Tak jarang kita terbengong-bengong menyaksikan si kecil yang begitu manis di rumah, lantas seolah lepas kendali ketika berada di luar. Atau sebaliknya, yang "pemberani" di rumah, ternyata langsung mengkeret saat diajak ke luar.
Pasalnya, anak usia 1-3 tahun masih lebih banyak tergantung pada sosok ibu. Boleh dibilang, tokoh ibulah yang jadi penentu sehingga ia hanya mau dan bisa dekat dengan orang yang sudah familiar saja. "Makanya, saat keluar dari lingkungan yang telah dikenalnya, ia cenderung menunjukkan sikap bertolak belakang dengan kebiasaannya. Apalagi jika situasi yang ditemuinya begitu asing dan membuatnya takut," tutur Mien Sumartono, S.Psi.
Namun begitu, perbedaan sikapnya tak akan kelewat mencolok, karena anak pada dasarnya tak pernah menunjukkan perubahan sikap kelewat ekstrim. "Jarang sekali, lo, anak yang di rumah kelewat pemalu lalu di luar jadi ekstra pemberani. Seringnya justru, di luar lebih pemalu lagi." Tapi jika di rumah berani dan di luar pemalu, "mungkin orang tua kurang memberi kesempatan bersosialisasi atau overprotectif," tandas Mien, sapaan akrab psikolog dari DIA/YKAI Jakarta ini.
BUKAN MUNAFIK
Jikapun sikapnya betul-betul bisa dibedakan ketika ia berada di rumah dan di luar, maka harus dilihat lagi sejauh mana perbedaannya dan kapan perubahan sikap itu terjadi, serta dalam situasi seperti apa. Soalnya, bisa jadi perubahan sikap itu cuma persepsi orang tua yang menganggap remeh kondisi anak atau malah kelewat mencemaskan. Terlebih bila anak biasanya pemberani dan relatif mampu menyesuaikan diri, lalu mendadak jadi cengeng dan sensitif, "orang tua seharusnya mengamati kondisi anak, apakah sedang kurang sehat atau gelisah karena berbagai sebab." Tak jarang, sikap otoriter orang tua membuat anak jadi lepas kendali kala di luar, karena ia "takut" akan mendapatkan hukuman kalau melakukan sesuatu di rumah. Bisa pula karena orang tuanya sibuk hingga ia merasa tak cukup diperhatikan.
Nah, sebagai kompensasinya, di luar pengetahuan orang tua, ia justru akan bersikap sebaliknya. "Jadi, ia sebenarnya tengah berusaha minta perhatian dan kehangatan yang tak diperolehnya dengan porsi cukup," tandas Mien. Harus pula diwaspadai ada gangguan emosional yang mesti dicari penyebabnya bila perilakunya sangat ekstrim. Misal, di depan ibu manis sekali namun di belakangnya luar biasa menjengkelkan. "Jika orang tua tanggap, cepat meng-handle, dan memang bisa mengatasinya, berarti tak ada masalah, karena anak usia ini sedang dalam proses belajar dan mencari bentuk."
Tapi bila memang sudah sampai pada taraf keterlaluan dan tak bisa ditangani, maka perlu bantuan ahli. Yang jelas, perubahan sikap ini tak bisa disamakan dengan sikap munafik pada orang dewasa, karena anak usia ini belum memiliki kemampuan memanipulasi dalam bentuk apapun. "Mereka masih polos sama sekali, kok, belum mengenal segala bentuk kepura-puraan; masih pure pengaruh rumah, dunia luar belum banyak mengotori," ujar Mien.
Jikapun kemampuan memanipulasi semacam itu sempat muncul, tentu tak bisa lepas dari sikap atau kebiasaan orang tua di rumah. Jadi, orang tua harus introspeksi diri, apa saja yang sudah diperbuat hingga dicontoh anak. Jangan pula menganggap anak bersikap manis di rumah semata-mata agar tak mendapat hukuman. "Anak usia ini sama sekali belum mengenal konsep seburuk itu. Seluruh perilakunya masih sangat tergantung oleh kebutuhan akan rasa aman, terutama dari ibu. Jika ia merasa aman meski nggak ada ibunya, ya, nggak jadi masalah." Itu sebabnya, anak yang kelewat dilindungi biasanya lebih sulit jika diajak keluar dari "sangkar". Mereka umumnya tak bisa mandiri karena tak tahu harus berbuat apa bila tak ada yang melindungi.
KEBEBASAN BERSIKAP
Tapi sebenarnya, ujar Mien, perbedaan sikap ini tak akan kelewat mencolok bila anak sejak awal dibiasakan bebas bersikap. Selain, "orang tua pun rajin membawanya keluar untuk bertemu dan bergaul dengan banyak orang." Dengan begitu, ia jadi punya rasa percaya diri dan keberaniannya berada di lingkungan "asing" pun akan lebih terasah, sehingga ia mampu mengatasi keterasingan dan rasa tak aman saat berjumpa dengan orang-orang yang kurang familiar. Itulah mengapa, para ahli selalu menekankan agar orang tua tak banyak melarang anak sepanjang apa yang dilakukannya tak mengundang bahaya.
"Anak harus diberi kesempatan untuk terlibat penuh dalam proses sosialisasinya dan mengenal dunia luar." Jangan lupa, usia ini merupakan masa eksplorasi karena rasa ingin tahunya sangat besar. Jadi, "biarkan ia mencoba mengatasi sendiri masalah yang dihadapinya. Kalau tak bisa, barulah orang tua turun tangan. Itu pun sekadar membantu mencarikan jalan keluar." Kewajiban orang tua hanya sekadar menjaga dan mengarahkan. Hal lain yang harus jadi perhatian, anak usia ini perkembangannya masih didominasi oleh perkembangan bahasa, keberanian berbicara, dan kemampuan bernyanyi. "Anak yang sudah lancar bicara biasanya memiliki kemampuan sosialisasi yang bagus, karena kemampuan bicara memberi manfaat saat anak menjalani proses sosialisasi," terang lulusan Fakultas Psikologi UNISBA (Universitas Islam Bandung) ini.
Anak pun jadi terpacu perkembangan kemandiriannya, sehingga ia tumbuh menjadi anak yang lebih mandiri. Bahwa ada anak yang pemalu karena adaptasinya mungkin lambat, tentu harus diakui karena kepribadian seperti itu memang ada, bukan suatu kelainan perkembangan. Menghadapi anak seperti ini, yang diperlukan adalah dukungan dan perhatian orang tua agar anak tak sampai minder. Jangan malah mencerca, "Eh, kok, nempel terus, sih, sama Bunda? Main, dong, sama temanmu. Jangan malu-maluin gitu, ah!" Ia justru makin mengkeret dan sulit berkembang. "Ia akan mencap dirinya sendiri bahwa ia tak seperti yang diharapkan ibunya, bodoh, dan sebagainya seperti yang dibilang ibunya." Kalau sudah begitu, tak ada lagi yang bisa disalahkan kecuali ibu. Pasalnya, tutur Mien, pada masa ini memang ibulah yang lebih berperan penting dalam pendidikan anak di rumah. Jadi, jangan marah, ya, Bu.
KOMENTAR