"Mungkin karena orang tua nggak mau repot, jadi selalu memenuhi keinginan anak," kata Mitha seraya melanjutkan, "Orang tua tak tahu betapa besar efek yang bisa dimunculkan di kemudian hari." Bukan hanya anak jadi punya "senjata" untuk memenuhi keinginannya, tapi juga bisa membuatnya jadi enggak begitu tough .
"Menghadapi hambatan sedikit saja, anak sudah patah semangat." Jika hal ini terus berlanjut, anak jadi tak punya keterampilan untuk mengatasi kesulitan, hambatan, maupun menyatakan kebutuhan atau sesuatu yang tak menyenangkan dirinya.
HARUS PEKA DAN TANGGAP
Nah, sudah jelas, kan, Bu-Pak, kenapa si kecil suka mengeluarkan "senjata"nya kala ia menginginkan sesuatu? Tapi, bukan berarti ia pada akhirnya sengaja berperilaku demikian, lo. Karena, terang Mitha, lebih banyak porsi menirunya, "lebih pada pengalaman yang berulang, bukan sesuatu yang dipikirkan secara canggih dan terencana seperti pada orang dewasa."
Namun begitu, kita tetap perlu mengajari anak bagaimana seharusnya mengekspresikan kebutuhan, keinginan, dan perasaannya. Kalau tidak, terang Mitha, anak akan menggunakan "senjata"nya terus. "Sedikit-sedikit minta sambil ngamuk." Selain itu, ia juga jadi tak dibiasakan menunda kebutuhan-kebutuhannya, selalu minta sesuatu dengan cara yang buruk dan tak pernah diperbaiki.
Menurut Mitha, sejak anak berusia 1,5 tahun seharusnya sudah diajarkan, karena di usia tersebut, lingkungan sosial anak mulai lebih banyak. Malah, tambahnya, saat masih bayi pun sebenarnya sudah bisa diajarkan, karena "senjata" tersebut sudah dibawa sejak bayi. "Ini sesuatu yang primitif yang dimiliki anak sejak lahir," katanya. Itulah mengapa, para ahli selalu bilang, setiap orang tua dituntut untuk peka dan tanggap terhadap kebutuhan anaknya.
Dengan begitu, kala si kecil menangis meraung-raung, kita bisa lihat, oh, ia lagi sakit, misalnya. Termasuk juga melihat, kapan biasanya ia berperilaku demikian, apakah setiap pagi saat kita mau ke kantor? Sehingga kita jadi bisa cepat membedakan, apakah perilakunya itu dijadikan "senjata" untuk menarik perhatian kita ataukah memang karena ada sesuatu dari anak.
KONSISTEN
Kalau kita sudah peka dan tanggap, kita akan lebih mudah untuk mengarahkannya. Saat ia membanting-banting mainan, misalnya, katakan, "Oh, Ade lagi marah, ya. Tapi bonekanya jangan dibanting, ya. Nanti rusak. Kalau rusak, nanti Ade nggak punya boneka lagi." Lama-lama anak akan tahu, oh, perasaan seperti ini namanya marah; kalau marah nggak boleh banting mainan karena bisa rusak, dan sebagainya.
Begitu juga kala ia hendak menyampaikan sesuatu, bantu ia menjabarkannya. Misalnya, "Oh, Ade mau apel? Ini namanya buah apel." Akhirnya ia akan bisa menyampaikan perasaan maupun apa yang ia inginkan dengan cara yang tepat. Tapi kita harus konsisten, lo. "Jangan orang tua minta anak untuk tak berteriak-teriak tapi orang tua sendiri menyampaikannya sambil teriak-teriak," ujar Mitha. Bila demikian, anak akan berpikir, "Katanya, aku enggak boleh teriak-teriak, tapi, kok, Mama teriak-teriak juga?"
Ini akan menimbulkan dua kesan yang berbeda pada anak, yang membuatnya confused dan komunikasi pun jadi enggak efektif. Kita pun harus mengajarkan, kapan ia boleh minta, kapan sesuatu tak boleh diminta, kenapa ia boleh mengerjakan sesuatu, kenapa ia tak boleh mengerjakan sesuatu, apakah keinginannya cukup proporsional, kita bisa memenuhinya enggak, kapan ia bisa mendapatkannya, dan sebagainya.
"Ini akan membantu anak untuk tak memakai 'senjata'nya karena ia sudah tahu apa yang boleh dan tidak, dan kapan ia bisa mendapatkan yang diinginkannya," tutur Mitha. Pendeknya, tandas Mitha, orang tua dan anak harus sama-sama belajar. "Orang tua tahu sejauh mana kebutuhan atau adanya suatu keinginan dari anak, sementara anak juga belajar bahwa ada suatu bentuk komunikasi dengan orang tua. Meski cara tersebut enggak canggih tapi efektif."
KOMENTAR