Jikapun orang tua sampai harus membanding-bandingkan, menurut Mitha, boleh saja kalau hanya sesekali. Namun harus diingat benar bagaimana mempergunakan kalimat saat membanding-bandingkan. Jangan mengatakan, "Lihat, tuh, adikmu!", tapi katakan, "Adek manis, ya, hari ini, mainnya pinter, enggak berantem."
Soalnya, kalimat kedua sama sekali tak akan membuat anak yang dibanding-bandingkan langsung KO, "karena yang dijadikan bahan perbandingan adalah perilaku atau perbuatannya, bukan dirinya." Jadi, bukan melabelkan anak, tapi lebih menunjukkan mana perbuatan yang benar dan tak benar.
Kendati demikian, Mitha lebih setuju bila kita tak membanding-bandingkan anak dengan siapapun. "Lebih baik orang tua menggali apa yang belum dilakukan buat anak, apa yang belum diajarkan kepada anak, dan mengapa belum menggunakan potensi yang dimiliki anak."
Kemudian, minta anak untuk menerapkan teknik-teknik yang sudah diajarkan orang tua agar bisa melihat sejauh mana efektif-tidaknya buat anak. Jadi, kalau ingin si kecil mampu lancar membaca seperti adik atau teman 'sekolah'nya, misal, ajarkan dan latihlah dia, ya, Bu-Pak. Pasalnya, tutur Mitha, bila anak kerap dibandingkan, akan merusak perkembangan kepribadiannya. Entah perbandingan itu diucapkan oleh orang tua maupun orang lain semisal kakek-nenek atau bahkan tetangga; baik didengarnya tanpa sengaja maupun langsung, "dampaknya sama saja!" tegas Mitha.
Bukankah dengan membandingkan berarti kita tak menghargai anak sebagai individu seutuhnya? "Selain harga dirinya hancur, ia pun akan kehilangan rasa percaya pada orang tuanya, merasa terabaikan, dan tumbuh menjadi pribadi yang selalu ragu-ragu." Akhirnya, bila perbandingan itu terus dilakukan, membuat anak punya penghayatan bahwa dirinya memang seperti yang "dituduhkan" itu.
Soal parah-tidak dampaknya tersebut, menurut Mitha, tak bisa diukur dengan pasti, "tergantung kepribadian anak sebagai manusia yang juga punya mekanisme pertahanan." Yang perlu diingat, dengan ber-sharing membeberkan kekurangan anak kepada orang lain, berarti kita telah memberi kontribusi pada orang lain untuk memberi penilaian sekaligus perlakuan negatif pada anak.
"Semakin sering atau semakin banyak orang yang memberi penilaian semacam ini tentu akan semakin
merugikan buat anak." Buat anak yang jadi bahan pembanding, dampak buruknya juga tak kalah membahayakan, lho. "Ia bisa tumbuh jadi anak sombong, cepat puas diri, selalu merasa diri sempurna, hingga seringkali salah arah." Selain, karena ia selalu dianggap baik, bukan tak mungkin saat berperilaku buruk pun tetap dianggap baik, hingga ia jadi tak belajar untuk menyadari kapan ia berbuat salah.
Padahal, anak harusnya belajar, di antara kebaikan-kebaikan yang dipersepsikan orang tuanya, pasti juga ada keburukan dan ia pernah "terpeleset" atau berbuat salah. "Nah, bila orang tua tak jeli memantau, keburukan dan kekurangannya akan terlewat begitu saja. Tak hanya itu, karena pembenaran dari orang tuanya untuk dirinya juga banyak, anak jadi tak belajar berempati pada orang lain, termasuk belajar memahami ada orang yang salah. Bila keterusan, bisa jadi ia akan menganggap dirinya tak pernah salah hingga tak pernah mendengarkan orang lain.
PERSAINGAN TAK SEHAT
Yang tak kalah buruk, dampaknya terhadap hubungan persaudaraan. "Sangat mungkin muncul persaingan tak sehat di antara kakak-adik," ujar Mitha. Apalagi bila yang satu begitu dipuja-puja seolah tiada cacat celanya, sementara yang satunya disalah-salahkan terus. Akibatnya, bisa jadi anak yang dibandingkan terus akan cari gara-gara bagaimana caranya untuk "menyingkirkan" saudaranya yang dianggapnya sebagai saingan.
Tentunya ini akan merusak tatanan lingkungan keluarga, termasuk kepribadian anak dan hubungan persaudaraan jika orang tua tak mencermati persaingan "sakit" ini dan membiarkannya terus berlarut. Terlebih bila anak yang dibandingkan tak pernah mendapat kesempatan untuk mengekspresikan kekecewaan dan kemarahannya, "bukan tak mungkin ia akan melakukan agresivitas dengan merusak atau menyakiti saudaranya yang dianggap pesaingnya."
Nah, agar kondisi yang sangat merugikan ini tak terjadi, saran Mitha, tanamkan pada anak bahwa berbuat salah bukanlah suatu aib. Tekankan, siapa pun bisa dan boleh berbuat salah. Bukankah berbuat salah itu wajar sekali karena sangat manusiawi? Tak hanya anak, orang tua pun pasti akan berbuat salah. Yang penting, bagaimana ia mau memperbaiki diri dari kesalahannya. "Jadi, bukan berbuat salah lantas dibiarkan tanpa ada penjelasan atau bimbingan.
KOMENTAR