Banyak orang tua cemas terhadap pengaruh buruk TV pada anak. Sampai-sampai, ada yang tak menyediakan pesawat TV di rumah. Padahal, TV juga bisa menjadi sarana pendidikan, lHo. Jadi, mungkin nggak, sih, anak hidup tanpa TV?
'Kenapa tidak?" ujar M. Elisabeth Arman, SPsi. "Mungkin saja, kok!" Malah, lanjut Lisa, sapaan akrab pengajar pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini, kondisi tanpa TV amat ideal buat anak usia batita karena TV belum memberi manfaat pada mereka.
Anak usia batita, terangnya, masih sangat tergantung pada sosok ibunya. "Ia sama sekali belum bisa memilih, menilai, apalagi mencerna program-program yang ditayangkan. Ia cuma pemirsa pasif, hanya menerima dan menyerap informasi sebanyak mungkin." Dengan kata lain, TV bukan merupakan kebutuhan anak usia batita. Jadi, kalaupun ditiadakan, tak akan menimbulkan masalah apapun.
Sebaliknya, justru bisa timbul masalah kalau ada TV. Ia bisa "keranjingan" nonton, hingga saat makan pun maunya di depan TV. Tak lain karena si ibu ataupun pengasuhnya hobi nonton. "Orang dewasa inilah yang pasti memaksa anak ikut nonton agar ia tak perlu repot mengikuti dan mengawasi batita yang bergerak ke sana ke mari." Atau, agar keasyikannya nonton enggak terganggu; paling tidak, agar sinetron/telenovela kesukaannya tak terlewatkan.
Tak heran bila akhirnya -setelah lepas usia batita- anak jadi punya kebiasaan nonton TV, bahkan bisa sampai berjam-jam tak beranjak dari depan TV. Kalau sudah begitu, TV-lah yang disalahkan; bukannya si ibu sadar anaknya jadi punya kebiasaan nonton TV gara-gara dirinya juga.
KEBUTUHAN SOSIALISASI
Jadi, Bu-Pak, kuncinya terletak pada diri kita sendiri, apakah TV akan berpengaruh buruk atau tidak pada anak. Jikapun kita ingin meniadakan "si kotak ajaib" itu, patut dipertanyakan sampai usia berapa anak mau "dibebashamakan" dari pengaruh TV dan siapkah kita menghadapi implikasi-implikasi tertentu akibat tak ada TV.
Soalnya, tutur Lisa, untuk anak-anak yang lebih besar, TV boleh jadi merupakan salah satu kebutuhan sosialisasinya. "Ingat, anak adalah makhluk sosial." Malah sejak usia setahun pun ia sebenarnya sudah mulai bersosialisasi, hanya masih dalam lingkungan sangat terbatas dan akan meluas seiring pertambahan usianya. Hingga lepas usia batita, aktivitas ini semakin gencar dilakukan. Bahkan, ia belajar banyak dari teman-temannya atau membentuk pear group. Nah, dengan sesama teman inilah, ia biasanya asyik ngobrol. Apa lagi yang diomongin kalau bukan tentang TV? Terutama tokoh-tokoh tertentu dalam serial yang memegang rating tinggi alias jadi buah bibir.
Jadi, bisa dibayangkan kalau ia tak pernah nonton TV. Ia tak tahu siapa Panji si Manusia Milenium, misal, atau tak tahu "kehebatan" si Unyil dalam Tuyul dan Mbak Yul saat mengalahkan musuh-musuhnya. Tentu ia akan dibilang norak atau ketinggalan jaman oleh teman-temannya. Padahal buat anak, dikata-katai seperti itu akan sangat memukul harga dirinya. "Sama halnya bila kita tak mengikuti trend mode. Menyakitkan sekali bukan kalau penampilan kita dibilang norak? Sementara dalam diri tiap orang ada kecenderungan untuk selalu ikut apa yang dipakai orang lain."
Implikasi lain yang harus juga diperhitungkan, kenyataan bahwa TV ada di mana-mana, dari rumah-rumah gubuk di bantaran kali atau pinggir rel kereta api sampai rumah-rumah mewah. Nah, apakah kita siap dianggap "aneh" oleh orang-orang sekitar? Hal ini bukan tak berdampak pada si kecil, lho. "Ia akan tumbuh menjadi anak yang merasa berbeda dengan anak lain hingga merasa aneh sendiri." Jadi, saran Lisa, tak perlulah kita bersikap berlebihan seperti itu.
NONTON DI RUMAH TETANGGA
Memang, ujar Lisa paham, orang tua bermaksud baik, yakni agar anak tak terkena "polusi" berupa adegan kekerasan dan sebagainya. Sayangnya, maksud baik itu malah membuat anak jadi korban. "Ia merasa terasing di tengah keramaian dan keceriaan dunia anak-anak. Kasihan, kan?"
KOMENTAR