Anak harus tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya," tukas Mitha. Selain itu, sebagai orang tua, kita pun harus mudah meminta maaf pada anak kalau kita memang salah. Misal, "Tadi Mama marah berlebihan, ya, sama Kakak. Mama, kok, sampai main pukul, sih. Harusnya, kan, enggak boleh. Mama tadi kesel banget, sih."
Penghiburan macam ini akan membantu anak mengurangi rasa sakit hatinya dan anak pun akan menyimak, bila ia tahu ia berbuat salah, maka ia akan meniru ibunya untuk tak segan-segan minta maaf. Dengan demikian, ia juga belajar bertoleransi pada kekurangan dan bahkan membantu saudaranya yang tak "sebaik" dirinya. Jadi, Bu-Pak, pinta Mitha, janganlah pernah membanding-bandingkan anak dengan siapa pun; baik dengan kakak/adik, kerabat, maupun anak tetangga.
Coba, deh, kembalikan pada diri sendiri. Kita pun nggak akan senang, kan, kalau dibanding-bandingkan? Pasti ada rasa terluka, marah, sebal dalam hati meskipun kita lebih pandai menyembunyikan rasa tak suka tersebut. Hanya saja, dibanding anak, ekspresi pada orang dewasa bisa lebih terkontrol hingga kita tak langsung marah-marah.
GUNAKAN STANDAR OBJEKTIF
Tentunya, agar kita bisa memotivasi anak tanpa harus membanding-banding, maka kita harus bisa mengerem mulut untuk tak membandingkan dan lebih memberikan dukungan. Misal, dengan menyediakan bahan-bahan untuk belajar membaca dan mendampinginya saat belajar. Tapi jangan paksa si kecil yang berusia balita untuk tiap sore duduk di hadapan Anda belajar membaca secara kaku, lho.
Bukannya ia termotivasi, malah tersiksa. Soalnya, buat anak balita, belajarnya baru dalam tahap pengenalan. Makanya, Mitha minta agar orang tua memahami perkembangan anak. "Tak perlu sampai mendalami psikologi perkembangan anak, cukup dengan belajar memahami proses tumbuh kembang anak bahwa di usia sekian yang wajarnya itu harus sudah bisa apa." Jadi, kita harus aktif mencari tahu dari berbagai sumber.
Kemudian, yang digunakan adalah standar objektif, yakni kemampuan-kemampuan yang ada pada si anak sesuai tahapan usianya; bukan standar sosial. Malah akan jadi masalah baru bila kita sampai membandingkan si kecil yang berusia 4 tahun belum bisa baca dengan anak usia 2 tahun yang "kebetulan" sudah hapal nama-nama presiden sedunia, nama-nama menteri, dan lainnya.
Jadi, kenalkan pada hal-hal yang sifatnya mendasar dulu seperti huruf, angka, bentuk, dan warna. Yang tak kalah penting, jangan pernah langsung punya harapan terlalu tinggi. Misal, "Anak ini sudah diajarin dua kali, kok, belum bisa-bisa juga, sih!" Yang namanya anak, tentu ia butuh banyak waktu untuk mempelajari sesuatu hal; tak bisa hanya satu-dua kali.
Lagi pula, yang dipentingkan bukan hasil tapi prosesnya. Jadi, pesan Mitha, jangan pernah menekankan kata "harus" bahwa "anak harus bisa", melainkan selalu kembali pada konsep tugas orang tua, yaitu memfasilitasi kemampuan anak, "Saya harus mencari cara sedemikian rupa dan sebanyak mungkin agar anak mampu mengenal hal seluas mungkin."
Justru kalau kita menekankan "anak harus bisa", maka yang terjadi adalah kita cepat frustrasi sementara anak jadi tak berkembang. Selain hal-hal tersebut di atas, kita pun harus lebih mengutamakan hal-hal positif. Meski mencari hal-hal positif pada siapapun pasti lebih susah ketimbang mencari kejelekannya. Jadi, biasakan untuk melihat hal positif. Jikapun ada yang salah bagi kita, cobalah kemukakan kritik dengan cara lebih santun dan efektif, bukan membandingkan. Sekarang kita jadi semakin paham, ya, Bu-Pak, betapa tak adilnya membanding-bandingkan si kecil dengan saudaranya maupun anak lain.
GALI PERASAAN ANAK
Kendati di rumah kita tak pernah membanding-bandingkan si kecil, bukan berarti ia tak akan mengalaminya, lho. Bisa saja tetangga atau kenalan yang kenal baik dengan keluarga kita akan memunculkan perbandingan itu. Nggak apa-apa, kok. Toh, penting juga buat anak untuk tahu ia dinilai seperti apa.
Hanya saja, pesan Mitha, dari masukan-masukan itu, kita perlu menggali perasaan anak dan membimbing ia mengelola perasaannya agar perbandingan itu tak berdampak buruk. Misal, "Kakak sedih, ya, dibilang malas sementara Adek dibilang rajin? Kakak sendiri merasa malas atau rajin? Menurut Kakak, malas itu seperti apa, sih?" Dengan begitu, ia bisa menilai dirinya sendiri berdasarkan masukan-masukan tadi.
Julie
KOMENTAR