Cemburu? Wajar-wajar saja, kok. Dengan catatan, tak berlebihan atau cemburu buta. Komunikasi, itu kunci utamanya.
Cemburu itu bumbunya cinta. Begitu kata orang. Makanya kalau suami atau istri tak pernah dihinggapi rasa cemburu, bisa jadi pasangannya malah bertanya-tanya di dalam hati, "Sebenarnya dia cinta, enggak, sih, sama aku?" Bahkan, saking ingin menguji kadar cinta pasangan, ada istri atau suami yang sengaja bikin ulah agar pasangannya cemburu.
Cemburu alias jealousy, kata ahli, adalah perasaan takut kehilangan seseorang yang kita miliki atau perasaan takut kalau-kalau hubungan dengan seseorang yang kita cintai terancam. Misalnya, istri langsung panik atau bereaksi berlebihan ketika dirasanya sang suami berhubungan dengan wanita lain. "Ia merasa ikatan perkawinannya akan goyah atau bahkan terlepas begitu tahu suaminya punya hubungan dengan wanita lain," tutur Dra. Psi. Zamralita dari Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara Jakarta.
Sebetulnya, ada tiga elemen pokok dalam cemburu. Pertama, terjalinnya hubungan kasih sayang atau cinta di antara dua orang. Kedua, ada nilai-nilai khusus yang dipertukarkan antara keduanya, seperti perhatian dan komitmen. Terakhir, ada orang lain sebagai pengganggu hubungan tersebut. "Nah, si pengganggu ini bisa dalam porsi memberi atau menerima," ujar psikolog yang akrab dipanggil Lita ini.
Misalnya, pasangan kita "mengejar" wanita/pria lain sementara si wanita/pria itu cuek saja. Jelas ini bikin cemburu. Sebaliknya bisa terjadi pasangan kita yang "dikejar" oleh wanita/pria lain, tapi dia tak mau menanggapinya. Yang ini juga bisa bikin cemburu. Apalagi, bukan tak mungkin si pasangan yang tadinya cuek saja, kemudian malah menanggapinya lantaran si "pengejar" begitu aktifnya. Celaka, kan?
FAKTOR BUDAYA
Menurut Lita, ada banyak hal yang bisa mempengaruhi seseorang untuk merasa cemburu. Salah satunya, harapan budaya tentang suatu hubungan: bahwa hubungan suami-istri idealnya harmonis.
Tapi pada kenyataannya banyak sekali terjadi hal-hal yang membuat hubungan tersebut jadi tak harmonis.
Ambil contoh budaya yang sangat menekankan monogami. Adanya affair, sama sekali tak bisa ditolerir. "Itu sesuatu yang sangat tak bisa dimaafkan. Dalam hal ini, cemburu adalah reaksi yang wajar. Artinya, sebagai respon kewaspadaan, filter agar suami atau istri tak melakukannya," tutur lulusan Universitas Pajajaran Bandung ini.
Lain hal dengan budaya yang tak terlalu menekankan monogami atau pada budaya yang memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu seperti saling peluk atau cium pipi antara pria dan wanita saat bertemu kendatipun tak ada hubungan saudara atau perkawinan. Dalam hal ini pasangan diharapkan untuk tak cemburu.
Kendati demikian, tak lantas berarti dalam budaya ini cemburu sangat diharamkan. "Cemburu bisa diterima selama masih pada porsi yang wajar," kata Lita. Maksudnya, tak berlebihan. Tapi kalau langsung marah-marah dan bereaksi destruktif tanpa diklarifikasi lebih dulu, "Itu berlebihan. Cemburu yang seperti ini justru akan memperburuk atau membahayakan hubungan pasangan itu sendiri."
CEMBURU BUTA
Cemburu juga dipengaruhi oleh personal self esteem (harga diri seseorang). "Ada orang-orang tertentu yang harga dirinya rendah atau negatif. Ia merasa kurang percaya diri, merasa tak mampu, tak berdaya. Nah, mereka ini termasuk yang rentan untuk disergap rasa cemburu," terang Lita.
Biasanya, tipe ini langsung bereaksi destruktif. Begitu ada wanita/pria yang menelepon atau mengunjungi pasangannya, pikirannya langsung negatif, "Jangan-jangan ada hubungan khusus, nih." Jadi, belum apa-apa sudah cemburu. Belum jelas persoalannya, tapi ia sudah merasa hubungan dengan pasangannya terancam. "Orang-orang semacam ini biasanya tak berintrospeksi. Mereka langsung merasa, hal ini akan sangat berbahaya bagi hubungan mereka."
Perasaan memiliki (feeling of possessiveness) pasangan, juga kerap menimbulkan cemburu. Ada orang yang rasa memilikinya sangat tinggi, sehingga sudah merasa sangat terganggu saat pasangannya disentuh atau ditelepon wanita/pria lain. Sebaliknya, ada yang malah sama sekali merasa tak terganggu dengan "ulah" pasangannya. "Saya yakin istri/suami saya tak akan melakukan hal-hal negatif. Kalau cuma ditelepon, enggak masalah."
Perasaan memiliki, menurut Lita, bisa positif asal masih dalam batas wajar. Artinya, hanya sekadar sebagai sinyal atau mengingatkan pasangan bahwa, "Kamu itu milik saya, lo." Jadi, cemburunya masih terkontrol dan semata-mata untuk sekadar memberi tahu pasangan agar jangan "lari" dari jalur yang sudah disepakati. "Sebagai bukti bahwa kita menyadari ada hubungan yang kuat atau intens di antara kita dengan pasangan."
Tapi kalau rasa memilikinya kelewat berlebihan, bisa berbahaya. Sebab, kita akan cenderung untuk mengendalikan dan mengekang perilaku maupun perasaan pasangan. Akibatnya, "Bisa-bisa jadi cemburu buta. Masalah kecil saja bisa memicu kecemburuan," jelas Lita. Ada, kan, suami yang tak mengizinkan istrinya keluar rumah kalau tidak diantar? Suami langsung cemburu begitu melihat istrinya ramah pada orang lain? Sebaliknya, ada juga istri yang begitu.
KOMUNIKASI
Ketika dilanda cemburu, reaksi tiap orang berbeda-beda. Tapi pada umumnya, pria akan marah dan langsung mengkonfrontir istrinya. Sementara pada wanita, selain marah, juga cenderung bereaksi destruktif. Marahnya meledak-ledak dan tak jarang disertai dengan melempar-lempar barang atau malah memukul pasangannya. Ini terjadi karena si wanita mengalami depresi. Ia merasa sangat menderita karena menduga-duga suaminya memiliki hubungan khusus dengan wanita lain. Ia merasa dirinya tak berharga dan tak menarik lagi. Ia pun takut luar biasa kalau-kalau hubungan suaminya dengan wanita lain itu akan berlanjut.
Perasaan cemburu, menurut Lita, biasanya bukan merupakan emosi tunggal tapi akan diikuti pula oleh emosi lain seperti rasa curiga, marah, menolak, dan rasa permusuhan. Perasaan-perasaan tersebut dialami bukan hanya pada wanita, tapi juga pria. "Jika semua perasaan ini mengumpul, satu saat bisa meledak." Itulah mengapa Lita menyarankan agar pasangan sebaiknya mengkomunikasikan kecemburuan tersebut.
Tentu saja komunikasi itu hendaknya tak bersifat memvonis. Karena tujuan dari komunikasi ini sebenarnya untuk mengklarifikasikan apakah pasangan memang punya hubungan khusus dengan wanita/pria lain atau cuma hubungan biasa. "Bisa jadi, kan, pasangan sebetulnya tak punya hubungan apa-apa dengan wanita/pria lain tapi oleh pasangan dipersepsikan sebagai hubungan khusus?"
Ada baiknya juga suami/istri menyampaikan hal-hal yang tak disukainya dari pasangan sehingga ia pun tak akan mengulangi kesalahannya. Sebaliknya, suami/istri juga tak boleh melakukan hal-hal yang ia sendiri tak suka jika perbuatan tadi dilakukan oleh pasangannya. "Dengan kata lain, harus fair. Masing-masing pihak tahu batasnya. Enggak perlu sampai dijelaskan detil. Yang penting, saling menyadari."
Lita melihat, pasangan yang memiliki komitmen jelas dalam perkawinan, umumnya lebih mudah membina komunikasi setelah perkawinan. "Kalaupun timbul konflik, itu wajar. Tapi dengan adanya komitmen yang jelas, konflik yang mungkin timbul karena perasaan cemburu justru bisa diredusir."
Soal kapan tepatnya untuk berkomunikasi, tentu pasangan sendirilah yang paling tahu. "Ada yang mungkin bicaranya pada saat anak-anak sudah tidur atau setelah mandi. Bisa juga sambil nonton teve atau begitu bangun tidur saat kondisi pikiran sedang jernih," tutur Lita. Yang penting, jangan berkomunikasi saat emosi sedang tinggi karena tak akan bakal dicapai jalan tengah. "Malah bisa berlanjut ke konflik terbuka, yang bisa berpengaruh pada anak."
Lita mengingatkan, sangat jelek dampaknya bila anak sampai melihat konflik orangtuanya. Bagi anak, lanjut Lita, orangtua adalah tumpuan cinta kasihnya. Jika melihat orangtuanya bertengkar, anak jadi bingung. Akan muncul pertanyaan dalam dirinya, "Saya ikut siapa?" Selain itu, "Anak biasanya akan meniru orang terdekat. Jika orangtua mengeluarkan kata-kata kasar saat bertengkar, misalnya, maka ia pun akan meniru. Nah, bagaimana kita mengajari anak agar jangan berkata kasar sementara kita sendiri memberi contoh?"
MEMANCING CEMBURU
Bagaimana jika pasangan tak pernah cemburu? "Memang ada orang yang tipenya easy going, tak terlalu pencemburu," tukas Lita. Namun begitu tak berarti suami/istri lantas tidak berusaha menjaga perasaan pasangannya. "Suami atau istri tetap harus punya jarak yang jelas dalam berhubungan dengan lawan jenisnya."
Tak perlu pula suami/istri berusaha memancing kecemburuan pasangannya. "Kalau suami atau istri yakin bahwa pasangannya adalah tipe setia dan enggak macam-macam, ya, enggak perlulah diuji segala." Karena bisa terjadi, tujuannya untuk menguji kadar cinta, ternyata hasilnya malah tak seperti yang diharapkan. Pasangan jadi betul-betul marah dan merasa dipermainkan.
Jangan lupa, "Cemburu memang bisa merupakan tanda cinta, tapi juga bisa menjadi sumber konflik yang sifatnya sangat destruktif atau merusak hubungan dengan pasangan," tutur Lita mengingatkan. Apalagi kalau suami dan istri, keduanya sama-sama pencemburu, ya, jangan coba-coba.
Di sisi lain, ada pula orang yang memang tak bisa mengungkapkan perasaan cemburunya. "Biasanya pada orang-orang yang introvert. Orang tipe ini 'bermain' dengan perasaan-perasaannya sendiri." Begitupun dengan mereka yang harga dirinya negatif, tak akan mengatakan terus terang, "Saya cemburu." Tapi dari perilakunya terlihat bahwa mereka sebetulnya cemburu.
Nah, Andalah yang paling tahu, tipe macam apa pasangan Anda. Dengan begitu, paling tidak, Anda jadi bisa mengurangi timbulnya perasaan cemburu.
Hasto Prianggoro/nakita
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR