Jangan bingung jika si kecil mendadak mulai berargumentasi di penghujung usia 2 tahun. Kemampuannya ini harus dioptimalkan karena amat erat kaitannya dengan kecerdasan.
Kita bisa kehabisan akal, lo, menghadapi si kecil yang mulai ceriwis dan terkesan ingin memaksakan kehendak ini. Kala dilarang ikut ke pasar lantaran hujan, misal, ia malah bilang, "Kan, bisa pakai payung." Seandainya diteruskan pun, "Di pasar becek, nanti kaki Adek kotor," lagi-lagi ia bisa menangkis, "Nanti cuci kaki, Ma." Hingga tak jarang, kita jadi marah lantaran tak tahu lagi harus ngomong apa.
Tentu saja, perkembangan si kecil yang demikian wajar terjadi. Apalagi dari segi kebahasaan, anak usia ini memang tengah mengalami perkembangan pesat. "Setidaknya ia sudah mahir mengucapkan kalimat berstruktur yang terdiri 3 kata sederhana yang ditemui atau dialaminya sehari-hari. Meskipun barangkali pengucapannya belum lancar atau jelas benar," terang Margaretha Purwanti Rahardjo, Psi,M.Si.
Selain, perbendaharaan katanya yang memang relatif lebih banyak ketimbang di usia sebelumnya. Belum lagi benaknya juga dipenuhi berbagai konsep seperti konsep warna, bentuk, aneka makhluk hidup, dan lainnya; serta kemampuannya mengasosiasikan benda yang ada dengan namanya masing-masing. Tak heran jika kemudian ia juga makin kerap banyak bertanya tentang apa saja yang dijumpainya, selain mulai berargumentasi tadi.
MENCARI KEYAKINAN DIRI
Sebenarnya, lanjut Pudek II Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini, dengan bertanya dan berargumentasi, si kecil tengah menguji kemampuannya sendiri dalam mengasosiasikan benda tertentu dengan namanya, apakah sudah klop atau belum.
"Ia lagi gencar belajar mengasosiasikan banyak hal, termasuk belajar memahami konsep. Sebab, meski di kepalanya dipenuhi berbagai konsep, ia belum menguasai sepenuhnya. Konsep-konsep itu masih campur-aduk karena ia belum tahu persis detilnya dan belum mahir pula melakukan pengelompokan. Misal, bundar dan bulat atau membedakan merah muda dengan merah tua."
Jadi, jika di usia sebelumnya ia lebih banyak bertanya dengan menggunakan kata tanya "apa" semisal, "Itu apa, Ma?" sambil menunjuk suatu benda atau binatang atau lainnya; kini model pertanyaannya berubah seperti, "Itu kursi, ya, Ma?" sambil menunjuk kursi, atau, "Ini hijau, ya, Bu?" sambil memperlihatkan bajunya yang berwarna hijau.
Begitu pula saat berargumentasi, ia tengah berupaya mencari keyakinan diri: cocokkah informasi yang pernah didapat sebelumnya dengan kemampuan yang dimilikinya saat ini. Mengingat ia hanya me-recall sebatas yang diketahui. Disamping, makin meningkat usia, rasa ingin tahunya pun bertambah besar. Tak heran bila akhirnya si kecil terkesan cerewet atau ceriwis lantara ia enggak puas dengan satu jawaban dan selalu "menuntut" jawaban berikutnya.
Bukan cuma itu, lanjut lulusan Fakultas Psikologi UI ini, ingatan anak juga sangat tajam. Termasuk mengingat informasi yang sudah diperoleh dan mana pula informasi-informasi yang pernah ia ujikan kebenarannya. Itu sebab, bila kita memberi jawaban secara benar dan sederhana hingga mudah dicerna, ia takkan pernah mempertanyakan lagi bila lain kali menghadapi hal serupa. Sebaliknya, bila jawaban kita mencla-mencle, ia pun akan protes keras, "Kata Mama dulu begini, kok, sekarang begitu!" Akhirnya, si kecil justru bingung dan proses perolehan "ilmu"nya pun akan terhenti sejenak. Yang rugi si kecil juga, kan, Bu-Pak?
JAWABAN SEDERHANA
Tentu kita tetap harus menanggapi setiap pertanyaan maupun argumentasi yang disampaikannya. Namun dalam memberi tanggapan, saran Retha, begitu sapaan akrabnya, harus sesederhana mungkin hingga mudah dicerna. "Jawaban kompleks atau njlimet hanya akan membuat anak terus bertanya yang akhirnya malah membuat orang tua kesal."
KOMENTAR