Merangsang anak boleh-boleh saja asal tak berlebihan. Soalnya, hasilnya bisa sia-sia.
Sering, kan, kita dengar anjuran untuk mentimulasi anak sejak dini agar cerdas? "Ya, boleh-boleh saja, asalkan tidak berlebihan atau overstimulasi," jelas psikolog Dra. Mayke Tedjasaputra, MSi. Stimulasi berlebih, kata pengasuh rubrik Tanya Jawab Psikologi nakita ini, adalah bila bayi belum bisa merespons karena kemampuannya memang masih terbatas, tapi terus "dijejali' rangsangan oleh orang tuanya.
Contohnya, secara motorik belum mampu meraih benda di hadapannya, terus saja dilatih bahkan dipaksa. Jelas, bayi menolak. Ia pun seolah tidak diberi waktu untuk istirahat atau bermain karena begitu banyak "tugas" yang diberikan ayah/ibunya.
Kecenderungan seperti itu, kata Mayke, memang ada pada ibu zaman sekarang. Selain karena pengaruh informasi yang luar biasa dari media massa, juga ada pihak-pihak tertentu yang mencari keuntungan dengan membuka berbagai kursus untuk bayi. Untungnya, ini cuma terjadi di kelas menengah atas yang secara materi mampu dan tingkat pendidikan mereka lebih baik. "Bisa juga karena orang tua berambisi menjadikan anak sebagai investasi masa depan. Jadi, nilai anak bukan lagi sebagai anak yang perlu dibesarkan dengan bekal kasih sayang." Padahal, lanjut psikolog dari UI ini, anak yang diharapkan mampu bersaing di era globalisasi ini, akhirnya malah tak bisa apa-apa.
JADI TERASING
Stimulasi yang berlebihan pada bayi, jelas Mayke, bukan tak berdampak buruk. Ia mengingatkan, mempercepat perkembangan anak, "Pada dasarnya sudah melanggar hak anak. Anak nantinya bisa mengalami semacam keterasingan dengan dirinya. Ia tak mengerti apa dan kenapa harus melakukannya."
Sebaliknya, ibu yang tak peduli dan sama sekali tak memberi rangsangan pada tiap tahap perkembangan anak, juga tidak baik. "Bisa-bisa tahapan terpenting dalam perkembangan anak terlewatkan begitu saja.
BAYI SIAP,ORANG TUA PEKA
Yang perlu diketahui saat memberi stimulasi adalah kesiapan si bayi. Meski ada patokan umum yang perlu diperhatikan, jelas Mayke, tiap anak memiliki kesiapan berbeda untuk belajar sesuatu. Misalnya, umur 3 bulan bisa tengkurap, 4-5 bulan mulai memasukkan benda ke mulut, dan seterusnya. Dengan demikian, orang tua bisa memberi stimulasi sesuai tahapan perkembangan anak.
Kendati begitu, tak semua anak mencapai tahap perkembangan di usia yang sama. Bisa saja bayi A sudah bisa tengkurap di usia 3 bulan, sedang bayi B lebih lambat atau malah beberapa hari lebih cepat. "Lebih lambat bukan berarti si bayi mengalami keterbelakangan, lo. Bisa saja ia belum matang dari segi motorik maupun saraf-saraf di otaknya yang mengatur perintah untuk melakukan aktivitas tertentu."
Di sisi lain, tak mudah juga bagi orang tua mencari stimulasi yang pas. Orang tua harus peka terhadap kesiapan bayinya untuk menerima rangsang. Caranya? "Mau tak mau ia harus mengamati, bagaimana respons dan minat si bayi. Kalau bayinya sudah menunjukkan kecenderungan melakukan suatu aktivitas, seperti meraih benda, cobalah stimulasi dengan menaruh benda tersebut di hadapannya. Jika anak belum menunjukkan minat, jangan dipaksakan."
KOMENTAR