"Orang tua harus tetap memonitor dan melihat perkembangan bayinya," tukas Betty. Artinya, jangan babysitter saja yang terlatih untuk menstimulasi anak. Nanti malah yang terjadi, anak akan lengket dengan babysitter dan rewel bila bersama orang tua. Hal ini terjadi karena orang tua tak mencoba untuk ikut serta pada program tersebut. Apalagi, lanjut Betty, stimulasi yang diperlukan pun sebenarnya tak perlu yang rumit-rumit.
"Cukup dengan memberikan komunikasi yang lebih baik, serta memberikan anak kebebasan berpendapat, tanpa melupakan tugas perkembangan fisiknya." Tak sulit, kan, Bu-Pak! Memang, diakui Betty, kendala orang tua zaman sekarang adalah masalah waktu yang terbatas. Pada jam-jam produktif saat anak bangun, orang tua sedang berada di tempat lain untuk bekerja. Sementara waktu orang tua pulang kantor, anak pun sudah tidur.
"Tapi bukan berarti enggak ada solusinya, lo," tukasnya seraya melanjutkan, "Bila kuantitas memang tak dapat dipenuhi, maka kita harus memberikan kualitas yang baik." Walaupun antara kuantitas dan kualitas sebenarnya sama-sama diperlukan, namun menurut Betty, dengan kualitas setidaknya orang tua ada perhatian. "Bukan hanya lewat kata-kata, tapi juga dengan bahasa non verbal."
Misalnya, kala pulang kerja, biasanya orang tua, kan, kecapekan. Kalau sudah begitu, biasanya jadi malas ngomong, kan? Nah, kalau memang malas ngomong, kan, bisa dilakukan dengan bahasa tubuh seperti memeluk dan mencium bayi sebentar, lalu katakan, "Bunda tukar baju dulu, ya." Dengan begitu, anak tahu bahwa orang tuanya tetap ada perhatian. Tapi karena lelah, sehingga perlu istirahat sebentar. Selanjutnya, orang tua harus beraktivitas bersama dengan bayi. Membaca buku bersama, misalnya. Katakan, "Nak, sama-sama kita baca buku, yuk?" . Walaupun si bayi belum bisa membaca, tak masalah. Toh, yang terpenting baginya adalah dia bisa dekat dengan orang yang disayanginya. Hanya berdampingan dengan orang tua saja, anak sudah senang, kok.
TEMPAT PENITIPAN ANAK
Berbeda dengan "sekolah", keberadaan daycare atau TPA (Tempat Penitipan Anak) menurut Betty, justru bisa memberi manfaat bagi bayi dan orang tua. "Sebenarnya fungsi TPA tak begitu jauh dengan 'sekolah', yaitu sebagai tempat untuk belajar bersosialisasi dan norma-norma," terangnya. Bedanya, "sekolah" memiliki kurikulum, metode pengajaran, tujuan instruksional khusus, serta tujuan instruksional umum yang harus dicapai. Dengan demikian, bayi akan terlalu dipaksakan jika masuk ke lembaga ini.
"Namun kalau TPA, saya rasa kita tak dapat memungkiri keberadaannya dan kebutuhannya. Terlebih lagi, sekarang banyak kaum ibu yang bekerja pula. Jadi, dengan adanya TPA ini sangat menolong, kita bisa menitipkan anak untuk sementara waktu." Tentunya, sepulang dari TPA, si kecil tetap harus mendapat perhatian orang tua. "Bila sampai di rumah, orang tua acuh tak acuh saja, ya, anak akan jadi bermasalah. Ia bisa jadi pelamun, cengeng, atau frustrasi," tutur Betty. Tapi jangan lupa, lo, Pak-Bu, untuk melakukan observasi lebih dulu sebelum menitipkan si kecil ke suatu TPA.
Walaupun hanya TPA, kita tetap perlu tahu program yang dimiliki TPA tersebut. Dengan demikian, kita dapat melihat apa yang akan diberikan, diharapkan, dan tujuan dari TPA tersebut. Sebelumnya, Bapak dan Ibu juga harus mengetahui dengan pasti perkembangan yang akan dilalui anak. Misalnya, pertumbuhan fisik merupakan hal penting di usia bayi. Nah, sebisa mungkin carilah program yang mendukung perkembangan ini. "Jangan malah pilih TPA yang hanya menyajikan program menyanyi saja, misalnya. Anak seusia 0 sampai 1 tahun, kan, membutuhkan dari bernyanyi hingga mengenal warna dan bentuk," kata Betty.
Disamping program, Bapak dan Ibu juga harus melihat bagaimana tenaga pengajar di TPA tersebut. Saran Betty, pilih tenaga pengajar yang sesuai untuk bayi, yaitu yang bisa memberikan kasih sayang, rasa aman, serta melindungi pada anak. "Ia juga harus mempunyai jiwa mau berbagi dan mau mendengar aktif karena anak, kan, juga belajar dari pengajar; belajar bertingkah laku dari lingkungannya. Bila dilihat di lingkungannya banyak yang selalu tertawa, maka kemungkinan besar anak itu menjadi anak yang sumeh." Tapi kalau di lingkungannya suka marah-marah terus, maka ia pun akan mencontohnya. Bisa-bisa si kecil kelak jadi anak yang pemarah. Wah, dia bisa dijauhi teman-temannya, lo. Kasihan, kan!
Faras Handayani
KOMENTAR