Raut muka Dewi Yulita Krisnawati terlihat cerah. Ia juga tak canggung beraktivitas. Tak ada yang menyangka, dua tahun lalu, wanita 40 tahun ini divonis kanker yang sudah bermetastase (menyebar) ke otak kecil. Meski sudah akrab dengan penyakit mematikan ini - ia merupakan survivor kanker tiroid sejak 1997 - toh nyali Dewi sempat menciut. "Saya takut sekali. Sempat terpikir hidup saya akan berakhir," akunya. Setelah melalui serangkaian proses, akhirnya ia dirujuk menjalani operasi pengambilan cairan di otak kecil dilanjutkan dengan Stereotactic di RSCM. Pada 17 April 2009, ia pun menjalani tindakan Stereotactic Radiosurgery di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan berhasil.
Apa sebetulnya Stereotactic Radiosurgery (SRS)? Stereotactic yang berasal dari bahasa Yunani "stereos" berarti tiga dimensi dan "tactus" yang berarti meraba. "SRS adalah pemberian radiasi dosis tinggi tunggal pada target lesi yang telah ditentukan secara stereometri dalam mencapai sasaran di dalam otak," jelas Dr. dr. Renindra Ananda Aman, Sp.BS, dokter spesialis Bedah Saraf dari Departemen Bedah Saraf RSCM dan sekaligus Tim Stereotactic Center RSCM. Keunggulan SRS antara lain tingkat akurasinya yang sangat tinggi dalam member radiasi pada lesi di otak (hingga mencapai ketelitian 1 mm) dan bersifat minimal invasive.
Tiga Indikasi
Menurut Kepala Departemen Radioterapi RSCM, yang juga merupakan bagian dari Tim Stereotactic Center RSCM, Jakarta, Prof. Dr. dr. Soehartati Gondhowiardjo, Sp.Rad.(K) Onk.Rad., sejak 2009, Stereotactic Center RSCM sudah bisa melakukan SRS untuk menangani kasus-kasus tumor otak yang sulit dijangkau dengan pisau bedah. Sehingga pada kasus-kasus tersebut, tindakan penyinaran SRS ini dapat menggantikan operasi bedah otak. Bahkan sejak Februari 2009 hingga akhir November 2011, SRS Center RSCM telah melayani 99 pasien untuk tindakan SRS, terdiri dari 30 kasus keganasan, serta 69 kasus tumor jinak dan kelainan pembuluh darah.
Ada tiga kelompok besar indikasi sebelum diambil tindakan SRS. Yang pertama, kelompok slow growing tumor atau tumor dengan fase pembelahan sel lambat. Contohnya kelompok tumor akustik/saraf pendengaran, tumor selaput otak/meningioma, dan tumor kelenjar hipofisis. Yang kedua adalah kelompok kelainan pembuluh darah. Yang ketiga, SRS biasanya diberikan untuk kelompok anak sebar kanker. Ini biasanya untuk kanker yang menyebar naik ke otak, misalnya yang berasal dari kanker payudara dan kanker paru.
"Ukuran atau volume tumor juga menentukan bisa-tidaknya SRS dilakukan. Kita melakukan SRS jika ukuran tumor maksimal 13.5 cc atau sekitar 3 cm," kata Prof. Tati menjelaskan.
Bedah Tanpa Pisau
Kelebihan SRS dibandingkan radiasi konvensional adalah hanya memberikan satu kali dosis tinggi dan tepat sasaran (single shot high dose). "Selama ini, radiasi konvensional juga tepat sasaran, tapi ukuran tumor dan cakupannya lebih besar. Kalau ini, tumornya lebih terbatas dan terletak di lokasi yang dalam, sehingga sulit dicapai dengan pisau. Makanya, SRS sering juga disebut bedah otak tanpa pisau," lanjut dr. Nanda.
SRS berguna untuk tumor otak yang letaknya sulit dijangkau dengan operasi biasa. Atau, dapat menimbulkan efek samping yang cukup besar dengan metode operasi konvensional, maupun pada kelainan pembuluh darah di otak. Tumor otak ini bisa jinak (misalnya tumor selaput otak/meningioma, tumor saraf pendengaran/accoustic neuroma, dan tumor kelenjar hipofisis), maupun tumor ganas (penyebaran ke otak/metastasis tumor), misalnya yang berasal dari kanker payudara, kanker paru, dan sebagainya.
Stereotaktik juga dapat berfungsi sebagai metode diagnostik pada tindakan biopsi stereotaktik, di mana prosedur tersebut dapat mengambil sampel jaringan otak tanpa melakukan pembedahan yang luas. Dalam tindakan bedah stereotaktik, lanjut dr. Nanda, "Pasien tetap dalam keadaan sadar penuh selama tindakan dan dapat dilakukan pada pasien yang tidak dimungkinkan untuk dibius total. Keuntungan lain adalah trauma operasi sangat kecil dan masa perawatan singkat."
KOMENTAR