"Dari seluruh kecelakaan lalu-lintas (lalin), berdasarkan analisa, penelitian, dan evaluasi beberapa institusi, 95-99 persen dikarenakan human factor. Artinya, kecelakaan itu disebabkan oleh manusia itu sendiri atau personality (attitude), atau sikap mental saat berkendara/ mengoperasikan kendaraan," ujar Excecutive Director Indonesia Defensive Driving Center (IDDC) Bintarto Agung (46).
Presentase di atas, mengakibatkan sekitar 35 ribu orang meninggal setiap tahunnya di Indonesia, dimana 30-70 persen berhubungan dengan kendaraan roda dua, 11-14 persen kendaraan roda empat.
Defensive Driving
Bangkat dari hal itulah, pada 1985 Bintarto mulai mengajar tentang Safety Driving (SD), yaitu pengetahuan yang mengajarkan atau menitikberatkan pada keterampilan (skills) mengoperasikan unit kendaraan atau alat untuk kepentingan diri sendiri. Namun, kemampuan saja ternyata tak cukup, mengingat kemampuan itu masih bisa dipengaruhi oleh kondisi emosional si pengendara.
Hingga kemudian dikenal istilah Defensive Driving (DD). "Istilah ini tidak bisa diartikan sebagai pertahanan diri saat berkendara. Jangan terlalu harfiah mengartikannya. Selain dibutuhkan keterampilan dalam mengoperasikan kendaraan, DD juga mengembangkan perilaku yang cocok saat melakukan pengoperasian unit kendaraan itu. Lebih ke arah driving psychology. Pada saat si pengendara diberikan satu unit kendaraan, bagaimana sikap mentalnya? Sudah sesuaikah dengan standar prosedur yang ada atau tidak," kata pria yang biasa disapa Tato ini.
Pada dasarnya, DD mengajarkan pengendara untuk memiliki kesadaran (awareness), sikap mental (attitude) yang baik, reaksi (anticipation) yang tepat, dan kewaspadaan (alertness) yang tinggi.
Ubah Karakter
Menurut mantan pereli dan slalom ini, soal DD Indonesia jauh ketinggalan dari Thailand. Sekitar 15 tahun yang lalu, kondisi lalin Thailand sama parahnya dengan Indonesia saat ini. Namun, saat ini kondisi lalinnya sudah 80 persen lebih baik. "Malaysia juga begitu. Tapi pasti Kalau mendengar ini, pasti kebanyakan orang kita kurang setuju, dengan alasan penduduk Indonesia jauh lebih banyak dari jumlah penduduk Malaysia. Harusnya, pola pikirnya diubah. Memang pasti lebih susah mengaturnya, tapi kesadaran akan pentingnya keselamatan itulah yang membuat mereka bisa lebih maju. Kalau di sini, saat berada di traffic light, pengendara sepeda motor selalu berusaha berada paling depan. Padahal, manfaatnya apa, sih? Enggak ada, kan? Nah, karakter itulah yang harus diubah."
Tato juga berharap, orang-orang yang pekerjaannya mengendarai atau mengoperasikan suatu alat, tidak terkecuali supir angkot, harus memiliki sertifikat kompetensi. Ini, katanya, harus dinilai secara profesional. "Jadi harus melalui tes penilaian bahwa ia kompeten. Kalau tidak kompeten, tidak boleh mengoperasikan Kopaja, misalnya."
Usaha ini sebenarnya sudah diusahakan sejak dua tahun lalu (sertifikasi kompentensi, Red.), tapi belum bisa mandatori. "Organda yang membawahi angkutan umum ini, belum mau sepenuhnya melakukan ini. Jadi sifatnya, kami hanya baru bisa memberi imbauan saja. Mudah-mudahan lima tahun ke depan sudah bisa jadi mandatori. Kalau tidak dilakukan secara tim, sinergi, dan segera, jangan-jangan tahun 2012 kita sudah tak bisa jalan di jalan raya itu. Kebijakannya, yang mengatur, ya, harus pemerintah," jelas Tato.
Untuk bisa menjalankan visinya, Tato bekerjasama dengan Departemen Perhubungan (Direktorat Keselamatan Transportasi Darat), Direktorat Lalu Lintas Mabes Polri, dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Juga bekerjasama dengan program CSR (Corporate social responsibility) agen tunggal pemegang merek (ATPM).
Ester Sondang / bersambung
KOMENTAR