Tentunya, tindak kekerasan maupun pelanggaran atas hak-hak individu di dalam sebuah keluarga tak dapat dibenarkan, baik dari segi hukum maupun sosiologis. Celakanya, hingga kini belum ada kontrol sosial dan perangkat hukum yang bisa menjerat si pelaku. Itulah mengapa, kekerasan dalam keluarga masih saja banyak ditemui di masyarakat kita. Secara kultural, terang Irwanto, tak ada kontrol dari masyarakat terhadap kekerasan yang terjadi di dalam kelurga.
"Masyarakat masih berpendapat, kekerasan yang terjadi di sebuah rumah tangga bukan menjadi tanggung jawab para tetangga. Apalagi orang tua yang memukul anak sering menggunakan alasan demi mendisiplinkan anak sehingga lingkungan sekitar pun jadi enggan untuk turut campur, takut dituntut dengan tuduhan mencampuri urusan domestik. Paling-paling mereka hanya bisa menggunjingkannya." Barulah ketika anak sudah meninggal atau istri berteriak-teriak minta tolong, para tetangga pun tergopoh-gopoh membantu. Namun kita tak bisa menyalahkan sikap masyarakat yang demikian karena saksi pelapor tak dilindungi Undang-undang.
"Sebenarnya, sih, ada Undang-undangnya, yaitu UU 479 pasal 10. Tapi, pasal itu baru berlaku kalau ada peraturan pemerintahnya. Nah, peraturan pemerintahnya ini yang kita tak punya," tutur Irwanto. Jadi, tak aneh bila pelakunya baru bisa dikenai tuntutan hukum setelah korbannya cedera atau meninggal. Padahal, jika masyarakat yang menyaksikan tindak kekerasan ini dilindungi, bukan tak mungkin kekerasan dapat lebih dicegah.
"Apalagi sekarang banyak lembaga-lembaga pemerintah maupun nonpemerintah yang bersedia menampung atau menjadi crisis center bagi setiap korban kekerasan di rumah sehingga mereka bisa melaporkannya ke sana," tambah Irwanto yang berharap UU saksi ini segera disahkan agar masyarakat bisa bertindak sebagai moral force di lingkungannya.
SISTEM PERTAHANAN DIRI
Apa boleh buat, karena kasus tindak kekerasan di dalam keluarga masih belum tersentuh hukum, maka yang bisa kita lakukan adalah menghindari terjadinya tindak kekerasan tersebut. Irwanto menyarankan agar para istri sebaiknya punya pegangan ekonomi yang cukup. "Bagaimanapun, tanpa kekuatan ekonomi, istri tak memiliki bargaining power yang cukup. Sifat hubungannya, yang satu akan berada di atas yang lain."
Tentunya, istri pun harus mengubah pandangannya sendiri tentang perlakuan yang diterimanya dari suami. "Istri yang dipukul seringkali hanya menerima saja dan bahkan berusaha sangat mengerti mengapa suaminya melakukan itu. Jadi, pemukulan itu dianggapnya sebagai sesuatu yang wajar, 'Mungkin aku yang cerewet atau banyak mengeluh.' Padahal, sistem pertahanan diri perlu dibangun." Bila perlu, anjur Irwanto, lakukan konseling pada ahlinya agar muncul pemikiran bahwa pemukulan dengan alasan apapun tak dapat dibenarkan.
Dari sisi pasangan yang kerap berperilaku kasar, menurut Irwanto, sebenarnya bisa disadarkan tentang perlunya konseling apabila ia menyadari perilakunya tersebut. Tapi bila ia termasuk tipe egois dan tak mau mendengarkan pendapat pasangannya, "ada baiknya meminta bantuan pihak ketiga yang sama-sama dihormati oleh suami dan istri untuk menganjurkannya konseling." Hal lain yang dapat dilakukan istri ialah mengidentifikasi pada saat kapan saja sang suami akan menyerangnya. Misalnya, pada waktu pulang kerja malam atau ketika dalam kondisi terlalu capek.
"Nah, kalau sudah mengetahui 'jadwal' tersebut, hindarilah kontak secara fisik atau saling bertemu sekadar untuk menghindari resiko saja," saran Irwanto. Khusus untuk anak, Irwanto minta agar sebaiknya dilatih sejak dini untuk mengatakan "tidak" dan membangun sistem pertahanannya sendiri. Misalnya, "Kalau kamu enggak senang dipegang-pegang, katakan saja bahwa kamu merasa tak senang."
Anak juga harus dilatih bagaimana mencari bantuan, bukan saja untuk dirinya sendiri tapi juga bila melihat kekerasan di rumah. "Dia mesti tahu ke mana harus pergi untuk meminta bantuan." Jika alternatif di atas menemui jalan buntu karena perilaku kasar tersebut sudah mendarah daging, menurut Irwanto, hubungan interpersonal bisa saja dihilangkan.
"Namun ingat, perceraian atau perpisahan sebaiknya selalu menjadi alternatif terakhir." Dalam bahasa lain, menghilangkan hubungan interpersonal bisa menjadi bagian dari solusi tapi bukan solusi terbaik kalau alternatif lain masih bisa dicari. Nah, Bapak dan Ibu, kalau dampaknya banyak dan mengerikan seperti itu, segera, deh, hindari kekerasan di rumah.
Santi Hartono / nakita
KOMENTAR