Suami-istri tinggal terpisah memang bisa menimbulkan masalah. Tapi tetap ada jalan keluarnya, kok.
Kini makin banyak pasangan suami-istri tinggal terpisah. Entah karena si suami dimutasikan ke lain kota oleh kantornya atau sang istri mendapatkan beasiswa pendidikan di luar negeri, sementara pasangannya tetap tinggal di kota asal.
Perkawinan jarak jauh ini tentunya bukan tanpa risiko. Yang biasanya tiap hari ketemu dan berkomunikasi, kini terpisah oleh jarak. Padahal, komunikasi merupakan salah satu faktor terpenting dalam kehidupan perkawinan. "Memang, tinggal bersama lebih efektif ketimbang yang satu dan lainnya harus tinggal terpisah," kata psikolog Ieda Poernomo Sigit Sidi.
Tapi, lanjut Ieda, kendati suami-istri serumah, "Kalau tak mengembangkan komunikasi yang efektif, ya, sama saja. Lebih bagus tinggal terpisah." Toh, komunikasi juga bisa tetap jalan, baik dengan pasangan maupun anak. "Bisa lewat telepon, surat, maupun faksimili." Ieda juga menekankan, dalam komunikasi yang terpenting adalah kualitasnya, "Bukan berapa sering dan lama. Juga harus ada kesediaan masing-masing pihak untuk mendengarkan dan memahami dari sudut pandang yang lain."
HITUNG CERMAT
Kendati demikian, tutur Ieda, menjalani perkawinan "jarak jauh" (suami-istri tinggal terpisah) memang tak mudah. "Masing-masing harus punya rasa saling percaya dan kedewasaan sikap. Tak boleh egois, berwawasan sempit, dan membuang jauh-jauh bebagai kecemasan yang tak berdasar. Pokoknya, mesti berpikir positif!" Selain itu, masin-masing juga dituntut memiliki inisiatif dan mampu membuat pemecahan masalah secara kreatif. "Artinya, pasangan harus fleksibel, luwes beradaptasi, dan pandai menyesuaikan diri.
Nah, oleh sebab itulah, tutur Ieda lagi, "Sebelum memutuskan tinggal terpisah, perhitungkan dulu secara cermat." Mungkin secara materi lebih menguntungkan, misalnya. Tapi perlu dipikir pula, benarkah hal itu sama menguntungkannya dalam upaya membentuk keluarga yang harmonis. "Kalau lebih banyak ruginya, apalagi jika itu menyangkut anak-anak, lebih baik tidak," tukas Ieda.
Ieda juga mengingatkan, akan lahir banyak masalah di perkawinan jarak jauh. Misalnya saja dari segi materi. "Berarti, kan, ada dua pos pembiayaan. Belum lagi soal transportasi karena pasangan harus bolak-balik pulang menemui keluarga dalam waktu-waktu tertentu."
IKUT AYAH ATAU IBU?
Perkawinan jarak jauh juga memunculkan problem dari urusan anak. Jika sudah punya anak, suami harusnya sadar bahwa beban istri akan lebih berat karena harus mengurus anak sendirian. "Bisa saja, kan, kalau ada masalah dengan anak, si suami menuding istri tak becus mengurus anak. Nah, itu dapat menjadi sumber konflik."
Sebaliknya pada pasangan yang belum punya anak, "Memutuskan kapan akan punya anak dan anak akan ikut siapa, misalnya, akan membuat pasangan sampai pada dialog yang bisa bikin stres," terang Ieda.
Persoalan anak memang harus menjadi perhatian tersendiri. Anak, kata Ieda, tumbuh, berkembang, belajar menjadi orang, antara lain dengan meniru dari orang tuanya. Mereka perlu pengisian peran dari ayah-ibunya. "Kalau hanya salah satu saja yang ada, anak sulit berkembang secara penuh," kata Ieda. Kecuali jika pasangan bercerai atau kehilangan pasangan yang kemudian bisa digantikan.
KOMENTAR