Waktu anak kami belum lahir, Mira sangat perhatian terhadap saya. Segala keperluan saya selalu disiapkan. Pokoknya, asyik, deh. Tapi sekarang? Wah, bener-bener dianggurin. Apa begitu, ya, kalau sudah punya anak? Suami jadi kayak dilupakan," begitu curahan hati Doni yang sejak 3 bulan silam menjadi bapak.
Boleh jadi, ada banyak Doni-Doni lain yang memiliki keluhan sama. Intinya, mereka merasa tersisih setelah kehadiran anak. Padahal, seperti dikatakan Dr. Joanes Riberu, seharusnya para ayah tak perlu berperasaan demikian. "Justru cinta suami-istri sebetulnya semakin kuat karena sekarang ada fokus bersama, yaitu mencintai anak mereka berdua," tutur dosen di FKIP Unika Atma Jaya Jakarta ini.
Malah seringkali,lanjutnya,anak menjadi pengikat kembali hubungan suami-istri yang tadinya kurang harmonis. Karena anak seringkali menjadi tujuan dari perkawinan itu sendiri. "Nah, dengan datangnya anak, maka tujuan dari perkawinan itu sudah tercapai. Sehingga cinta yang tadinya sudah mulai memudar, dengan datangnya anak, akan makin erat kembali."
TANGGUNG JAWAB
Memang, diakui Riberu, perhatian istri biasanya akan sedikit teralih dari suami setelah hadirnya anak. "Tapi bukan berarti bahwa rasa cinta atau sayangnya pada suami jadi memudar," ujarnya. Harus dipahami benar, perhatian ibu pada anak memang harus dilakukan. "Kalau tidak, justru akan jadi masalah."
Anak-anak yang tak mendapat kasih sayang dan perhatian dari sang ibu, terang Riberu, akan mempunyai pengalaman pahit. "Batinnya akan mengalami kekeringan. Ia merasa tak disayang, tak diperhatikan. Dampaknya akan muncul setelah si anak dewasa kelak." Apalagi di usia balita, anak membutuhkan bukti kasih sayang secara fisik.
Peran ibu pada anak balita, ulasnya lebih lanjut, adalah memberikan keamanan psikologis. Sementara bapak berperan dalam hal jaminan kesejahteraan. Jadi, kalau anak merasa tak puas, tak tenang di rumah, itu adalah tanggung jawab ibu. Tapi kalau soal ada makanan atau baju di rumah, itu menjadi tanggungjawab bapak. Lain halnya kala anak mulai lebih besar, maka peran bapak akan lebih besar lagi. "Saat anak mulai kritis, mulai menunjukkan identifikasi dirinya bahwa ia sebagai manusia yang punya otak dan pikiran sendiri, maka pasti tanyanya ke bapak."
Namun tentang pembagian peran tersebut, jelas Riberu, bukanlah persoalan gender bahwa bapak yang harus menjadi kepala keluarga sementara ibu mengurus anak, "Tapi lebih ke arah alamiah." Karena itulah Riberu melihat, dengan hadirnya anak, pihak istri juga tak perlu sampai harus membagi waktu kapan untuk memperhatikan anak dan kapan untuk suami. "Anak itu sebenarnya butuh kasih sayang dari kedua orang tuanya. Kalau ia sudah mendapatkan cinta kasih yang tulus dari orang tuanya, maka dengan sendirinya ia tak mencuri waktu dan perhatian ibunya dari ayah."
MAWAS DIRI
Sebenarnya, lanjut Riberu, kalau istri sampai lebih memperhatikan anak, biasanya menandakan perkawinan mereka sudah memiliki benih-benih problem. "Yang kemudian terjadi, anak dijadikan sebagai pelampiasan, fokus baru bagi si istri. Semua perhatian ditumpahkan ke anak dan suami ditinggalkan. Padahal, sebenarnya ada hal-hal kurang enak antara keduanya."
Memang, aku Riberu, perhatian lebih pada anak merupakan naluri seorang ibu. "Tapi bila tak ada hal lain yang menjadi masalah di antara suami-istri tersebut, maka keberadaan anak tak akan menjadi penghalang untuk memperhatikan suaminya juga." Karena itulah, ujarnya, suami seharusnya mawas diri bila istri lebih memperhatikan anak, "Cari tahu ada masalah apa."
Bisa jadi problem tersebut tak disadari oleh kedua belah pihak. Sering, kan, orang kalau ditanya menjawab, "Saya enggak ada masalah apa-apa, kok." Padahal sebenarnya ia ada masalah. "Orang sering tak sadar bahwa kadang yang mengatur tindakannya adalah perasaan bawah sadarnya. Jadi, secara sadar ia akan mengatakan bahwa ia cinta suami, tapi di bawah sadarnya ia tak ingin berhubungan dengan suami."
Nah, karena rasa tak enak pada suaminya tersebut ditekan terus ke bawah, akibatnya dari bawah akan mencari pelampiasan, "Bawah sadarnya mendorongnya untuk memperhatikan anak, bukan suaminya."
Ketidakenakan pada suami ini bisa jadi dipicu oleh ketidakpuasan sang istri, entah secara fisik atau emosional. Yang fisik, misalnya, ketidakpuasan karena hubungan seks. Sedangkan yang psikis, misalnya, ada sikap dan tindakan suami yang tak begitu sesuai dengan selera istri. Bila ketidakpuasan ini dipendam saja, tak diutarakan, akhirnya bisa terakumulasi keluar, yang disebut dorongan bawah sadar itu tadi.
CARI GARA-GARA
Biasanya kalau suami mulai tersisih, tutur Riberu, akan terlihat dari terputusnya komunikasi di antara mereka. "Mula-mula mungkin ia masih mau berkomunikasi, tapi kalau responnya tak ada, maka komunikasi itu mulai dikurangi. Akhirnya yang parah, ia tak mau komunikasi lagi."
Yang terjadi kemudian adalah suami mulai cari gara-gara. Kalau istri menghendaki sesuatu, misalnya, ia akan mengelak. Menjawab pertanyaan istri pun seadanya saja, dan sebagainya.
Nah, kalau suami sudah cari gara-gara, giliran istri yang harus mawas diri. Karena hal ini menandakan keadaan mereka sudah parah. Kendati demikian, tindakan suami yang cari gara-gara ini justru juga akan menjadi titik balik yang sangat baik bagi keduanya. "Karena kalau suami cari gara-gara lalu istri tak terima, akibatnya timbul pertengkaran. Nah, dalam pertengkaran, justru bisa membuat segala unek-unek jadi keluar. Hal-hal yang selama ini dipendam, jadi keluar semua." Hal ini juga akan melegakan kedua belah pihak karena bebannya sudah dikeluarkan.
Justru kalau suami enggak cari gara-gara, maka proses perbaikannya akan memakan waktu lebih lama. "Soalnya, semuanya akan terpendam saja sehingga tak bisa diselesaikan." Bisa jadi suami malah mencari perhatian yang dibutuhkannya itu dari orang lain. Akhirnya bukan hanya perhatian psikologis, tapi juga ke fisik. Buntutnya, terjadinya selingkuh. Kalau sudah begitu, dua-duanya harus introspeksi diri.
"Cara yang paling baik sebenarnya lewat adu mulut tersebut karena akan terungkap semua masalahnya. Makanya harus ada yang mengambil prakarsa. Kalau tidak, cekcok tak akan terjadi dan persoalan akan berlarut-larut," tutur Riberu. Nah, dalam hal tak ada yang mengambil prakarsa, maka yang harus dilakukan adalah mencari pihak ketiga. "Namun pihak ketiga ini haruslah orang yang dipercaya dan didengar oleh kedua belah pihak."
TIMBAL BALIK
Yang harus dipahami, terang Riberu, dalam berumah tangga seharusnya ada timbal-balik. Jadi, suami jangan melulu minta diperhatikan. "Kalau istri harus memperhatikan suami, maka suami pun harus memperhatikan istri."
Jangan lupa, istri juga membutuhkan dukungan moril. Antara lain, perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan pribadinya. Karena dengan hadirnya anak, mungkin banyak kebutuhan pribadi si istri yang dinomorduakan lantaran yang dinomrosatukan adalah kebutuhan anaknya. "Nah, coba, dong, suami tanpa diminta membelikan istri kebutuhan-kebutuhan pribadinya. Ini akan sangat membuka mata istri bahwa suami mencintainya. Secara otomatis, istri juga akan memperhatikan suami."
Dari pihak istri, anjur Riberu, libatkanlah suami dalam pengurusan anak agar suami tak merasa tersaingi oleh anak. Misalnya, kalau mau membeli sesuatu untuk keperluan si buah hati, istri jangan pergi sendiri. "Ajaklah atau diskusikan berdua dengan suami. Jadi, semua ikut terlibat dan anak tak menjadi saingan bagi suami, tapi justru menjadi fokus utama dirinya pula."
Sekarang tak cemburu lagi pada si kecil, kan, Pak?
Indah Mulatsih/nakita
KOMENTAR