Sebagaimana diketahui, usia balita merupakan masa penting dalam kehidupan seorang anak. Mereka akan berkembang lebih baik bila mendapatkan banyak belaian, cinta, kasih sayang, perawatan dan perhatian sepanjang hari dari ibunya.
Kendati demikian, para ahli berpendapat, si kecil akan tumbuh dan berkembang sama baiknya bila ia dirawat dan diasuh oleh seseorang yang perhatian dan kasih sayangnya tak jauh berbeda dengan ibunya.
Penelitian pun menunjukkan, tak ada perbedaan berarti antara anak dari ibu bekerja dengan anak dari ibu tak bekerja. Meski dari penelitian itu dikatakan, dalam beberapa hal anak yang ibunya bekerja cenderung lebih mandiri dan tak tergantung pada si ibu, tapi, toh, tak berarti anak yang ibunya tak bekerja lantas menjadi tak mandiri.
Baik ibu bekerja maupun tidak, menurut Chaterine, masing-masing memiliki tantangan sendiri. "Ibu yang tak bekerja tapi jenuh di rumah, juga tak akan membuat anak bahagia. Sebaliknya, ibu yang bekerja tapi enggak memperhatikan anak sepulang kantor, juga tak akan membuat anak bahagia. Jadi, dua-duanya punya konsekuensi," terangnya.
Yang penting diperhatikan oleh para ibu bekerja, Chaterine mengingatkan, kedekatan terhadap anak tak hanya ditentukan dari segi kuantitas. "Kualitas juga menentukan, lo. Jadi, kalau ibunya sibuk bekerja, ya, sebaiknya kualitasnyalah yang ditingkatkan supaya seimbang," anjur dosen pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya ini.
Caranya tentu macam-macam. Misal, dengan menelepon anak. Apalagi jika si kecil sudah bisa berbicara. Ia tentu akan senang. "Jadikanlah hubungan telepon sebagai kebiasaan rutin yang penting," anjur psikolog Dr. A. Joseph Burstlen dalam bukunya yang dialih bahasa, Petunjuk Lengkap Mendidik Anak.
Menyediakan waktu khusus bagi anak juga penting. Misal, pergi ke toko buku berdua saja dengan anak kala weekend. Atau, membacakan buku cerita menjelang tidur ketika suatu hari ibu pulang kerja lebih sore. Pendeknya, manfaatkan sebaik mungkin waktu ibu sedang tak bekerja untuk melakukan aktivitas bersama anak maupun hanya sekadar untuk berbincang-bincang dengan anak.
Yang harus diingat, jangan sampai ibu bekerja menunjukkan perasaan bersalahnya secara nyata. Misalnya dengan memenuhi segala permintaan anak. Akibatnya, anak menjadi manja. Segala keinginan atau perintahnya harus dituruti. Kalau tidak, si anak bisa-bisa akan ngambek. Ini tentu tak baik untuk perkembangannya.
HARUS ADA PRIORITAS
Tak dapat diingkari, faktor anak seringkali membuat seorang ibu bekerja mengalami konflik batin. Misalnya saat anak sakit sementara di kantor ada rapat penting. Apalagi jika suaminya tak bisa dimintai bantuan.
Karena itu, Chaterine menganjurkan, sebelum seorang ibu memutuskan untuk bekerja atau kembali bekerja, harus dipikirkan tentang siapa yang akan mengasuh anak-anaknya kelak bila ia bekerja. Apalagi jika selama ini si ibulah yang mengasuhnya sepanjang hari.
"Anak yang biasanya selalu didampingi ibunya, akan terkejut ketika mendapati sang ibu tak lagi mendampinginya karena bekerja," tutur Chaterine. Misal, biasanya sepulang "sekolah", ibu selalu ada di rumah atau makanan selalu disediakan oleh ibu. Tapi setelah ibu bekerja, yang menemani dan menyediakan makanan adalah pembantu. "Buat anak, itu perubahan yang mengejutkan!" tandasnya.
Saran Chaterine, anak sebaiknya dilibatkan dalam hal pengambilan keputusan apakah ibu harus bekerja. Kendati usianya masih balita, si kecil bisa, kok, diajak bicara. "Paling tidak, anak diberi tahu dan diberi gambaran kalau ibu bekerja itu seperti apa. Jadi anak enggak terheran-heran saat mengalami perubahan," terangnya.
Kemudian dalam memilih pekerjaan, menurut Chaterine, sebaiknya pekerjaan yang masih memungkinkan sang ibu untuk punya waktu bagi keluarga. "Meski pilihannya enggak banyak, tapi tetap ada pilihan untuk itu. Sebetulnya banyak peluang, kok. Cuma kadang-kadang kita enggak tahu atau belum mendapatkan informasi," tuturnya.
Selanjutnya yang perlu dilakukan ialah meminta pertimbangan suami. "Bagaimanapun, keputusan istri untuk bekerja harus disetujui suami!" tegas Chaterine. Tanpa dukungan suami, akan sulit bagi seorang istri bekerja untuk memperoleh pengertian dari suaminya. Apalagi untuk meminta suami mau berbagi peran dalam mengasuh anak, misalnya.
Kendati segalanya telah dipertimbangkan dan disepakati, Chaterine mengingatkan, harus tetap ada yang diprioritaskan. "Bagaimanapun setiap wanita harus punya prioritas dalam hidupnya. Kalau prioritasnya adalah anak dan keluarga sementara pekerjaan nomor dua, maka enggak perlu bingung ketika anak sakit, misalnya. Jelas ia harus lebih mementingkan anak dengan konsekuensi meninggalkan pekerjaan," terangnya.
Bagaimana jika dampaknya si ibu malah kehilangan pekerjaan? Apa boleh buat. Setiap pilihan selalu ada risikonya, bukan?
Hasto Prianggoro/nakita
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR