Asal tujuannya bukan untuk bergosip-ria, tak ada salahnya, kok, kita nenangga. Tapi juga jangan keseringan nenangga, lo. Nah, apa saja untung-ruginya nenangga?
"Wajar kalau perempuan suka nenangga." Begitu, kan, yang sering kita dengar? Padahal, sebetulnya bukan hanya perempuan, lo, yang suka nenangga. Kaum pria pun suka. "Tapi biasanya alasan mereka kalau ditanya adalah kita sedang berdiskusi. Sementara kalau dua atau tiga perempuan berkumpul, pasti dibilangnya lagi nggosip," kata Dra. Henny Eunike Wirawan, MHum.
Selain identik dengan perempuan, nenangga juga kerap ditujukan kepada para ibu rumah tangga dari kalangan bawah dan berpendidikan rendah. Tapi kalau kita lihat faktanya, enggak juga, kok. "Orang kantoran pun, tak peduli perempuan atau lelaki, kalau lagi jam istirahat pasti ngumpul dan ngobrol. Prinsipnya, kan, sama juga dengan nenangga," lanjut Henny.
Nah, siapa bilang nenangga cuma milik kaum perempuan dan dari golongan tertentu pula? "Nenangga itu, kan, aktivitas yang bisa dilakukan oleh siapapun, tanpa melihat status sosial dan pendidikan, dengan gaya masing-masing." Jadi, orang-orang kalangan atas pun suka. Cuma mungkin mereka memilih hotel sebagai tempat untuk ngerumpi.
MERASA SATU IDENTITAS
Bahwa nenangga lebih banyak dilakukan oleh perempuan, Henny tak mengingkari. Karena perempuan, menurutnya, punya kecenderungan untuk senang jika bisa bergabung dalam suatu kelompok dan sangat senang kalau bisa diterima oleh orang lain. Tak demikian halnya dengan laki-laki. "Umumnya laki-laki sejak kecil sudah dibiasakan untuk mandiri sehingga ia pun jadi terbiasa untuk senang jika bisa mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Sementara perempuan biasanya akan lebih bahagia kalau ia bisa berhasil bersama dengan orang lain dalam kelompoknya."
Masalahnya, kelompok mana yang ditempati oleh si perempuan. Kan, enggak semua perempuan merasa sangat bahagia bila ia berhasil dalam kelompok keluarga. "Ada juga yang barangkali merasa terpuaskan kalau ia berada dalam kelompok perempuan atau ibu-ibu karena ia merasa satu identitas; sama-sama seorang ibu, sama-sama seorang istri, sama-sama sebagai ibu rumah tangga, misalnya," tutur Henny.
Nah, karena merasa satu identitas, maka ia akan mencari orang yang serupa agar ia merasa nyaman, "Oh, aku enggak sendirian, kok," terutama kalau dibandingkan dengan perempuan karier, misalnya. Jadi, untuk mengamankan perasaannya, ia akan mencari kumpulan sesama ibu rumah tangga. Alasan lain kenapa perempuan yang lebih banyak nenangga, "kebetulan barangkali perempuan memang punya kelebihan banyak berbicara," tukas psikolog dari Universitas Tarumanegara, Jakarta, ini.
UNTUK PENGEMBANGAN DIRI
Oh ya, nenangga juga selalu dikonotasikan negatif. Padahal, belum tentu, lo, tergantung tujuannya apa dulu. "Kalau alasannya karena bosan atau jenuh di rumah, ya, itu yang barangkali harus ditinjau dulu, kenapa sampai bisa bosan di rumah. Atau, misalnya, karena sedang ada konflik dengan suami atau anak. Ini yang harus diatasi lebih lanjut," bilang Henny.
Lain hal bila tujuannya untuk bersilaturahmi atau membantu aktivitas tetangga, misalnya, tetangga punya hajatan, justru bagus. Begitu pula bila tujuannya ingin melakukan aktivitas bersama seperti memasak atau mempelajari hal-hal baru dari tetangga, misalnya, tetangga jago memasak atau berkebun. Enggak salah, kan, kalau kita belajar sesuatu dari tetangga? Apalagi mumpung gratis. Iya, toh?
Pokoknya, selama ada gunanya bagi pengembangan diri, lanjut Henny, nenangga sebetulnya enggak masalah dan baik-baik saja. "Tentu dengan catatan, jangan terlalu sering. Kalau seminggu sampai lebih dari dua kali, wah, bahaya. Apalagi kalau orangnya sama. Bisa-bisa orang yang didatangi bosan."
BUTUH KOMITMEN
Celakanya, yang sering terjadi justru tujuannya untuk bergosip-ria. "Nah, ini, yang jelek karena enggak ada gunanya, cuma ngomongin orang, menjelek-jelekkan orang, mendiskusikan masalah yang belum tentu benar." Henny tegas-tegas menyatakan, nenangga model ini harus dihindari karena hanya akan membuang-buang waktu, "juga tak menambah apa-apa buat kita, malah mungkin bisa merusak orang lain karena kita meracuninya dengan gosip-gosip kita. Mungkin rumah tangga orang juga akan kacau karena terganggu dengan kedatangan kita."
Tentunya, untuk bisa menghindari nenangga yang negatif dibutuhkan komitmen dari diri kita bahwa aku enggak mau bicara yang seperti itu karena enggak ada gunanya. Jadi, kalau pembicaraannya sudah sampai pada ngomongin orang lain padahal beritanya masih kabar burung dan belum terbukti kebenarannya, kita harus memilih, tetap di situ atau pulang. Tentu pulangnya harus pakai basa-basi, nggak langsung ngeloyor begitu saja. "Tapi untuk bisa melaksanakan komitmen diperlukan kekuatan batin dan keteguhan hati."
Dengan demikian, kita tak akan terpancing untuk ikut terlibat dalam pembicaraan tersebut. Untuk memperkuat komitmen, perlu dipikirkan, bagaimana kalau diri kita yang dijadikan bahan pembicaraan. Siapa tahu suatu saat nanti kitalah yang dibicarakan oleh mereka. "Nggak nyaman juga, kan? Jadi, daripada terlibat dalam urusan seperti itu, lebih baik mundur dari arena." Memang, aku Henny, mundur pun kadang-kadang bisa membuat kita jadi bahan pembicaraan. "Tapi paling tidak, kita berusaha menjadi baik bagi diri kita sendiri. Kalau kita mengajari orang lain, kan, enggak terlalu etis."
JADI CONTOH ORANG LAIN
Tak berarti kita lantas membatasi pergaulan, lo. Bukankah sosialisasi bisa dilakukan dengan banyak cara? Dalam hal bertetangga pun, orang punya banyak alasan dan gosip hanya salah satu alasan kenapa orang nenangga. "Selama masih ada alasan positif, kenapa nggak itu saja yang dijalankan. Toh, kita juga sama-sama punya kehidupan sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Kalau hal-hal positif sudah dikerjakan, ya, kembalilah ke rumah. Tanggung jawab kita, kan, tetap di rumah, pada suami dan anak," tutur Henny.
Sosialisasi yang lain, misalnya, belajar sesuatu yang baru atau membantu tetangga yang sedang punya kegiatan. Memang nggak setiap hari tetangga punya hajat, tapi kita bisa tunjukkan, "Aku memilih untuk tak bergosip. Tapi untuk hal-hal seperti ini, aku pasti akan terlibat." Orang lain, kan, suatu kali juga akan melihat, "Oh, kalau si A jangan diajak bergosip, percuma. Tapi kalau dimintain bantuan, ia pasti mau."
Suatu hari pun akan terbukti bahwa memang aktivitas kita akan jauh lebih berguna daripada yang lain-lain dan mudah-mudahan kita bisa menjadi contoh bagi orang lain. Jikapun lingkungan kita memang selalu bergosip, menurut Henny, kita tetap harus bisa menunjukkan bahwa kita bisa menghasilkan sesuatu dari nenangga. Mau tak mau, kita harus memutar otak lebih keras untuk menggali kreativitas apa yang bisa dimunculkan dari lingkungan supaya lingkungan tak banyak bergosip. "Sedapat mungkin kita menjadi fasilitator untuk mengalihkan pembicaraan."
Atau, kita keluar rumah seperlunya saja demi menghindari ngomongin hal-hal yang enggak berguna. "Risikonya tentu ada, misalnya, digosipin, tapi kita, kan, harus punya prinsip. Daripada ikutan tapi enggak sehat, kan, lebih baik kita enggak usah ikutan saja."
Jadi, sesekali boleh, kok, kita nenangga, karena nenangga juga perlu untuk sosialisasi. Yang penting, nenangganya harus efektif. Artinya, menghasilkan kegunaan untuk diri sendiri dan bagi orang yang didatangi. Jangan sampai hanya kita yang mendapat sesuatu sementara orang lain hanya menghabiskan energi buat meladeni kita. Ini, kan, enggak sehat, karena prinsip dalam berhubungan sosial harus saling berbagi dan menguntungkan. Dengan demikian, kita pun bisa berkomitmen untuk tak bergosip-ria. Tapi jangan sampai suami dan anak protes gara-gara Ibu suka nenangga, ya. Bila hal itu terjadi, menurut Henny, nenangga jadi tak efektif lagi.
"Biasanya, sih, anak yang suka protes. Kalau suami, umumnya enggak begitu tahu istrinya suka nenangga. Mungkin karena sibuk bekerja, ia pulang dan istrinya sudah di rumah." Jikapun ada protes ada suami, Henny malah minta suami untuk melakukan evaluasi. "Kalau sampai istri nenangga karena nggak ada kegiatan lain yang bermanfaat, mungkin bisa didiskusikan. Tentu tidak dengan marah karena ini adalah masalah bersama." Nenangga juga tak akan efektif kalau si tetangga sudah bosan didatangi. Jadi, Bu, memang sebaiknya kita nenangga seperlunya saja.
Hasto Prianggoro
KOMENTAR