Stimulasi sejak dini memang diperlukan, tapi bukan berarti bayi harus masuk ke "sekolah". Kasihan, lo, karena "sekolah" terlalu berat baginya.
"Ih, serem, ya, bila membayangkan persaingan yang ketat di era globalisasi nanti. Bayangin, anak-anak kita bukan hanya harus bertarung dengan sebangsanya saja, tapi juga dari berbagai bangsa. Jadi bila enggak disiapkan sedini mungkin, takutnya nanti dia malah ketinggalan dari teman-temannya," tutur Ny. Hanna memberikan alasan mengapa bayinya yang masih berusia 6 bulan di"sekolah"kan.
Kekhawatiran seperti yang dimiliki Ny. Hanna memang dapat dimaklumi karena dalam menghadapi era sekarang, persaingan jelas makin besar ketimbang tahun-tahun zaman Bapak dan Ibu selagi muda dulu. Jadi, tak ada salahnya bila anak disiapkan sejak dini. Apalagi, kata Masaru Ibuka, pengarang buku Kindegarten is too late, pendidikan sangat dini tak akan membuat anak normal menjadi genius, tapi dapat membuat anak jadi lebih sehat. Maksudnya, sehat jasmani maupun mental, serta menjadi lebih cerdas dan berbudaya. "Tapi, bukan berarti sejak bayi juga perlu di'sekolah'kan, lo," ujar dra. Betty DK.
Zakianto, Msi.. Kalau bayi sampai di"sekolah"kan, menurut dosen pada jurusan Psikologi Pendidikan, Fakultas Psikologi UI ini, tampaknya lebih pada kekhawatiran orang tua saja. "Memang, sebagai manusia yang hidup di negara berkembang, bisa saja kita khawatir kalau-kalau kita belum siap menghadapi era globalisasi. Namun bukan berarti si bayi pun harus sudah dimasukkan ke 'sekolah'. Kasihan, kan," tuturnya.
TERLALU BERAT
Menurut Betty, semua stimulasi sebenarnya bisa dilakukan di rumah oleh orang tua, tak perlu harus di "sekolah". Jadi, Bapak dan Ibu juga bisa, kok, bila mau mengenalkan konsep matematika pada si kecil yang berusia 6 atau 8 bulan, misalnya. Caranya, bisa dengan permainan yang pas untuk usia tersebut. Entah dengan cara menyusun balok, puzzle sederhana, ataupun mainan cincin.
"Dengan menstimulasi bayi untuk memasukkan cincin dari yang berukuran besar ke kecil, misalnya, ia akan belajar konsep besar dan kecil. Jadi, tanpa melalui suatu lembaga resmi pun, stimulasi di rumah tetap bisa berjalan efektif." Alasan lain yang dikemukakan Betty, "masuk 'sekolah' terlalu berat bagi bayi karena kesiapannya untuk belajar masih lambat dan untuk memahami sesuatu pun belum cepat." Nah, bila di "sekolah", bayi mendapat ilmu pengetahuan atau suatu pemahaman, ia tentu belum dapat melakukannya karena proses pemahaman atau kemampuan belajarnya belum terbentuk dengan baik. Jadi, walaupun mungkin tak akan sia-sia jika bayi di"sekolah"kan, namun Bapak-Ibu jangan terlalu berharap si kecil akan mendapat sesuatu.
Disamping itu, perkembangan pada masa bayi juga berbeda. Bayi usia 2 atau 3 bulan, misalnya, perbedaannya tampak sekali, lo. Lain halnya pada anak usia sekolah, misalnya, 6 atau 7 tahun, hampir tak dijumpai perbedaan perkembangan. Di bawah usia setahun, terang Betty, setiap tahap usia punya keunikan masing-masing. "Bayi yang berusia 5 bulan lewat seminggu akan berbeda, lo, dengan yang usia 5 bulan pas. Jadi, apa mungkin bayi diberikan stimulasi yang sama?" Belum lagi frekuensi masuk ke "sekolah"nya juga jarang. Umumnya, hanya seminggu sekali dan setiap kali kehadiran hanya satu jam. "Itu, kan, sama saja enggak efektif," tukas Betty.
Pasalnya, menstimulasi dini atau memberikan suatu program bagi anak akan berjalan baik bila program itu diberikan secara terus-menerus. Terlebih lagi bila program ini hanya dilakukan kala di "sekolah" saja dan di rumah tak diulang kembali, ya, berarti sia-sia saja. Hal ini, terang Betty, hampir sama dengan pengajaran bahasa Inggris. "Banyak orang bertanya kepada saya, perlu enggak, sih, bahasa Inggris diajarkan sejak dini. Saya katakan, boleh saja dan itu baik sekali karena anak lafalnya masih bagus untuk mengenal bahasa kedua.
Namun, mengenai efektif tidaknya, ya, itu terserah penerapannya. Kalau anak di rumah pakai bahasa Indonesia atau bahasa Jawa terus, maka pengajaran bahasa Inggris itu akan sia-sia juga," tuturnya. Jadi, Bu-Pak, bila memang tak efektif, mengapa pula si kecil harus di"sekolah"kan?
SEKOLAH BAGI PENGASUHAN
Lain cerita bila "sekolah" tersebut diciptakan sebagai wadah bagi orang tua atau pengasuh untuk belajar karena mereka akan memperoleh pelajaran mengenai, misalnya, bagaimana menghadapi bayi usia 6 bulan. Bila demikian, Betty juga setuju. "Kalau 'sekolah'nya diperuntukkan bagi babysitter atau pengasuh bayi, ya, boleh-boleh saja karena ini, kan, semacam pendelegasian dari orang tua," katanya. Tapi, bukan berarti Bapak-Ibu lantas lepas tangan, lo.
"Orang tua harus tetap memonitor dan melihat perkembangan bayinya," tukas Betty. Artinya, jangan babysitter saja yang terlatih untuk menstimulasi anak. Nanti malah yang terjadi, anak akan lengket dengan babysitter dan rewel bila bersama orang tua. Hal ini terjadi karena orang tua tak mencoba untuk ikut serta pada program tersebut. Apalagi, lanjut Betty, stimulasi yang diperlukan pun sebenarnya tak perlu yang rumit-rumit.
"Cukup dengan memberikan komunikasi yang lebih baik, serta memberikan anak kebebasan berpendapat, tanpa melupakan tugas perkembangan fisiknya." Tak sulit, kan, Bu-Pak! Memang, diakui Betty, kendala orang tua zaman sekarang adalah masalah waktu yang terbatas. Pada jam-jam produktif saat anak bangun, orang tua sedang berada di tempat lain untuk bekerja. Sementara waktu orang tua pulang kantor, anak pun sudah tidur.
"Tapi bukan berarti enggak ada solusinya, lo," tukasnya seraya melanjutkan, "Bila kuantitas memang tak dapat dipenuhi, maka kita harus memberikan kualitas yang baik." Walaupun antara kuantitas dan kualitas sebenarnya sama-sama diperlukan, namun menurut Betty, dengan kualitas setidaknya orang tua ada perhatian. "Bukan hanya lewat kata-kata, tapi juga dengan bahasa non verbal."
Misalnya, kala pulang kerja, biasanya orang tua, kan, kecapekan. Kalau sudah begitu, biasanya jadi malas ngomong, kan? Nah, kalau memang malas ngomong, kan, bisa dilakukan dengan bahasa tubuh seperti memeluk dan mencium bayi sebentar, lalu katakan, "Bunda tukar baju dulu, ya." Dengan begitu, anak tahu bahwa orang tuanya tetap ada perhatian. Tapi karena lelah, sehingga perlu istirahat sebentar. Selanjutnya, orang tua harus beraktivitas bersama dengan bayi. Membaca buku bersama, misalnya. Katakan, "Nak, sama-sama kita baca buku, yuk?" . Walaupun si bayi belum bisa membaca, tak masalah. Toh, yang terpenting baginya adalah dia bisa dekat dengan orang yang disayanginya. Hanya berdampingan dengan orang tua saja, anak sudah senang, kok.
TEMPAT PENITIPAN ANAK
Berbeda dengan "sekolah", keberadaan daycare atau TPA (Tempat Penitipan Anak) menurut Betty, justru bisa memberi manfaat bagi bayi dan orang tua. "Sebenarnya fungsi TPA tak begitu jauh dengan 'sekolah', yaitu sebagai tempat untuk belajar bersosialisasi dan norma-norma," terangnya. Bedanya, "sekolah" memiliki kurikulum, metode pengajaran, tujuan instruksional khusus, serta tujuan instruksional umum yang harus dicapai. Dengan demikian, bayi akan terlalu dipaksakan jika masuk ke lembaga ini.
"Namun kalau TPA, saya rasa kita tak dapat memungkiri keberadaannya dan kebutuhannya. Terlebih lagi, sekarang banyak kaum ibu yang bekerja pula. Jadi, dengan adanya TPA ini sangat menolong, kita bisa menitipkan anak untuk sementara waktu." Tentunya, sepulang dari TPA, si kecil tetap harus mendapat perhatian orang tua. "Bila sampai di rumah, orang tua acuh tak acuh saja, ya, anak akan jadi bermasalah. Ia bisa jadi pelamun, cengeng, atau frustrasi," tutur Betty. Tapi jangan lupa, lo, Pak-Bu, untuk melakukan observasi lebih dulu sebelum menitipkan si kecil ke suatu TPA.
Walaupun hanya TPA, kita tetap perlu tahu program yang dimiliki TPA tersebut. Dengan demikian, kita dapat melihat apa yang akan diberikan, diharapkan, dan tujuan dari TPA tersebut. Sebelumnya, Bapak dan Ibu juga harus mengetahui dengan pasti perkembangan yang akan dilalui anak. Misalnya, pertumbuhan fisik merupakan hal penting di usia bayi. Nah, sebisa mungkin carilah program yang mendukung perkembangan ini. "Jangan malah pilih TPA yang hanya menyajikan program menyanyi saja, misalnya. Anak seusia 0 sampai 1 tahun, kan, membutuhkan dari bernyanyi hingga mengenal warna dan bentuk," kata Betty.
Disamping program, Bapak dan Ibu juga harus melihat bagaimana tenaga pengajar di TPA tersebut. Saran Betty, pilih tenaga pengajar yang sesuai untuk bayi, yaitu yang bisa memberikan kasih sayang, rasa aman, serta melindungi pada anak. "Ia juga harus mempunyai jiwa mau berbagi dan mau mendengar aktif karena anak, kan, juga belajar dari pengajar; belajar bertingkah laku dari lingkungannya. Bila dilihat di lingkungannya banyak yang selalu tertawa, maka kemungkinan besar anak itu menjadi anak yang sumeh." Tapi kalau di lingkungannya suka marah-marah terus, maka ia pun akan mencontohnya. Bisa-bisa si kecil kelak jadi anak yang pemarah. Wah, dia bisa dijauhi teman-temannya, lo. Kasihan, kan!
Faras Handayani
KOMENTAR