Sebagaimana ayah menjadi figur buat anak lelakinya, maka ibu menjadi figur bagi anak perempuannya di usia ini. Ibu pun perlu kerja keras untuk menjadi model bagi si Upik.
"Ah, kalau judesnya, enggak meniru saya, lo. Tapi kalau cerewetnya, memang, iya, meniru saya." Sering, kan, ibu-ibu mengatakan hal semacam itu kala anak perempuannya menunjukkan perilaku yang sama ataupun berbeda dengan dirinya.
Di usia ini, baik si Upik maupun Buyung memang tengah getol-getolnya mengidentifikasi figur orang tuanya; si Upik pada ibunya dan si Buyung pada ayahnya. "Walaupun sebenarnya di atas usia tersebut identifikasi masih tetap berlangsung, bahkan hingga remaja sekalipun," terang psikolog Lidia. L. Hidajat, MPH dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta.
HAL-HAL FEMININ
Identifikasi anak perempuan pada ibu biasanya yang menyangkut hal-hal feminin. Misalnya, dandan seperti ibu; di depan cermin pakai lipstik. "Kalau kita perhatikan, ia akan lakukan persis seperti apa yang ibunya lakukan. Jika ibunya miring ke kanan saat memakai lipstik, ia pun akan memiringkan kepala seperti itu pula," tutur Lidia. Namun si Upik tak akan meniru semua perilaku ibunya, hanya yang paling dominan saja.
Selain identifikasi fisik, si Upik juga mengidentifikasikan nilai-nilai. Tentu yang diserapnya juga nilai-nilai feminin semisal cara menghadapi orang lain, masalah caring, giving, peduli sama orang lain, masalah keadilan dalam bentuk sederhana, dan masalah sifat yang khas wanita lainnya. Meskipun kadang, ujar Lidia, nilai-nilai tersebut didapat bukan dari ibunya saja. "Bisa juga didapat dari guru 'sekolah' mengajinya, dan sebagainya." Tapi karena interaksi dengan ibu yang lebih intens, umumnya nilai-nilai dari sang ibulah yang lebih dominan diserap anak.
Kendati demikian, si Upik tak hanya beridentifikasi dengan ibu semata. Dari bapak pun tak sedikit yang diserap olehnya. "Biasanya kalau dari bapak lebih pada masalah dorongan, tantangan, problem solving yang sifatnya khas lelaki," tutur Lidia. Jadi, keduanya akan diserap oleh anak perempuan; unsur-unsur kewanitaan didapat dari ibu, sedangkan unsur-unsur keperkasaan dari ayah. Namun perpaduan identifikasi ini baru kelihatan setelah si Upik besar.
BERBAGAI FIGUR
Disamping ayah dan ibu, lanjut Lidia, si Upik juga bisa beridentifikasi pada figur-figur lainnya yang melekat dengan dia sehari-harinya. Jadi, si Upik bisa beridentifikasi dengan neneknya, tantenya, gurunya, atau malah pengasuhnya. Identifikasi dengan berbagai figur ini bisa dalam waktu bersamaan diserap oleh anak, namun biasanya ada salah satu yang lebih dominan. Tentang mana yang bisa lebih dominan, tergantung intensitasnya. Misalnya, seorang ibu yang tak memaksakan diri jadi tokoh identifikasi, tapi karena kedekatannya sangat intens dengan sang anak, maka akan lebih merasuk ketimbang tokoh idolanya walaupun sang tokoh lebih ingar-bingar.
"Jadi, walau ibu tak secara sengaja menjadikan dirinya tokoh identifikasi buat anak, namun tetap saja sedikit-banyak ada sesuatu dari ibu yang akan diserap oleh anak," tutur Lidia. Hal ini akan terlihat setelah si anak besar. Misalnya, gaya bicara atau marah si Upik persis sama dengan ibunya. Dengan demikian bisa dikatakan, peran ibu ke anaknya tak semudah itu terhapuskan. "Lain halnya jika ibu super sibuk sehingga anak akan lebih teridentifikasi ke tantenya atau pengasuhnya yang tinggal serumah dengannya."
Itulah mengapa, Lidia mengingatkan, ibu seyogyanya memberikan contoh yang baik. Bila ibu kurang mampu dalam menanamkan hal-hal baik, berarti ibu kurang mampu menjadikan dirinya sebagai panutan; sementara, identifikasi tetap berjalan sehingga akan tetap ada hal-hal yang terserap pada anak sekalipun itu sesuatu yang jelek. Celaka, kan? Memang, aku Lidia, anak usia 3-5 tahun masih bisa diperbaiki asalkan ia dialihkan ke lingkungan yang baik. Tapi tentu dengan catatan, orang tua segera bisa menyadari kesalahannya. Kalau tidak, ya, sulit. Bukankah sudah menjadi hukum alam, semakin lama sesuatu itu rusak akan semakin susah pula memperbaikinya?
IDENTIFIKASI SESAAT
Yang tak boleh dilupakan adalah tokoh idola dari film-film yang ditonton si Upik karena ia pun bisa menyerapnya dari mereka. Namun identifikasi semacam ini, menurut Lidia, sifatnya sesaat, yaitu yang mewarnai tingkah lakunya dalam jangka waktu pendek. "Berbeda dengan identifikasi pada ibu, biasanya bersifat jangka panjang."
Jadi, Bu, tak usah khawatir bila si Upik tengah gandrung-gandrungnya pada Saras OO8 sampai segala tingkah lakunya meniru sang tokoh, misalnya. Toh, pada tokoh-tokoh ini yang terjadi adalah peniruan sesaat, sedangkan identifikasi yang diambil dari ibu akan terus melekat pada diri si Upik sampai ia dewasa. Itulah mengapa, identifikasi pada sang tokoh lebih banyak ke peniruan fisik, sedang identifikasi pada ibu ke karakter atau hal-hal yang lebih bernilai dan berkaitan dengan moralistik.
Kendati demikian, tak berarti ibu boleh tenang-tenang saja karena si Upik bukan hanya akan menyerap hal-hal bagus tapi juga jeleknya. "Sering, kan, kita dibuat terkejut ketika anak tiba-tiba berteriak latah. Mana latahnya dengan menggunakan kata-kata jorok segala," ujar Lidia. Untuk itu orang tua harus segera turun tangan, "Eh, Kakak ngomong begitu siapa yang mengajari? Tak boleh begitu, ya. Itu tidak sopan."
Dengan kata lain, ibu harus benar-benar berfungsi sebagai pelurus jalan anak. Disamping, lanjut Lidia, "anak juga diusahakan untuk diminimalkan dari pengaruh luar yang memberi dampak buruk tersebut." Misalnya, dengan mendampingi si Upik saat ia menonton tokoh idolanya beraksi di layar kaca.
Atau, bila si Upik menyerap nilai-nilai buruk dari teman-temannya, cari tahu siapa orangnya, lalu minta pengasuhnya untuk tak mengajak si Upik sering-sering main dengan temannya tersebut karena si teman suka mengajarkan hal-hal yang jelek. Dalam kaitan ini, Lidia tak keberatan jika ibu hendak menerapkan punishment dan rewards buat anak. Jadi, bila si Upik tak meniru hal-hal yang buruk lagi, berikanlah rewards.
Sebaliknya, bila ia masih meniru hal-hal buruk tersebut, berilah punishment dalam bentuk menghilangkan atau menunda sesuatu yang berarti buatnya. "Kalau ia suka main boneka, misalnya, laranglah ia main boneka disertai penjelasan kenapa ia dilarang." Lidia yakin, dengan banyak pendampingan dan menerapkan punishment serta rewards, biasanya pengaruh buruk tersebut akan segera teratasi. Apalagi, identifikasi semacam ini tak berlangsung lama karena lebih banyak sebagai peniruan.
TITIP NILAI-NILAI KEPADA PENGASUH
Nah, Bu, sudah lebih paham, kan, betapa penting peran kita dalam proses identifikasi ini. Tapi jangan salah, lo, si Upik tak akan begitu saja beridentifikasi pada ibu apabila ibu tak memiliki kedekatan yang intens dengannya. Pasalnya, terang Lidia, identifikasi diperoleh dari hal rutin yang dekat dengan keseharian anak. Jadi, bila ibu tak banyak terlibat dengan si Upik, bisa-bisa peran ibu dalam memberikan figur buatnya akan tergeser oleh orang lain yang lebih terlibat dengannya; entah tantenya, neneknya, atau justru pengasuhnya.
Nah, bila ibu tak ingin hal demikian terjadi, maka ibu harus secara intens terlibat dengan si Upik. Jika ibu bekerja, berarti ibu harus meningkatkan kualitas pertemuan dengan si Upik karena tak mungkin bisa selalu berada bersamanya. Selain itu, anjur Lidia, "carilah pengasuh yang bisa sejalan dengan konsep ibu karena akan lebih safe bila yang dipasrahi anak kita adalah seseorang yang tak bertentangan dengan kita."
Dengan demikian, nilai-nilai kita akan tetap tertanam pada anak. Sayangnya, tak mudah menemukan orang yang benar-benar bisa sejalan dengan kita. Bila demikian, kita bisa menitipkan pada si pengasuh atau pembantu yang sehari-hari mengurus si Upik agar mengajarkan nilai-nilai yang hendak kita tanamkan. "Jadi, ibu tak lepas begitu saja." Walaupun tetap saja ada hal-hal dari pengasuhnya yang akan terserap juga oleh si Upik karena, bagaimanapun memang tak akan bisa 100 persen; pasti akan tetap ada bolong-bolong sedikit. Tapi, seperti sudah disinggung di atas, selama ibu tetap bisa menjadikan dirinya sebagai figur buat si Upik, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan. Nilai-nilai yang lebih internal tetap saja akan ditiru si Upik dari kita, ibunya. Iya, kan?
Indah Mulatsih
KOMENTAR