Hati-hati lo, perilaku ini bisa menjadi "senjata" ampuh bagi anak untuk "menaklukkan" orang tuanya. Ia harus diajarkan menyampaikan keinginan dengan cara yang tepat.
Pernah, kan, melihat anak usia ini menangis sambil menjerit-jerit gara-gara permintaannya tak dikabulkan? Bahkan, ada yang menangis sampai berguling-guling atau malah memukul-mukul orang tuanya sehingga si orang tua akhirnya mengalah.
Celakanya, "senjata" ini bukan hanya dimunculkan anak kala di rumah, tapi juga saat ia berada di tempat umum semisal pusat perbelanjaan atau malah kala tengah diajak bertamu. Pendeknya, di mana saja dan kapan saja, ketika anak menginginkan sesuatu dan orang tua tak mengabulkannya, ia langsung mengeluarkan "senjata"nya. Runyam, kan, jadinya?
BELUM TERAMPIL
Sebenarnya, tutur Rahmitha P. Soendjojo, pada awalnya anak berperilaku demikian bukan lantaran sengaja agar permintaan atau keinginannya dipenuhi orang tua. "Justru perilaku itu muncul karena ada keinginan dari anak yang tak bisa ia ungkapkan secara artikulatif, atau ia punya keinginan tapi ia sendiri belum jelas apa keinginannya itu, sehingga ia lalu menjerit-jerit, menangis, memukul-mukul, dan sebagainya."
Dalam bahasa lain, perilaku tersebut muncul karena anak belum terampil, tak mampu untuk menyampaikan keinginan atau perasaannya dengan cara yang benar atau bahasa yang jelas. "Apalagi untuk anak-anak yang lebih kecil, kosa katanya, kan, belum banyak sehingga ia mengalami kesulitan untuk menyampaikan keinginannya," lanjut Mitha, panggilan akrab psikolog dari DIA-YKAI, Jakarta ini.
Nah, bila orang tua tak memahami apa sebenarnya yang diinginkan anak, atau si anak sudah menyampaikan keinginannya tapi tak digubris, tentu anak jadi jengkel, dong, sehingga tingkahnya pun akan semakin "heboh". Kalau sudah begitu, baru, deh, orang tua panik dan berusaha mencari tahu. Nah, ini kemudian dilakukan berulang-ulang oleh anak. Jangan lupa, lo, anak sudah bisa berpikir asosiatif. Ketika ia melakukan sesuatu dengan cara A dan berhasil tapi dengan cara B ternyata tak berhasil, maka ia akan mencoba melakukan lagi dengan cara A.
"Sama halnya dengan orang dewasa, cuma karena orang dewasa lebih mampu menyampaikan dengan kata-kata dan dengan gerakan tubuh yang lebih jelas, sehingga lebih sophisticated," tutur Mitha. Jadi, karena anak sudah menemukan hubungan antara perilakunya dengan reaksi orang tuanya yang ternyata sesuai harapannya, ia pun akan cenderung mengulang-ulang perilakunya itu dan akhirnya menjadikannya sebagai "senjata".
BENTUK PENGASUHAN
Bisa juga anak berperilaku demikian lantaran meniru. Bukankah anak usia ini lebih mudah melihat dari lingkungan?" lanjut Mitha. Jadi, kalau ia melihat orang atau anak lain minta sesuatu atau menyampaikan sesuatu dengan cara meraung-raung, ia pun akan mencobanya. Eh, ternyata berhasil. Ya, diulanglah perilaku tersebut.
Faktor lain, bentuk pengasuhan orang tua yang kurang tepat. Kala anak anteng-anteng saja, orang tua cuek bebek; anak tak disapa, tak diperhatikan. Tapi begitu anak membanting piring atau meraung-raung, orang tua langsung panik. "Ini akhirnya juga akan membuat anak menggunakan 'senjata'nya," ujar Mitha.
Jadi, bentuk pengasuhannya enggak balance. Orang tua lebih memperhatikan hal-hal negatif yang dilakukan anak, sehingga anak akhirnya lebih pintar untuk menyampaikan hal-hal yang sifatnya negatif pula. Anak tak mendapat rewards, tak diberi pemaknaan bahwa perilaku yang positif jauh lebih baik daripada perilaku negatif. Tak hanya itu, orang tua yang memanjakan anak, selalu memberi apa yang diinginkan anak, juga bisa berpengaruh, lo.
Rilis Inclusivision Project, Honda Beri Wadah Teman Color Blind Ekspresikan Diri
KOMENTAR