Anak selalu dilarang tiap kali mau beraktivitas atau bereksplorasi, bahkan tak jarang malah dimarahi. Mau panjat-panjat dilarang, mau lari-lari enggak boleh, mau main tanah dimarahi, dan sebagainya. Jika sebentar-sebentar dilarang dan dimarahi, lama-lama tentu si kecil jadi malas bereksplorasi. Pikirnya, "Lebih baik aku diam aja, deh. Nanti saja tunggu kalau dibilangin."
* Lingkungan "sekolah".
Ini biasanya berkaitan dengan malas "sekolah". Jika "sekolah" tak mendukung kegiatan anak, entah kurang mengadakan kegiatan fisik ataupun kurang meminta/memancing anak untuk mengaktifkan pengindraannya terlebih jika "sekolah" itu pun kekurangan alat peraga, jadilah si kecil malas melakukan aktivitas "sekolah". Padahal, anak usia prasekolah harusnya belajar lebih banyak menggunakan semua indra dan anggota badannya.
Tak hanya itu, jika si kecil punya kesan tak menyenangkan terhadap guru atau teman-temannya, ia pun lebih memilih tak "sekolah". Apalagi jika di rumahnya memang lebih enak, bisa main berbagai permainan bersama teman-teman yang seru. Hal lain, bisa juga anak merasa tugas-tugas yang diberikan gurunya amat membosankan atau terlalu sulit.
INTROSPEKSI DIRI
Jadi, tekan Shinto, sebaiknya kita tak gegabah mencap si kecil pemalas, tapi selidiki dulu latar belakangnya. "Bila kita suruh ia membereskan mainannya, misal, dan ia bilang "Ya" atau "Sebentar" tapi ternyata baru dikerjakan beberapa saat kemudian, belum tentu karena dirinya pemalas. Bisa jadi itu adalah ungkapan protes, marah, atau kekecewaannya," kata pengajar di jurusan Perkembangan, Fakultas Psikologi UI ini.
Jikapun ia bersikap begitu lantaran ingin cari perhatian, kita juga tak boleh semena-mena mengatakannya pemalas. "Ingat, anak belum bisa mengungkapkan perasaan-perasaannya lewat kata-kata, hingga ia melakukannya dengan caranya sendiri yang akhirnya menimbulkan penilaian atau anggapan pemalas dari kita." Terlebih lagi jika ia tengah sakit, "kita harus memberinya pengobatan disertai kasih sayang dan kehangatan, bukan malah mencapnya pemalas."
Jadi, tekan Shinto lagi, "cari tahu dulu penyebabnya. Jangan-jangan sikapnya justru karena ia meniru kita yang suka bermalas-malasan. Nggak lucu, kan, kalau kita mencapnya sebagai anak pemalas. Wong, dia meniru kita, kok."
Dengan mengetahui latar belakangnya, kita jadi bisa lebih spesifik dalam mengarahkan si kecil agar tak jadi pemalas. Namun sebelumnya, kita harus lebih dulu introspeksi diri dan mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang kita lakukan sehari-hari seperti bermalas-malasan, selalu main perintah, memberikan tanggapan negatif pada apa yang dilakukan anak, atau malah memanjakan anak secara berlebihan.
Dalam bahasa lain, perubahan pada diri anak amatlah tergantung lingkungan. "Kita perlu membiasakan anak menyukai segala sesuatu aktivitas kehidupan, baik dengan contoh yang selalu kita perlihatkan padanya atau dengan mengajaknya untuk menyukai pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya." Misal, "Kalau kamu membereskan mainan kamu, asyik, lo, kamarmu jadi bersih dan terasa lapang. Kamu juga bisa baca buku sambil tiduran di karpet. Nanti kalau kamu memerlukan mainan itu lagi, kamu tahu barang-barang kamu letaknya di mana, sehingga kamu tinggal ambil saja, tak perlu bantuan orang lain lagi."
Jadi, ajak ia dengan mengatakan bahwa pekerjaannya itu adalah sesuatu yang asyik dan menyenangkan. Selanjutnya, secara perlahan-lahan kita beri pengertian padanya, "jika disuruh Ayah atau Ibu untuk melakukan sesuatu sebaiknya segera dikerjakan."
Bukankah ini semua demi kepentingan si kecil? Ia jadi belajar lebih bertanggung jawab dan lebih mandiri atau tak selalu tergantung pada orang lain.
KOMENTAR