KOK, DI "SEKOLAH" BISA "MANIS", YA?
Berperilaku manis untuk jangka waktu cukup lama seperti saat berada di Kelompok Bermain, merupakan suatu perjuangan tersendiri buat anak. Apalagi sampai dijadikan teladan bagi teman-temannya. Tak heran bila anak akan merasa aman dan "terbebas" dari kewajiban bersikap manis setibanya di rumah. Toh, Anda tak perlu cemas karena kondisi ini biasanya bukan merupakan cerminan dari ketakmampuan Anda dalam mengendalikan si kecil. Bukan pula merupakan gambaran rendahnya kontrol diri anak. Umumnya lebih merupakan kondisi peralihan yang dirasa cukup sulit buat anak, yakni perubahan tempat dan situasi dari "sekolah" ke rumah.
Situasi berstruktur di "sekolah" akan menuntut anak untuk memusatkan dan menyalurkan energinya secara positif. Sementara kembalinya anak pada situasi yang tak terlalu berstruktur di rumah dapat membuatnya "tak terkendali". Alasan lain, suasana rumah yang relatif lebih sepi dibanding "sekolah" yang ramai dan penuh kegiatan, mungkin agak mengejutkannya. Penyebab lain, umumnya anak memang akan merasa lebih aman untuk bertingkah di rumah karena ia merasa yakin dirinya akan tetap dicintai oleh orang-orang di rumah terlepas dari aapapun yang dilakukannya. Sementara di "sekolah", ia tak memperoleh kepastian akan rasa aman tersebut.
Nah, Anda seharusnya merasa "tertantang" untuk melihat situasi semacam ini secara seimbang, yakni ketika si "anak manis" sibuk memanjat atau mencoreti dinding ruang keluarga. Anjuran berikut bisa Anda coba untuk "menjinakkan" si kecil yang sangat energik sepulang sekolah.
* Tinggallah sebentar di "sekolah". Ketika Anda menjemputnya, jangan segera menarik tangannya lalu bergegas pulang. Sebaiknya minta ia menunjukkan apa yang telah diperbuatnya pada hari itu. Luangkan waktu untuk mengagumi lukisan jarinya, puzzle atau kolase yang berhasil diselelesaikannya. Bila guru tak keberatan anak tinggal lebih lama di kelas, ajak ia duduk kembali di bangkunya atau di sudut kelas lalu bacakan cerita singkat untuknya. Tindakan ini akan menjembatani jarak antara suasana "sekolah" dan rumah sekaligus memperlancar peralihan tersebut. Dalam perjalanan pulang, bicarakan juga tentang rencana Anda untuk sisa hari itu. Bila yang menjemputnya bukan Anda, mintalah si penjemput untuk melakukan rutinitas yang sama.
* Bawalah makanan kecil ketika menjemputnya. Tak jarang rasa lapar menimbulkan kerewelan pada anak. Jika sejak berangkat ia hanya sempat sarapan sekeping biskuit atau beberapa sendok nasi goreng, mungkin makanan kecil mengandung banyak protein dan padat karbohidrat dapat menenangkannya. Dengan memberinya makanan kecil selama perjalanan pulang, manfaatnya akan langsung terasa begitu ia mencapai ambang pintu rumah.
* Pertimbangkan untuk mampir ke tempat yang menyenangkan dalam perjalanan pulang. Berhenti sebentar di taman bermain, misal, agar ia dapat melepaskan energinya yang tertahan selama berada di "sekolah". Cara ini akan membantunya mengurangi kebutuhan untuk melepaskan energinya di rumah.
* Ciptakan situasi berstruktur ketika tiba di rumah dengan menyediakan kegiatan seperti di "sekolah". Ini akan membantunya kembali memasuki kehidupan di rumah. Jadi, sebelum Anda menyiapkan makan siang untuknya, cobalah duduk bersamanya dengan sebuah buku, kaset lagu-lagu kesukaannya, mainan kesayangannya, atau segala sesuatu yang memungkinkan Anda berdua menghabiskan waktu secara khusus.
LANTARAN ADA KESEPAKATAN
Tak jarang, anak yang biasanya "nakal" di rumah namun manis dan penurut kala di luar lantaran sebelumnya sudah ada kesepakatan antara anak dengan ibunya untuk tak "nakal" agar boleh ikut pergi. Ada, lo, anak yang patuh sepenuhnya dengan kesepakatan tersebut karena ia mengerti betul kalau ia berbuat yang sesuai dengan keinginan ibunya, ia akan mendapat sesuatu yang menyenangkan. Nah, Anda pun bisa menerapkan kesepakatan ini pada si kecil. Tentu dengan kata-kata sederhana sesuai daya tangkap anak. Misal, "Adek boleh ikut Bunda tapi Adek enggak boleh nangis dan minta dibelikan ini-itu."
Sampai di tempat tujuan, bisa jadi ia akan "membujuk" atau memanfaatkan Anda untuk menuruti keinginannya, "Boleh, dong, Bunda, Adek beli mobil-mobilan itu." Asalkan Anda konsisten dengan kesepakatan yang telah dibuat, si kecil akan belajar bahwa ia tak bisa seenaknya melanggar kesepakatan bersama. "Anak yang dibiasakan dengan cara seperti itu, biasanya akan tumbuh menjadi anak yang patuh," kata Mien.
Sikap lain yang banyak dicontoh anak dari ibunya adalah sabar, karena orang tua yang tak sabar umumnya cenderung memunculkan ketaksabaran dalam diri anak. "Begitu pula anak rewel yang keinginannya selalu harus dipenuhi saat itu juga, biasanya juga lantaran ibu atau ayahnya bersikap seperti itu." Secara tak langsung, sikap anak merupakan gambaran orang tuanya. Bukankah orang tua adalah model bagi anak? Nah, bagaimana orang tua bersikap sehari-hari, itulah yang dilihat anak dan dijadikan pegangan atau panutan baginya.
Julie/Th. Puspayanti
KOMENTAR