Misalnya, saat sedang jalan-jalan bersama Anda, si kecil melihat orang dewasa berantem sambil memaki-maki dengan kata-kata kasar maupun jorok. Ternyata, kejadian itu ditonton banyak orang dan bahkan disoraki.
Baginya, hal ini sangat exciting karena perbuatan itu mendapat perhatian banyak orang dan mendapat dukungan pula dengan cara disoraki. Nah, karena ia belum bisa menangkap sebagai hal baik atau buruk, maka ditirulah. "Jadi, hanya sekadar imitasi."
Namun, dalam imitasi tersebut, anak hanya akan meniru hal-hal yang exciting buatnya. Terlebih lagi bila ada faktor reinforcement-nya (penguat). Jadi, kalau ada anak memaki temannya dengan kata-kata, "Goblok, lu!", misalnya, lalu ada yang menyoraki, berarti ada reinforcement-nya. Ia pun tergerak untuk menirunya karena dengan cara itu, ia akan mendapat perhatian dari orang lain berupa sorakan teman-temannya. Dengan demikian, perilaku buruk akan tertanam pada anak bila ada model atau faktor pencetusnya da
n ada faktor penguatnya. "Apalagi kalau saat ia mencoba meniru, ia juga diberi penguat oleh orang lain, dielu-elukan sebagai yang paling hebat, misalnya, maka makin kuatlah perilaku itu melekat padanya," tutur Rostiana.
Selain itu, bila anak mengalami sendiri, misalnya, ia yang dikatai "goblok", maka akan lebih membekas dibanding bila ia hanya menyaksikan orang lain yang dikatai seperti itu. Akibatnya pun lebih "parah", bisa menimbulkan agresivitasnya. Saat di rumah, ia bisa melontarkan kata tersebut dengan sangat kasar, semacam pelampiasan dendam.
Perlu diketahui, pengaruh buruk ini biasanya lebih banyak diadopsi oleh anak perempuan. Soalnya, perkembangan verbal anak perempuan lebih cepat dibanding anak lelaki. "Kalau anak lelaki, justru perkembangan motoriknya yang lebih cepat," jelas Rostiana. Namun demikian, bukan berarti anak lelaki tak bisa mendapat pengaruh buruk ini, lo. Jadi, sekalipun Bapak-Ibu hanya memiliki si Buyung, namun tetap perlu waspada.
REAKSI YANG TEPAT
Nah, dengan mengetahui bagaimana proses terjadinya pengaruh buruk tersebut, menurut Rostiana, yang paling penting dalam upaya mengatasinya adalah reaksi dari sekeliling anak. Bukankah tanggapan dari orang-orang di sekelilingnya ikut menentukan, apakah perilaku buruknya akan semakin buruk ataukah berubah baik?
"Bila lingkungan rumah si anak tak paham terhadap proses belajar anak usia ini, maka yang terjadi bisa macam-macam," kata Rostiana. Bisa jadi tanggapan orang rumah malah menguatkan tingkah laku anak. Misalnya, ia mengatai kakaknya "goblok", lantas kakaknya juga balas mengatai "goblok". Berarti, hal ini saling menguatkan, kan?
Maka, perilaku itu pun akan lebih intens lagi. Itulah mengapa, tanggapan atau reaksi yang tepat dari sekeliling sangat penting. Termasuk pula, tak menanggapi dengan larangan, "Eh, nggak boleh ngomong begitu, tidak sopan!" Jikapun melarang, sebaiknya orang tua juga menjabarkan tentang omongannya itu. Saat anak melontarkan kata "goblok", misalnya, tanyakan, "Kak, goblok itu artinya apa, sih?" "Seringkali, jawaban yang diberikan anak tak sama dengan persepsi kita. Ia tak tahu apakah goblok itu. Ia hanya asal omong saja," tutur Rostiana.
Bisa jadi jawabannya adalah, "Itu, lo, Ma, tadi si Ani nungging-nungging, terus Anto bilang, 'goblok'." Nah, salah, kan, arti goblok yang dimengertinya?
Lagi pula, bila anak tak dijelaskan, ia hanya tahu, omong "goblok" itu tak boleh karena itu sesuatu yang buruk. Sehingga, saat ia menjumpai kata "goblok" dalam konteks yang lain, ia pun akan kaget. Bukankah dalam konsep lain, kata "goblok" belum tentu buruk? Jadi, tandas Rostiana, tugas orang tualah menjelaskan arti sebenarnya dari kata tersebut dan menerapkannya sesuai konteksnya.
KOMENTAR