DORONGAN SEKS MUNCUL LEBIH DINI
Sikap waspada jelas dibutuhkan karena dampak PSS terhadap anak tidak bisa dianggap remeh. Dampaknya, menurut Jo, tergantung bagaimana si pelaku memperlakukan anak. Pasalnya, PSS bukan hanya dalam bentuk perkosaan, tapi juga bisa hanya berupa sentuhan-sentuhan pada organ kelamin anak dan perlakuan seksual lain yang belum selayaknya diterima anak seperti mencium bibir dan leher.
"Bahkan bisa juga si pelaku tak memperkosa anak, namun ia memasukkan benda keras dan tumpul ke dalam organ kelamin anak." Nah, bila anak mendapat perlakuan kasar dan keras, secara fisik tentulah ia mendapatkan pengalaman tak menyenangkan pada tubuhnya, terutama organ kelaminnya yang memang sangat belum matang dan bahkan belum siap. "Tentunya ia akan merasakan kesakitan, bukan hanya sakit pada organ kelaminnya, tapi juga sakit dalam arti dia bisa menjadi panas dan kejang-kejang.
Nah, itu, kan, menjadi satu titik trauma pada dirinya," tutur Jo. Ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi pada anak di masa depannya nanti. "Mungkin ia akan menjadi tegar ketika menghadapi segala macam cobaan, atau justru ia akan mengalami gangguan yang lebih parah." Sebaliknya, bila anak diperlakukan dengan "lembut" yang berarti dia mendapatkan perlakuan menyenangkan, sambung Jo, "tetap bisa berdampak negatif karena ia sudah mendapatkan perlakuan seksual yang belum selayaknya ia terima."
Artinya, ada stimulasi seksual yang sering dia terima yang membuatnya sejak kecil sudah terbiasa merasakan itu. Dengan demikian, ke depannya nanti bisa jadi dorongan seksualnya sudah muncul lebih dini, misalnya, saat kelas 3 SD sudah genit. Atau, yang lebih ekstrem, "mungkin saja kelak dia menjadi hiperseks." Tentunya frekuensi kejadian yang dialami anak juga berpengaruh terhadap berat-ringan dampaknya.
"Kalau frekuensinya sering, kan, berarti ada satu pengalaman yang diperkuat, entah pengalaman yang menyakitkan ataupun yang menyenangkan." Jadi, dampaknya akan terasa lebih kuat pada anak daripada bila frekuensinya hanya sekali dan sudah ketahuan orang tua.
UBAH PANDANGAN
Namun, apakah dalam perkembangannya ke depan nanti si Upik menjadi seperti yang telah disebutkan di atas, menurut Jo, sangat tergantung pada langkah penanganan yang dilakukan orang tua pasca kejadian. "Saat ini kita belum bisa memprediksikannya karena tergantung dari cara-cara yang dilakukan orang tua untuk mengatasi atau membantu mem-back-up anak pasca peristiwa ini," kata anggota tim PKPM (Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat) Atma Jaya dalam program pencegahan dan pelayanan kesehatan untuk anak yang dilacurkan ini.
Bila orang tua masih berpandangan bahwa orang yang diperkosa itu berarti sudah tak perawan lagi, menjadi aib keluarga, dan "kerugian-kerugian" lainnya sebagaimana yang terjadi pada budaya kita, maka akan memperburuk situasi si anak. "Soalnya, dengan orang tua mempunyai nilai-nilai demikian, otomatis akan memperlakukan anaknya demikian pula. Misalnya, 'Kamu harus hati-hati karena kamu sudah enggak perawan lagi.' Ini, kan, sangat tak mendukung," tutur Jo.
Lain hal bila orang tua berpandangan bahwa ini sesuatu yang sudah terjadi, sekarang bagaimana anakku ini dapat diselamatkan agar ketika dewasa nanti tak ada masalah-masalah kejiwaan yang dialaminya. Nah, bila demikian, langkah pertama yang dianjurkan Jo, "ayah dan ibu harus benar-benar saling mendukung untuk menghadapi masalah ini sebagai masalah keluarga." Selanjutnya, bangunlah kehidupan dengan cara pandang yang baru bahwa anak ini bisa punya kemampuan untuk tumbuh dan berkembang seperti anak lain.
"Jadi, pandangannya diubah, bukan sebagai korban tapi lebih melihat, oh, dia masih muda, masih bisa bertumbuh seperti anak lain sehingga bagaimana aku memperlakukan dia akan berpengaruh." Dengan demikian, segala hal diusahakan untuk menstimulasi atau merangsang si anak akan tumbuh dan berkembang seperti apa adanya, seperti seolah tak terjadi apa-apa. Jadi, Bu-Pak, kata-kata seperti, "Kamu sudah diperkosa" atau "Anak kita sudah enggak perawan lagi" harus dibuang jauh-jauh.
Sekalipun di usia ini si Upik masih belum mengerti, namun apa yang diungkapkan orang tua bisa tertancap di hatinya. Bukankah anak, sekecil apa pun usianya, sudah bisa menangkap keresahan-keresahan orang tuanya? Nah, bila simbol-simbol keresahan atau kecemasan orang tua ini sampai ditangkap oleh si Upik, maka akan mempengaruhi perkembangannya ke depan nanti. Dia bisa jadi enggak survive, lo.
Tentunya, diharapkan lingkungan sekitar anak juga akan bersikap yang sama. Artinya, jangan sampai ungkapan simpati dan belas kasihan dari masyarakat sampai ditangkap oleh anak. "Sebaiknya ungkapan simpati diberikan kala anak sedang tak ada atau bukan di depan anak," ujar Jo. Untuk itu, orang tua hendaknya cukup bijaksana agar tak melibatkan anak dulu ketika ada tamu.
"Memang, dalam keadaan emosional, secara instingtif ada dorongan dari orang tua untuk menunjukkan, 'Ini, lo, anakku; kasihan, kan,' namun sebaiknya orang tua bisa menahan diri," lanjutnya. Di samping itu, faktor kematangan atau internal dari diri si anak juga berpengaruh karena setiap anak punya daya pribadi; apakah dia orang yang rentan secara kepribadian atau justru tegar.
Menurut Jo, "bila sejak kecil ia merupakan orang yang tersia-sia, lemah kasih sayang, berarti fondasi dasar kehidupannya sendiri, kan, enggak kuat dan itu akan mempengaruhi bagaimana dia selanjutnya dalam merespon lingkungan." Sebaliknya, ada orang yang fondasi dasar kehidupannya sudah kuat karena terbentuk dari attachment orang tuanya, mendapatkan pengalaman-pengalaman yang hangat dalam keluarga, tak ada pengalaman traumatik, kekerasan, dan sebagainya, sehingga ia pun terbentuk menjadi pribadi yang kuat. Jadi, Bu-Pak, kembali lagi bahwa peran kita memang sangat penting dalam menentukan langkah-langkah penanganan yang tepat bagi si Upik yang mengalami PSS. Tentunya juga dalam upaya mencegah terjadinya tindak PSS tersebut.
Julie Erikania
KOMENTAR