Idealnya, 1-4 kali seminggu. Kelebihan bikin badan loyo. Kekurangan? Rumah tangga bisa retak!
"Dulu, sewaktu masih pengantin baru, kami bisa, lo, 4-6 kali sehari! Tapi sekarang, belum tentu seminggu sekali. Normalnya berapa kali, sih, Dok?", begitu keluhan seorang pendengar dari telepon saat acara on air tanya jawab dengan seorang seksolog di salah satu radio swasta. Pertanyaan lain, "Meski sudah sama-sama berangkat tua, rasanya kehidupan seksual kami tak bermasalah. Istri saya selalu puas, bahkan kami bisa menikmatinya 3-4 kali setiap hari!"
Soal yang satu ini, bilang dr. Boyke Dian Nugraha, DSOG, MARS, sebetulnya tak ada batasan baku. Artinya, berapa kali suami-istri melakukan hubungan seksual, selalu terpulang pada mereka berdua. Mengingat hubungan intim amat tergantung oleh mood atau suasana hati dan keinginan mereka. "Sepanjang keduanya berhasrat, sanggup melakukannya dan sama-sama menikmatinya, kenapa tidak?" ujar dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang juga konsultan seksologi ini.
Terlebih lagi, hubungan yang paling intim antara suami dan istri ini sebaiknya memang bersifat spontan, tanpa pernah diembel-embeli segala macam aturan atau bahkan dibuatkan jadwal ketat. Kalau tidak, Boyke khawatir hubungan seksual akan dirasakan sebagai bentuk pemaksaan atau kewajiban belaka, hingga tak mencapai uncak kepuasan yang diinginkan kedua belah pihak.
SESUAI RITME TUBUH
Kendati tak ada pola baku, Boyke menganjurkan agar suami-istri berintim-intim secara teratur 1-4 kali seminggu. Pertimbangannya, frekuensi tersebut sesuai ritme tubuh atau kondisi fisiologis pria maupun wanita. "Produksi sperma oleh buah zakar boleh dibilang sudah memenuhi kuota penampungan dalam kurun waktu tiga hari. Nah, kalau bisa mengikuti ritme fisiologis tersebut, kan, bagus. Apalagi lantaran produksi ini memang harus dikeluarkan secara teratur sesuai waktu atau batas kuota alamiah tadi."
Sedangkan pada wanita, justru memperbesar kemungkinan merasakan kenikmatan seksual lebih lama. Soalnya, kondisi fisiologisnya memungkinkan kaum hawa merasakan kenikmatan hubungan seksual selama seminggu. Dengan begitu, bukankah kenikmatan yang dirasakannya akan berganda bila sebelum habis masanya, ia kembali memperoleh kenikmatan baru? Jadi, tegas Boyke, para istri tak perlu khawatir dirinya bakal kebal alias tak bisa merasakan orgasme atau kenikmatan seksual lagi.
Bahkan, pola 1-4 kali seminggu ini malah memberi keuntungan lain berupa kesempatan "beristirahat sejenak" pada organ-organ tubuh wanita maupun pria, bila memang diperlukan demikian. Meski pada dasarnya, seberapa sering pun kita melakukan hubungan seksual, bila dilakukan dalam batas-batas wajar, takkan merusak senjata pamungkas kedua belah pihak. Sebab, baik alat kelamin pria maupun wanita diciptakan begitu rupa untuk beradaptasi terhadap kondisi apa saja. Artinya, penis bisa beradaptasi dengan semua ukuran vagina, begitu pula sebaliknya. Belum lagi cairan pelumas yang akan keluar dengan sendirinya untuk menghindari perlecetan saat penetrasi.
MENGATUR STRATEGI
Dengan adanya "aturan" tersebut, praktis berdampak bila frekuensi hubungan intim amat minim atau malah berlebih. Dampaknya amat mudah terasakan dalam kehidupan sehari-hari. Frekuensi yang minim, misal, akan memancing suami-istri jadi gampang uring-uringan; hanya karena sebab sepele saja bisa meledak jadi masalah besar. Bisa juga suami atau istri kerap pasang muka cemberut atau tampak murung. Akibatnya, badan terasa lemas dan hidup pun jadi terasa tak memberi gairah. Padahal, bentuk-bentuk emosi tersebut sebetulnya merupakan reaksi tubuh lantaran energi yang dihasilkan tiap hari tak termanfaatkan secara optimal. Bila dibiarkan berlarut-larut tak menutup kemungkinan, lo, akan menimbulkan ketakharmonisan atau bahkan keretakan hubungan dengan pasangan. Celaka, kan? Belum lagi jika pasangan menuduh kita memiliki WIL/PIL, misal.
Sebaliknya, frekuensi terlalu sering semisal mencapai 6-8 kali seminggu, membuat energi kita terkuras habis hingga badan jadi loyo. Terlebih pada pria, hal ini terasakan sekali. Soalnya, dalam sperma terkandung berbagai protein, asam amino, dan asam esensial lainnya. Bisa dihitung, kan, berapa banyak energi cadangan yang dibutuhkan, bila untuk sekali "pertempuran" saja diperlukan energi minimal setara dengan energi yang terpakai untuk lomba lari 2x100 meter atau bergegas naik tangga 3 lantai. Itu baru sekali "pertempuran " saja, lo, bagaimana kalau 3-4 kali sehari selama seminggu penuh terus menerus, misal. Bisa-bisa jebol, kan? Terlebih jika tak diimbangi dengan cukup istirahat dan asupan makanan bergizi tinggi.
Nah, agar waktu tak tersita habis hanya untuk urusan ranjang sementara kepuasan suami-istri bisa tetap terpenuhi, Boyke menyarankan agar kita pandai-pandai mengatur strategi, semisal memilih hari secara berselang-seling: Minggu-Selasa-Kamis-Sabtu atau Senin-Rabu-Jumat-Sabtu. Dengan begitu ada tenggang waktu untuk memulihkan kondisi tubuh agar siap "tempur" kembali. Disamping manfaatkan hari-hari tersebut seoptimal mungkin, hingga memberi kesan mendalam yang akan memperkokoh hubungan emosional suami-istri. Soalnya, kepuasan seksual suami-istri jelas akan membantu mengikis ganjalan emosi, bila ada. Hanya saja, tegas Boyke, jangan memaksakan diri, melainkan disesuaikan kemampuan diri maupun pasangan.
Frekuensi hubungan seksual yang terjaga secara teratur ini juga memberi manfaat lain, di antaranya membuat kita tampak fresh, lebih sehat, awet muda, dan ceria. Sebabnya, berbarengan dengan orgasme, otot-otot tubuh akan mengalami relaksasi. Nah, saat mengalami relaksasi itulah, tubuh mengeluarkan endorfin, sejenis morfin fisiologis yang memberi kenikmatan sekaligus pelepasan ketegangan pada seluruh otot tubuh. Makin sering endorfin ini dikeluarkan, makin berkurang pula beban ketegangan otot tubuh, hingga makin sehatlah kondisi tubuh yang bersangkutan.
Bukan cuma itu faedahnya, lo. Seluruh pembuluh darah pun yang semula mungkin tersumbat oleh kotoran-kotoran dan gumpalan-gumpalan lemak akan terbuka dengan sendirinya, hingga sirkulasi darah dalam tubuh kembali normal dan lancar. Itulah mengapa, suami-istri yang teratur berintim-intim akan tampak lebih sehat, awet muda, dan lebih bahagia. Bahkan, lanjut Boyke, pernah ada penelitian yang menyebutkan, mereka yang melakukan hubungan seksual secara sehat dan teratur, umurnya lebih panjang empat tahun dibanding yang tidak.
SIASATI DENGAN VARIASI
Hanya saja, bilang Boyke, pertambahan usia seseorang bisa menurunkan frekuensi hubungan seksualnya. Selain disebabkan menurunnya kemampuan akibat penuaan fisik, yang bersangkutan pun umumnya tak lagi hanya memikirkan urusan seksual. Mengingat ada sederet persoalan lain yang juga harus dipikirkan, semisal urusan karier, keutuhan keluarga, maupun masa depan anak-anak.
Umumnya, menurunnya frekuensi seks terjadi ketika seorang wanita menginjak usia 40 tahun dan 50 tahun bagi pria. Usia-usia itulah yang kerap dijuluki usia rawan karena pada usia ini sering muncul perilaku neko-neko yang disebut pubertas kedua. Padahal perilaku "miring" tadi biasanya lebih merupakan tameng untuk menutupi kelemahan/kekurangan akibat menurunnya kemampuan seksual. Intinya, yang bersangkutan ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia masih memiliki daya tarik dan masih seperkasa mereka yang muda. Kendati di usia ini tak sedikit mereka yang telah mengalami disfungsi ereksi. Di sinilah, tegas Boyke, pentingnya agama agar tak terperosok pada hal-hal negatif.
Untuk memelihara/menjaga agar tak terjadi perubahan atau penurunan drastis, Boyke mengingatkan untuk mengoptimalkan manfaat foreplay dan afterplay. Disamping melakukan berbagai eksperimen di antara mereka berdua terhadap setiap variasi dan tekhnik bercinta. Apa pun bentuk dan variasi hubungan seksual yang dipilih, harus bisa mendatangkan kepuasan bagi mereka berdua. Tentu saja semua itu baru dapat direalisasikan bila ada komunikasi lancar dengan pasangan.
JAGA PENAMPILAN
Tak kala penting, saran Boyke, jaga penampilan fisik sebaik mungkin. Bisa jadi, kan, Bu-Pak, frekuensi hubungan intim menurun hanya gara-gara penampilan istri yang slordig lengkap dengan bau balsem yang menyengat atau suami yang rajin bersarung-ria sepanjang hari. Setidaknya, jagalah kebersihan dan kecantikan diri. Mana mungkin pasangan bergairah, sih, bila kita terlihat dekil/kusam dan bau karena belum sempat mandi seharian. Atau yang dulu berbadan langsing menarik dan membuat pasangan tergila-gila, kini menjelma jadi wanita tambun tanpa potongan, misal. Apa pun, bilang Boyke, "penampilan fisik tetap menentukan, kok."
Nah, Bu-Pak, jika hal-hal "sepele" semacam itu bisa diantisipasi dan ditangani, bukan mustahil, kok, bila frekuensi hubungan seksual tetap terjaga, sekalipun mulai berangkat tua. Kalaupun ada penurunan, taruhlah masih dalam kisaran angka yang wajar, bukan penurunan drastis atau bahkan berhenti total.
Yanti/Gazali Solahuddin .
KOMENTAR