baik, tak punya keluarga yang bisa dibanggakan, pakaiannya kurang mengikuti mode, dan sebagainya, hingga ia merasa dirinya akan ditolak oleh lingkungannya. Bukankah sejak kecil pun ia sudah merasa ditolak, hingga hal ini jadi trauma buatnya." Akibatnya, bisa-bisa ia tak menikah; bukan karena ia ditolak tapi lantaran persepsinya yang negatif. "Padahal, bisa saja, kan, ia sebetulnya punya potensi. Mungkin ia juga termasuk wanita berparas manis, tapi karena selalu murung, wajahnya jadi tak cerah." Lagi pula, secara psikologis semua wanita itu menarik, kok, di mata pria. Terbukti, banyak juga, kan, pria yang lebih menyukai wanita gemuk?"
Dalam pekerjaan pun, lanjut Destryna, bisa berdampak. "Jika lamarannya ditolak, ia langsung patah semangat." Beda dengan orang yang percaya diri, "mungkin ia hanya merasa penolakan itu merupakan bagian dari kegagalan yang tertunda."
Bukan cuma itu, anak yang minder juga punya kecenderungan gampang marah dan suka memukul temannya. Celaka, kan, kalau sebentar-sebentar si kecil main pukul? Itulah mengapa, tekan Destryna, "usahakan sebelum anak beranjak dewasa agar segera ditolong dari keminderannya."
TINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRINYA
Adapun yang dapat kita lakukan, tak lain ialah meningkatkan rasa percaya dirinya. Berikut caranya seperti dipaparkan Destryna:
* Sering mengajak anak jalan-jalan untuk menambah wawasannya.
Minimal seminggu sekali ajak si kecil jalan-jalan ke tempat-tempat berbeda. Ini sangat bagus pengaruhnya terhadap pembentukan karakter anak untuk bisa lebih percaya diri. Soalnya, dengan jalan-jalan ada kesempatan untuk menambah wawasan, hingga kala bertemu teman-temannya, ia bisa mengatakan, "Aku sudah pernah pergi ke Ancol, lo.", misal. Pun jika temannya bercerita tentang kebun binatang, misal, ia bisa menanggapi, "Oh, iya, aku juga sudah pernah ke sana. Malah aku nyoba naik gajah. Asyik, lo." Dengan begitu, akan menambah rasa kebanggaannya karena ia punya sesuatu yang bisa diceritakannya. Namun bila ia hanya di rumahnya, tak ada apa pun yang bisa diceritakannya, bukan?
* Pupuklah kelebihan anak.
Orang tua yang baik harus bisa melihat potensi anak; apa yang menjadi kelemahan dan kelebihannya harus bisa diketahui. Selanjutnya, kembangkan lebih jauh kelebihan itu. Ini membuat anak merasa, "Meski aku punya satu kelemahan, tapi bukan berarti aku enggak bisa melakukan apa-apa. Aku juga punya, kok, kelebihan yang orang lain belum tentu mampu melakukannya."
Buat anak, yang penting ada kepercayaan dan dukungan dari lingkungan dalam memberikan kesempatan kepadanya untuk mengembangkan kemampuannya. Karena dari situlah ia makin percaya bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu.
* Tempatkan anak pada porsi yang tepat.
Bila kita tahu ia punya kelemahan belajar, misal, ya, jangan masukkan ia ke "sekolah" yang murid-muridnya pintar-pintar. Jika hal ini dilakukan juga, sama saja kita "membunuh"nya. Namun bila ia ditempatkan di "sekolah" yang murid-muridnya biasa-biasa saja, ia jadi bisa berinteraksi dan bersama-sama belajar dengan teman-temannya.
Hal yang sama juga berlaku bila perekonomian kita pas-pasan. Jangan karena agar gengsi kita naik lantas si kecil dipaksakan "sekolah" di "sekolah" elite yang murid-muridnya berasal dari keluarga dengan sosial-ekonomi lebih tinggi dari kita. Ini hanya akan membuatnya terkena shock culture: teman-temannya pergi-pulang "sekolah" selalu diantar-jemput pakai mobil mewah, sementara dia jalan kaki. Mainan yang dimilikinya pun beda, hingga kala teman-temannya bercerita tentang mainan dengan teknologi canggih, si anak tak bisa mengikuti. Akhirnya, ia akan merasa dirinya berbeda dengan teman-temannya. Lama-kelamaan ini akan mengganggu proses interaksi dengan lingkungannya. Si anak jadi minder terhadap teman-temannya.
TERIMA ANAK APA ADANYA
Selain ketiga cara di atas, Destryna pun mengingatkan kita agar jangan membanding-bandingkan anak dengan anak-anak lain. Misal, anak tetangga sudah bisa baca-tulis, sementara si kecil belum hingga kita menganggapnya bodoh. Padahal, belum tentu. "Tak semua anak yang belum bisa baca-tulis itu bodoh, lo." Ingat, kan, kisah Thomas Alfa Edison yang sampai usia 7 tahun pun belum bisa membaca? Ternyata dia enggak bodoh, kok. Justru berkat kejeniusannya kita bisa menikmati lampu sebagai alat penerangan.
Jadi, pahami bahwa kemampuan tiap anak berbeda-beda. "Asalkan kita membina anak dengan tekun, maka tak ada kata tak bisa buat anak." Kuncinya, kesabaran dan kesediaan menerima keberadaan anak apa adanya. "Meski kita tahu ada satu kekurangan pada anak kita, tapi bila kita menerima, merangkul, dan menunjukkan kepadanya bahwa kita tetap bangga memiliki anak seperti dia, maka anak pun tak merasa disingkirkan atau diasingkan, hingga rasa percaya dirinya pun tumbuh dan berkembang."
Terlebih jika anak punya kekurangan fisik, entah badannya terlalu kecil/gemuk dibanding anak-anak lain seusianya ataupun ada kecacatan anggota tubuh. Dengan adanya kekurangan ini saja sudah cukup membuat anak merasa berbeda dan kurang dibanding teman-temannya, apalagi jika kita pun kerap menekankan perbedaan tersebut. Hati-hati, lo, anak akan menarik diri dari pergaulan. Lain hal bila kita atau lingkungan rumah si anak selalu mendukung dan menerima dirinya apa adanya, ia takkan merasa minder.
BERI WAKTU DAN PERHATIAN
Hal lain yang perlu diperhatikan, lanjut Destryna, "usahakan agar kita tak menggunakan kata 'jangan', karena berdampak pada matinya kreativitas anak." Akibatnya, anak yang sebenarnya punya potensi luar biasa hingga bisa mendukungnya percaya diri, akhirnya malah jadi minder lantaran ia merasa tak ada yang bisa dibanggakan dalam dirinya.
Jadi, dukunglah si kecil untuk banyak bereksplorasi agar kreativitasnya makin berkembang. "Jangan lupa, beri pujian atas segala keberhasilan dan kemajuan yang ia capai." Apalagi anak memang sangat butuh dipuji karena dengan pujian berarti ia mendapat penghargaan atas apa yang telah dilakukannya. Misal, kala pulang "sekolah" ia bisa membuka sepatunya sendiri, segera beri pujian, "Wah, anak Mama sudah pintar, bisa membuka sepatu sendiri. Yuk, sekarang kita taruh di rak sama-sama." Dengan begitu, anak jadi terdorong untuk mengulang lagi perbuatannya yang positif itu.
Selain itu, kita pun harus memberikan waktu dan perhatian untuk si kecil. Jangan sampai ia merasa kita lebih mementingkan pekerjaan daripada mengurusnya. "Jika orang tua ada di rumah, sebaiknya waktunya diisi bersama anak. Dengan anak cukup didampingi orang tua, cukup mendapatkan perhatian, pujian, dan kasih sayang, maka bila di luar ia diejek oleh teman-temannya, ia takkan ambil pusing. Karena baginya, 'Yang penting orang tuaku mengasihi aku, menerima aku apa adanya.' Hal inilah yang paling penting buat anak." Kalau sudah begitu, dijamin si kecil takkan minder, malah sebaliknya, kepercayaan dirinya akan muncul.
Satu lagi, Bu-Pak, perasaan aman dan terlindungi juga jadi kunci penting. Hubungan orang tua yang tak harmonis, apalagi jika salah satu orang tua berbuat selingkuh, "pengaruhnya amat kuat dalam membentuk perasaan minder." Namun bila hubungan orang tua rukun, harmonis, dan selalu saling menyayangi, "ini akan menolong anak untuk merasa aman, percaya diri, yang akhirnya akan melahirkan anak sehat dan kuat mentalnya," tutur Destryna mengakhiri.
KERJA SAMA DENGAN GURU
Bila kita merasa telah cukup memberikan perhatian pada si kecil, cukup menerima anak apa adanya, serta mengasihinya, kita pun harus juga melihat lingkungan sekitar anak. "Bisa saja, di 'sekolah' ternyata gurunya tak mendukung. Seringkali guru juga suka membanding-bandingkan murid-muridnya. Walaupun sebenarnya guru harus memberi perhatian yang sama serta bersikap objektif pada semua muridnya," kata Destryna.
Bila si guru ternyata tak mendukung, saran Destryna, temui si guru untuk membicarakan pola pendidikan yang sama. "Jadi, bila si kecil bermasalah dengan keminderannya, bukan cuma orang tua yang harus menolong, tapi guru pun dapat membantu usaha orang tua tersebut."
MENUMBUHKAN RASA PERCAYA DIRI
Tak jarang perlakuan teman-teman juga membuat si kecil jadi minder. Misal, ia kerap dipanggil si gendut lantaran badannya kegemukan atau dikasih predikat si hitam lantaran kulitnya amat gelap, dan sebagainya. Jadi, bukan cuma stigma dari orang tua saja, lo, yang bisa bikin anak minder.
Anak-anak ini biasanya lantas berusaha menghindar atau menarik diri dari lingkungan teman sebayanya. Padahal, di usia prasekolah, anak seharusnya banyak bergaul. Sudah gitu, mereka yang minder seringkali menumpahkan rasa frustrasinya dengan marah-marah jika di rumah. Tak heran, ya, Bu-Pak, jika si kecil jadi kerap uring-uringan atau malah sebentar-sebentar bertengkar dengan adik-kakaknya.
Menghadapi masalah ini, ungkap Dr. Sharon Landesman Ramey dan Dr. Craig Ramey, umumnya orang tua selalu ingin melindungi anak dan memberikan mental yang lebih kuat untuk menghindarkan si anak dari gangguan lingkungan. Namun sebelumnya, biarkan si kecil menjalani dunianya dengan caranya sendiri dan tambahkan dengan mengembangkan wawasannya karena hal ini sangat berharga buatnya. Kemudian, teruskan untuk mendengarkan ungkapan hatinya sambil kita tunjukan simpati disertai upaya untuk mensugesti dia agar bisa menerima keadaan dan membantunya untuk bisa melihat permasalahan dari sudut pandang yang lain.
Kedua ahli tadi juga menganjurkan kita agar membacakan buku tentang riwayat hidup tokoh terkenal yang selalu mengalami situasi buruk di masa kanak-kanaknya, hingga bisa dijadikan ilham bagi dirinya dan dipraktekkannya. Kita pun diminta membantu si kecil untuk mengajaknya melihat hal-hal positif dari perasaan-perasaannya dan mengajarinya agar menolong anak lain walaupun mereka bersikap tak baik kepadanya.
Sebagai panduan, kita dianjurkan mencari buku yang memuat topik tentang temperamen anak agar kita bisa tahu bagaimana cara menghadapi anak dalam situasi-situasi tertentu.
Indah/Achmad Suhendi/nakita
KOMENTAR