Pengalaman memang mengajarkan hal tersebut pada anak hingga ia mengembangkannya kemudian. Misal, satu-dua kali ia memanggil ibunya ternyata sang ibu tak mendengar -entah sibuk atau memang tak mendengar- hingga akhirnya ia teriak. "Nah, saat ia berteriak ternyata ibunya mendengar. Akhirnya, anak pun memperoleh satu hal, 'Oh, kalau sama Ibu harus bicara keras agar selalu didengar.'"
Jadi, Bu-Pak, kita harus introspeksi diri bila anak berperilaku demikian. "Jangan-jangan memang kita tak pernah mempedulikan anak. Nah, usahakan beri perhatian saat anak bicara. Jangan sampai menunggu anak teriak-teriak atau bahkan temper tantrum, baru kita beri perhatian."
Kendati sedang sibuk/konsentrasi pada suatu hal hingga sulit mengalihkan perhatian buat anak, katakan padanya, "Nanti, sebentar, ya, Mama selesaikan tugas ini dulu." Tentu sesudahnya orang tua harus konsisten. "Tanyai apa keperluannya tadi hingga ia ingin bicara." Sebab, bila hal ini didiamkan begitu saja, akan jadi kebiasaan kelak. "Bila anak tak diberi perhatian dari orang tua, bisa saja kalau bicara akan teriak terus. Bahkan, bisa berkembang jadi mengamuk atau malah cuek tak mau ngomong sama orang tuanya. Kemudian cari perhatian dalam bentuk lain, tak dengan teriak lagi, tapi bikin ulah, misal."
Yang perlu diingat, pesan Evi, jangan pernah meremehkan keberadaan anak. "Tak jarang, kan, kita mengabaikan omongan anak. Orang tua selalu berpikir, ngomong sama anak kecil itu gampang, tak perlu mikir, hingga saat menjawab pertanyaan mereka pun asal saja." Padahal itu jelas salah, lo. Kalau bicara sama anak harus hati-hati, karena justru banyak dampak buruk bagi perkembangan mereka yang bersumber dari kebiasaan asal menjawab atau asal ucap.
Jadi, Bu-Pak, tak ada alasan mengabaikan anak sekalipun sedang ada tamu. "Libatkan saja anak sebentar dengan tamunya. 'Sini, Kak, kenalan dengan teman Mama.' Ajak dalam pembicaraan sebentar, kalau sudah, katakan, 'Mama ada perlu dengan Tante Ani. Sekarang Kakak menggambar dulu, ya, nanti kalau sudah selesai, tunjukkan pada Tante Ani.' Dengan pemberian tugas demikian, anak tak akan merasa diabaikan hingga tak bakalan berperilaku tantrum segala macam."
BISA DILATIH
Sebenarnya, terang Evi, anak usia prasekolah sudah bisa, kok, dilatih bicara tenang atau menurunkan volume suaranya. "Karena di atas usia 3 tahun sudah tahu komunikasi dua arah. Jadi, kalau diberi pengertian akan mengerti." Beda dengan anak usia 2 tahun yang memang sedang senang bicara keras-keras, tapi komunikasi dua arahnya belum lancar, masih lebih banyak berfokus pada dirinya. "Akibatnya, mereka masih sulit diberi pengertian atau apa maunya orang lain."
Tapi, hati-hati, lo, Bu-Pak, saat mengajarinya bicara pelan. Jangan sampai nanti malah anak jadi tak spontan lagi. "Padahal, ciri anak, kan, spontanitas. Jadi, hilangkan kebiasaan teriaknya tanpa menghilangkan spontanitas anak sendiri."
Lakukan dengan cara memberi perhatian saat ia mulai bicara. "Bila ia mulai bicara sambil teriak, kita, kan, bisa menegurnya sambil begurau. 'Kok, Mama dengar guntur, ya?' Pasti ia akan bertanya, 'Yang mana, Ma?'. 'Tuh, Mama dengar lagi.' Nanti, kan, ia sadar, 'Itu suara saya, kok, Ma.' Nanti kala ia menurunkan volumenya, katakan, 'Nah, itu baru enak kedengarannya.'"
Selain itu, beri pengertian pada anak bahwa tanpa berteriak pun orang lain bisa dengar, kok, pembicaraan kita. "Jadi, perlihatkan pula padanya, kalaupun ia mengatakan dengan volume pelan, orang tua tetap, kok, memperhatikan." Misal, "Kalau memanggil Mama tak perlu sambil teriak, tapi mendekatlah ke Mama dan katakan dengan pelan kalau sudah dekat. Mama dengar, kok, kalaupun Anto bicara pelan."
Perlihatkan padanya, kita selalu memperhatikannya tanpa ia harus bersuara keras. "Nah, kalau kenyataan ini secara konsisten diterimanya, sedikit demi sedikit perilaku buruknya pasti hilang."
Dengan cara menegur seperti ini, spontanitas anak pun tak hilang. "Tapi kalau sedikit-sedikit ditegur. 'Ayo, ngomongnya jangan keras-keras!' Atau, 'Sst, jangan heboh begitu!'. Pokoknya sedikit-sedikit keluar kata 'jangan' atau malah membentaknya agar diam, maka lama-lama anak jadi takut, kan? Hingga pada saat anak akan mengungkapkan sesuatu, rasanya ada hambatan." Jadi, sebaiknya kita harus pandai memilah-milah, ya, Bu-Pak, kapan sebaiknya anak ditegur dan kapan tidak.
KOMENTAR