Hati-hati, Bu-Pak, jika testis si Buyung tidak turun. Bahayanya tidak sedikit, lo. Bagaimana kita bisa mendeteksinya ?
"Saya baru menyadari adanya kelainan pada anak saya ketika ia berumur 2 tahun. Saya perhatikan, kok, kedua testisnya tidak turun. Jadi, yang terlihat hanya penisnya saja. Saya sudah berkonsultasi dengan beberapa dokter anak, mereka rata-rata menyarankan untuk segera dilakukan tindakan operasi. Tidak adakah cara lain untuk menyembuhkannya? Apa dampaknya jika keadaaan ini dibiarkan? Jika ini tergolong kelainan, mengapa anak saya tidak pernah mengeluh apa-apa, seperti kesakitan atau lainnya?" Itulah pertanyaan bertubi-tubi dari Ibu Dinda di ruang konsultasi dokter anak.
Kelainan yang dialami anak Ibu Dinda, terang dr. Aman B. Pulungan, Sp.A disebut kriptorkismus atau testis tidak turun. Dalam keadaan normal seharusnya pada bayi laki-laki yang baru lahir akan teraba dua buah testis di kantong kemaluan. Nah, karena suatu sebab, testis ini tidak bisa turun. Kepanikan Ibu Dinda wajar saja terjadi, karena kelainan ini bisa mengakibatkan kemandulan.
TURUN KE SKORTUM
Mengapa kelainan testis ini berkaitan dengan fertilitas? Hal ini karena testis merupakan kelenjar berbentuk telur yang menghasilkan spermatozoa. Testis tumbuh dan membesar di dalam perut, dekat ginjal. "Normalnya, sesaat sebelum bayi lahir, testis akan turun ke skrotum atau kantung buah zakar," ujar Aman dari RSIA Hermina Jatinegara, Jakarta Timur. Mengapa testis harus turun ke dalam kantung buah zakar dan apa akibatnya jika tidak turun?
Yang pertama, testis yang tidak turun akan mengakibatkan gangguan fertilitas. Penelitian menunjukkan, jika hanya satu testis yang tidak turun, maka tingkat fertilitas seseorang akan menjadi 80 persen. "Kalau dua-duanya tidak turun, maka tingkat fertilitasnya hanya 50 persen." Yang kedua, bila testis tidak turun berisiko dengan berkembang menjadi sel ganas (tumor testis). "Karena, normalnya ia harus turun di dalam kantung buah zakar, maka bila testis tumbuh di tempat lain akan bisa berkembang menjadi sel ganas."
Selain itu, meski hanya satu testis yang tidak turun, keadaan ini bisa mempengaruhi testis normal yang berada di skrotum. Misalnya, salah satu testis tumbuh dalam perut dan tidak turun ke skrotum, sementara yang satunya normal dan turun ke kantung buah zakar. "Testis yang tumbuh di dalam perut bisa berkembang menjadi sel ganas dan mempengaruhi testis satunya yang turun normal ke skrotum. Akibatnya, testis yang normal akan ikut menjadi rusak dan bisa juga terkena risiko kanker," ujar Aman. Akibat ketiga, berisiko terjadi hernia. Yang keempat, karena suhu di dalam perut lebih tinggi dari suhu di kantong kemaluan, maka pembentukan sperma akan terganggu.
Nah, bahanyanya jika testis tetap berada di dalam perut sampai berusia 12 tahun, maka anak akan tidak bisa memproduksi sperma seterusnya (steril). Akibat lain, dampak psikososial yang bisa dialami anak. Anak yang testisnya tidak turun bisa menjadi minder. "Kalau ia sudah agak besar dan mengerti, ia akan bertanya-tanya, 'Orang lain punya testis, kok, saya nggak, sih?' Semakin besar anak juga akan semakin tahu fungsi testis. Akibatnya ia akan menjadi minder."
Dengan adanya risiko-risiko semacam itu, orang tua memang harus waspada dan sedini mungkin mengetahui apakah si buyung mengalami kelainan ini atau tidak. Apalagi, penelitian menunjukkan sekitar 3 persen bayi yang lahir normal akan mengalami testis tidak turun. Pada bayi prematur, kemungkinannya lebih tinggi, bisa 20 sampai 30 persen. Misalnya, bayi yang lahir prematur pada usia 7 bulan. "Logikanya, di usia kehamilan 7 bulan memang belum waktunya testis turun, sehingga wajar kalau persentasinya lebih tinggi," ujar Aman.
TANPA KELUHAN DAN RASA SAKIT
Lantas, apa yang menjadi penyebab testis tidak turun? Sayangnya, sampai saat ini tak pernah bisa diketahui secara pasti. Tapi, sampai saat ini diduga ada 2 penyebab utama, yakni karena kekurangan hormon dan ada semacam fiber/serat yang menghambat turunnya testis. Testis yang seharusnya mulai turun ke kantung buah zakar pada saat janin berusia 7 bulan, bila ternyata tidak turun setelah bayi lahir, maka masih bisa ditunggu sampai bayi berusia 9 bulan. Sebagian besar, sekitar 75 persen bayi cukup bulan dan 90 persen bayi kurang bulan dengan kriptorkismus akan sembuh sendiri.
"Secara fisiologis, testis masih bisa turun dengan sendirinya sampai bayi berusia 9 bulan. Biasanya akan diobservasi saat anak berusia 3 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan, apakah testisnya sudah turun. Kalau sampai berusia 9 bulan testis tidak turun, biasanya tidak akan turun lagi dan harus diobati," jelas Aman.
Gejalanya sendiri memang tidak mudah dideteksi. "Anak tidak merasa sakit dan tidak ada keluhan apa-apa. Jadi memang susah untuk mendeteksinya. Apalagi mengharapkan anak yang melaporkan ada 'sesuatu'." Karenanya, biasanya setelah bayi laki-laki lahir, dokter harus memastikan apakah testisnya sudah turun. "Ini harus dipastikan dan harus memberi tahu orang tua anak.
Kalau ternyata testis belum turun, dokter juga sebaiknya memberi tahu bahwa masih mungkin turun sampai anak berusia 9 bulan." Orang tua pun bisa mencurigai keadaan testis anaknya, apakah sudah atau belum turun. "Dikatakan belum turun, misalnya, kalau skrotumnya tampak rata. Harusnya, kan, ada seperti tonjolan, meski testis anak belum turun seperti pada orang dewasa. Nah, kalau kelihatan memang kecil atau rata, sebaiknya curiga jangan-jangan testisnya tidak turun."
TESTIS NAIK TURUN
Pada kriptorkimus, yang juga harus diperhatikan jika hanya satu testis yang turun. Hal ini bisa mengakibatkan dua kemungkinan. Pertama, memang cuma satu testis saja yang turun (unilateral). "Tapi bisa juga dua-duanya memang tidak turun atau bilateral," ujar Aman. Tapi, kalau dua-duanya tidak turun, lewat pemeriksaan harus dipastikan dulu bahwa testisnya ada, baru kemudian bisa ditunggu sampai anak berusia 9 bulan. Pemeriksaan bisa dilakukan dengan USG atau CT-Scan oleh operator yang berpengalaman.
"Karena kadang-kadang lokasinya tidak diketahui, bisa di perut, di pangkal paha, dan sebagainya. Karena itulah, kadang-kadang lewat USG dan CT-Scan pun tak terdeteksi." Jika lewat USG dan CT-Scan tetap tak terdeteksi, maka biasanya dilakukan pemeriksaan lain dengan tes HCG. "Prinsipnya dengan menyuntikkan hormon tiga hari berturut-turut. Baru pada hari keempat diperiksa testosteronnya. Kalau ada peningkatan, berati testisnya ada. Jadi, kalau uji HCG positif, berarti testisnya ada," ujar Aman.
Yang penting lagi memastikan tidak ada kelainan yang menyertai kriptorkismus, misalnya, penis kecil (micro penis). "Karena bisa terjadi anak ternyata mengalami kelainan lain, seperti kelamin meragukan (ambigous genital). Dalam hal ini mungkin bukan testisnya yang bermasalah. Setelah pasti penis dan kantung buah zakarnya bagus, baru dilihat testisnya ada atau tidak," ujar Aman.
Tapi, kadang-kadang terjadi keadaan dimana testis naik turun. Keadaan ini disebut retraktil dan terjadi karena adanya reflek kremaster yang berlebihan pada testis. "Misalnya, testis tersentuh atau karena udara dingin, sehingga kadang-kadang testis 'hilang'." Reflek ini biasanya mulai muncul setelah anak berusia di atas 3 bulan. "Enggak apa-apa, kok. dan wajar, karena biasanya testis akan turun dengan sendirinya setelah pubertas. Yang jelas, orang tua sebaiknya yakin dulu bahwa anaknya memiliki testis," tandas Aman.
SEGERA DITANGANI
Yang jelas, Bu-Pak, penanganan kelainan testis jenis ini sangat tergantung penyebabnya. Kalau penyebabnya karena kekurangan hormon, maka anak akan diberikan suntikan hormon pada usia 9 bulan sampai 2 tahun. Sayangnya, tukas Aman, "angka keberhasilannya cuma 25-50 persen, tergantung lokasinya dimana." Suntikan hormon ini diberikan sebanyak 10 kali dalam 5 minggu.
"Kita lihat, kalau masih belum turun, kadang-kadang pemberiannya diulang." Kalau lewat pemberian hormon, testis belum juga mau turun sampai anak berusia 2 tahun, maka penanganannya tiada lain dengan cara operasi. Operasi pun akan dilakukan bila penyebabnya adalah adanya serat/fiber yang menghambat turunnya testis. "Karena penyebab pastinya memang susah diketahui, sebaiknya memang dilakukan pengobatan dengan pemberian hormon terlebih dulu. Hasilnya pun akan lebih bagus kalau sebelumnya sudah diberikan hormon," lanjut Aman.
Tapi, tak perlu khawatir, kok, Bu-Pak, toh, jenis operasinya termasuk operasi kecil. Bahkan di luar negeri operasi menurunkan testis termasuk one day care. Setelah operasi, anak bisa langsung pulang. Dulu, untuk operasi memang masih harus ditunggu sampai anak berusia 5 tahun. "Tapi sekarang hanya ditunggu sampai anak berusia 2 tahun, karena semakin lama penundaannya, risikonya akan bertambah besar. Testis akan bertambah rusak dan bisa mengecil kalau tidak tumbuh di tempatnya dalam waktu lama," lanjutnya.
Nah, Bu-Pak, mengingat risiko yang ditimbulkan, sebaiknya segera periksa si buyung punya testis atau tidak, sudah turun atau belum? Jika belum yakin, pastikan dilakukan pemeriksaan oleh dokter agar segera memperoleh penanganan lebih lanjut bila ditemukan kelainan. "Prinsip kami, sebelum pubertas secepatnya harus ditangani. Banyak orang tua beranggapan anaknya tidak apa-apa, karena memang anak tidak merasakan sakit dan tidak mengeluh. Akhirnya, orang tua pun merasa enggak ada masalah." Tentu ini sikap yang salah, ya, karena bagaimana kita bisa mengharapkan si buyung yang masih balita mengerti tentang kelainannya. Jadi, tugas kitalah untuk mendeteksinya. Setuju, kan?
Hasto Prianggoro
KOMENTAR