"Bila anak melakukan sesuatu selalu disalahkan, 'harusnya kamu enggak begini,' sehingga akhirnya anak jadi pemalu dan selalu ragu-ragu." Yang juga berperan adalah temperamen anak. "Sejak lahir anak memang sudah punya gen pemalu," kata Evi. Selain itu, rasa malu juga bisa disebabkan kekurangan secara fisik seperti cacat tangan atau kaki. "Anak akan merasa, kok, ia berbeda dengan anak lain. Itulah yang membuatnya malu." Faktor lain, bila anak sering diejek atau diolok-olok karena rasa malunya. Misalnya, orang tua atau sang kakak menganggap rasa malu anak sebagai hal lucu sehingga si anak diketawain.
"Ini akan menambah rasa malu anak." Sama halnya dengan cap atau stigma dari lingkungan terhadap anak bahwa ia pemalu, juga akan semakin menguatkan anak bahwa ia memang pemalu. Seharusnya, kata Evi, anak pemalu jangan di-reward bahwa ia pemalu, tapi harus di-support. Misalnya, "Ayo, sayang, kamu berani, kok." Jangan malah orang tua bilang, "Anak ini memang pemalu," kala berkunjung ke tetangga, misalnya. "Ucapan demikian justru melabel anak, menguatkan konsep diri anak bahwa ia memang seorang yang pemalu." Karena, terang Evi, pada dasarnya anak batita sudah mulai tumbuh pengertian terhadap dirinya sendiri.
"Bila orang tua sering bilang, 'anak saya cakep, manis, atau pintar,' anak akan bisa mulai memahami, 'oh, ini respon positif dari orang tua.' Sementara kalau orang tua tak terlalu menghargai anak, misalnya, 'Emang, nih, pemalu banget,' juga akan berdampak ke dia." Tapi, apapun penyebabnya, rasa malu yang tak wajar bisa berdampak pada perkembangan emosi dan sosial anak. Secara emosi, anak jadi tak percaya diri, tak mandiri, ragu-ragu akan dirinya sendiri, dan pasif. Secara sosial, anak jadi takut bergaul, kurang melatih keterampilan sosialnya sehingga social skill-nya juga kurang. "Efek tak langsungnya ialah komunikasinya secara verbal juga kurang baik. Anak yang pemalu boro-boro mau main, mau ngomong saja takut," ujar Evi. Wawasan anak terhadap lingkungan kemungkinan juga tak seluas anak lain.
SECARA BERTAHAP
Nah, sudah paham, kan, Bu-Pak, kenapa si kecil jadi pemalu dan apa dampaknya? Selanjutnya yang perlu Bapak-Ibu lakukan ialah membantu si kecil mengatasi rasa malunya dengan latihan. Misalnya, sedikit demi sedikit membawa anak berkunjung ke rumah sanak keluarga. "Ini sangat membantu, lo. Apalagi bila sanak keluarga juga mempunyai anak yang sebaya. Selain melatih anak untuk tak jadi pemalu, juga akan melatih keterampilan sosialnya," tutur Evi.
Bagi anak yang pemalunya parah, misalnya, tetap tak berani main bila tak ditemani ibunya meskipun di lingkungan yang sudah dikenal, bisa dilakukan secara bertahap. Mulanya anak ditemani dulu ketika sedang bermain dengan temannya, lalu secara bertahap ditinggal sampai akhirnya ia berani sendiri. Bisa juga dengan relaksasi untuk menurunkan kecemasan anak. "Biasanya kalau sudah pemalu dan itu intens sekali sehingga anak jadi tertekan di lingkungan sosial, akhirnya ia cemas. Nah, ini bisa dengan relaksasi."
Misalnya, mengajak anak berenang atau melakukan kegiatan lainnya yang menyenangkan. Kemudian, bila anak mulai mau bergaul dengan teman-temannya, orang tua perlu memberinya reward(penghargaan). Misalnya, "Tadi menyenangkan, kan, main sama Toto." Jadi anak diberi semangat. "Dengan kata lain, mengkondisikan sejak dini pada anak bahwa berteman atau berada di suatu lingkungan sosial itu menyenangkan," jelas Evi. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengajari anak untuk melakukan positif self-talking atau berbicara pada diri sendiri tentang hal-hal positif.
"Ini bisa membantu meningkatkan kepercayaan diri anak, lo," ujar Evi. Misalnya, "Aku pintar, aku bisa melakukan ini." Tapi tentunya yang realistis, ya, bukan berkhayal. Orang tua juga perlu mencermati, kira-kira anak punya keterampilan apa. "Apa sih yang menonjol pada diri anak? Misalnya, meski pemalu, tapi anak ternyata pintar menggambar.
Nah, kembangkanlah keterampilannya ini. Dengan begitu, anak akan tahu bahwa ia punya potensi. Ini juga akan membantu meningkatkan kepercayaan diri anak," lanjutnya. Yang tak kalah penting ialah berikan atmosfer keluarga yang hangat, yaitu rasa aman sewajarnya. "Bukan berarti memanjakan, lo, tapi berikan kasih sayang sepenuhnya, kehangatan," ujar Evi. Komunikasi yang baik di keluarga juga perlu agar anak merasa aman, sehingga ia akan mempersepsikan lingkungan sekitarnya sebagai suatu situasi yang menyenangkan pula baginya.
Hasto Prianggoro
KOMENTAR