PANTANG MENGHUKUM
Namun ingat, lo, dalam mengubah perilaku malas ini, kita tak boleh melakukannya dengan cara memerintah atau marah-marah. Misal, "Ayo, jangan malas! Segera bereskan mainan yang habis kamu mainkan itu!" Justru si kecil harus diajak dan ditunjukkan bahwa pekerjaan itu menyenangkan, "Yuk, kita beres-beres rumah. Asyik, lo, badan kita jadi segar. Kan, sama dengan berolah raga." Dengan cara ini, kata Shinto, ditanggung si kecil akan termotivasi untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. "Makin lama anak pun akan selalu aktif dan tak lagi bermalas-malasan. Nah, bila ia telah menyukai pekerjaannya dan tak malas-malasan lagi, kita harus jadikan itu suatu kebiasaan dan rutinitas keseharian."
Selain tak boleh memerintah/marah-marah, kita pun dilarang memberikan hukuman. Soalnya, usia kanak-kanak adalah masanya belajar hidup. Bila kita mendidiknya dengan hukuman, menurut Shinto, tak ubahnya kita anggap si kecil binatang sirkus yang harus dicambuk supaya bisa mengikuti keinginan tuannya. Terlebih lagi, anak sekecil apa pun sudah bisa berpikir. "Hukuman hanya membuat anak merasa terpaksa. Bahayanya, ia akan ingat terus sampai dewasa atau malah jadi sakit hati." Dampaknya, si kecil nanti bisa tumbuh dan berkembang jadi anak minder, penakut, selalu merasa bersalah, serta tak berani untuk bereksplorasi.
Lain hal bila kita membuat aturan-aturan untuk mengubah si kecil agar tak jadi pemalas, justru disarankan. Namun aturan-aturan tersebut bukan cuma buat si kecil, lo, melainkan juga seluruh anggota keluarga termasuk kita. Misal, setelah bangun pagi kita harus membereskan tempat tidur, salat, mandi, lalu mengerjakan tugas/kewajiban masing-masing: ibu menyiapkan sarapan, ayah menyapu halaman, kakak beres-beres rumah, dan si kecil membantu tugas ayah atau kakak. "Dengan aturan yang jelas bagi semua orang ini, si kecil pun jadi ikut mematuhinya." Tentunya, kita pun harus konsisten dalam menerapkan aturan atau memberikan contoh pada si kecil. Kalau tidak, "sama juga bohong. Anak akan kembali lagi menjadi pemalas."
Bagaimana jika si kecil melanggar aturan? Menurut Shinto, harus ada toleransi. "Yang namanya anak, pasti kadang kala melanggar peraturan-peraturan. Wajar, kok." Jadi, tak perlu dimarahi apalagi sampai dihukum, cukup ditegur dengan tegas tapi hangat. Misal, "Kok, bangun tidur enggak langsung membereskan tempat tidur dan mandi? Kamu masih ingat, kan, peraturannya? Tiap bangun pagi harus segera membereskan tempat tidur dan langsung mandi. Ayo, kamu pasti bisa. Kan, kamu anak pintar." Dengan begitu, biasanya si kecil akan lebih menurut dan menghormati kita. Nah, kalau sudah ada rasa hormat, biasanya ia pun akan dengan senang hati melakukan apa yang kita suruh padanya. Justru bila dimarahi atau bahkan mengancamnya, nanti ia malah menyepelekan kita, "Ah, Ibu, kan, cuma mengancam doang." Tak menyelesaikan masalah, kan? Malah akan timbul masalah baru lagi. Soalnya, anak usia ini kemampuan berpikirnya mulai berkembang.
Selanjutnya, jangan lupa memberi reward jika si kecil mengikuti apa yang kita sarankan. "Bukankah pada dasarnya tiap orang punya kebutuhan untuk dinilai baik atau positif oleh orang lain? Apalagi oleh orang-orang yang punya arti penting seperti orang tua." Reward-nya bisa berupa pujian, "Tuh, kan, anak Ibu memang pintar, bisa membereskan mainannya sendiri." Namun pemberian reward harus dilakukan saat itu juga, ketika si kecil melakukan hal yang tak malas lagi.
Nah, kini Ibu dan Bapak tak usah khawatir lagi si kecil akan keterusan jadi pemalas. Sekalipun penyebabnya faktor bawaan, si kecil tetap bisa berubah, kok, dengan cara-cara tadi. Sebab, yang namanya anak-anak, apalagi masih balita, kan, masih lentur, hingga lebih mudah dibentuk.
BISA BERUBAH SENDIRI JIKA SUDAH KEPEPET
Menurut Shinto, anak pemalas pada dasarnya akan menjadi tak pemalas jika kebutuhannya telah mendesak. Jadi, bila kebutuhannya tak bisa lagi diperoleh dengan cara bermalas-malasan, barulah muncul "rajin"nya. Misal, ia ingin kue atau minuman tapi di rumah tak ada orang yang dapat membantunya, ia pasti akan langsung mengambil kue/minuman tersebut tanpa menyuruh-nyuruh orang lain. "Manusia, itu, kan, tindakannya mengikuti pleasure principle. Kalau yang enak itulah yang ia kerjakan," jelasnya.
Indah/Gazali Solahuddin/nakita
KOMENTAR