Frekuensi hubungan seksual yang terjaga secara teratur ini juga memberi manfaat lain, di antaranya membuat kita tampak fresh, lebih sehat, awet muda, dan ceria. Sebabnya, berbarengan dengan orgasme, otot-otot tubuh akan mengalami relaksasi. Nah, saat mengalami relaksasi itulah, tubuh mengeluarkan endorfin, sejenis morfin fisiologis yang memberi kenikmatan sekaligus pelepasan ketegangan pada seluruh otot tubuh. Makin sering endorfin ini dikeluarkan, makin berkurang pula beban ketegangan otot tubuh, hingga makin sehatlah kondisi tubuh yang bersangkutan.
Bukan cuma itu faedahnya, lo. Seluruh pembuluh darah pun yang semula mungkin tersumbat oleh kotoran-kotoran dan gumpalan-gumpalan lemak akan terbuka dengan sendirinya, hingga sirkulasi darah dalam tubuh kembali normal dan lancar. Itulah mengapa, suami-istri yang teratur berintim-intim akan tampak lebih sehat, awet muda, dan lebih bahagia. Bahkan, lanjut Boyke, pernah ada penelitian yang menyebutkan, mereka yang melakukan hubungan seksual secara sehat dan teratur, umurnya lebih panjang empat tahun dibanding yang tidak.
SIASATI DENGAN VARIASI
Hanya saja, bilang Boyke, pertambahan usia seseorang bisa menurunkan frekuensi hubungan seksualnya. Selain disebabkan menurunnya kemampuan akibat penuaan fisik, yang bersangkutan pun umumnya tak lagi hanya memikirkan urusan seksual. Mengingat ada sederet persoalan lain yang juga harus dipikirkan, semisal urusan karier, keutuhan keluarga, maupun masa depan anak-anak.
Umumnya, menurunnya frekuensi seks terjadi ketika seorang wanita menginjak usia 40 tahun dan 50 tahun bagi pria. Usia-usia itulah yang kerap dijuluki usia rawan karena pada usia ini sering muncul perilaku neko-neko yang disebut pubertas kedua. Padahal perilaku "miring" tadi biasanya lebih merupakan tameng untuk menutupi kelemahan/kekurangan akibat menurunnya kemampuan seksual. Intinya, yang bersangkutan ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia masih memiliki daya tarik dan masih seperkasa mereka yang muda. Kendati di usia ini tak sedikit mereka yang telah mengalami disfungsi ereksi. Di sinilah, tegas Boyke, pentingnya agama agar tak terperosok pada hal-hal negatif.
Untuk memelihara/menjaga agar tak terjadi perubahan atau penurunan drastis, Boyke mengingatkan untuk mengoptimalkan manfaat foreplay dan afterplay. Disamping melakukan berbagai eksperimen di antara mereka berdua terhadap setiap variasi dan tekhnik bercinta. Apa pun bentuk dan variasi hubungan seksual yang dipilih, harus bisa mendatangkan kepuasan bagi mereka berdua. Tentu saja semua itu baru dapat direalisasikan bila ada komunikasi lancar dengan pasangan.
JAGA PENAMPILAN
Tak kala penting, saran Boyke, jaga penampilan fisik sebaik mungkin. Bisa jadi, kan, Bu-Pak, frekuensi hubungan intim menurun hanya gara-gara penampilan istri yang slordig lengkap dengan bau balsem yang menyengat atau suami yang rajin bersarung-ria sepanjang hari. Setidaknya, jagalah kebersihan dan kecantikan diri. Mana mungkin pasangan bergairah, sih, bila kita terlihat dekil/kusam dan bau karena belum sempat mandi seharian. Atau yang dulu berbadan langsing menarik dan membuat pasangan tergila-gila, kini menjelma jadi wanita tambun tanpa potongan, misal. Apa pun, bilang Boyke, "penampilan fisik tetap menentukan, kok."
Nah, Bu-Pak, jika hal-hal "sepele" semacam itu bisa diantisipasi dan ditangani, bukan mustahil, kok, bila frekuensi hubungan seksual tetap terjaga, sekalipun mulai berangkat tua. Kalaupun ada penurunan, taruhlah masih dalam kisaran angka yang wajar, bukan penurunan drastis atau bahkan berhenti total.
Yanti/Gazali Solahuddin .
KOMENTAR