Wajar bila anak usia ini malu berteman. Tapi ia tetap harus dilatih. Kalau tidak, di usia selanjutnya ia akan sulit bergaul dan tak percaya diri.
Dito (2,5) tengah asyik bermain sendiri di teras rumahnya. Tiba-tiba datang anak tetangga, Anto (3). Spontan Dito menghentikan permainannya dan berlari ke ibunya yang tengah menungguinya. Memang bukan baru kali itu saja Dito bereaksi demikian. Ibunya sudah berusah membujuk agar Dito tak malu dan mau bermain bersama teman-teman sebayanya, tapi, toh, Dito tetap saja malu.
Menurut Evi Sukmaningrum, S.Psi., ada beberapa pola yang dikembangkan anak ketika menghadapi orang atau situasi baru. Ada yang menghindar seperti Dito dan ada yang tak menghindar tapi malah jadi reaktif, misalnya, langsung menangis.
"Ada juga yang ketika didekati cuma pasif, tapi sebenarnya ia sedang melihat situasi. Jadi, tak cuma menghindar." Anak usia batita memang akan bereaksi demikian, apalagi jika memasuki lingkungan yang masih asing atau tak familiar. "Anak butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan sesuatu yang asing sampai kemudian ia merasa nyaman dan berani," terang psikolog dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini.
Namun begitu, ada juga anak yang justru mengambil inisiatif ketika ada teman atau orang asing datang. "Berarti ia berani berinisiatif untuk berinteraksi langsung dengan anak atau orang lain meskipun belum kenal. Mungkin ia mempersepsikan lingkungan di sekitarnya adalah lingkungan yang aman, sehingga di mana pun berada ia berani, ia punya keyakinan diri," tutur Evi. Hanya perlu diwaspadai, jangan sampai "keberanian" anak larinya ke agresif. Kalau ini yang terjadi, berarti anak tak memiliki keterampilan sosial. "Anak yang memiliki keterampilan sosial tahu harus melakukan apa. Kalau anak yang begitu ketemu temannya langsung agresif, ya, berarti social skill-nya enggak bagus."
RASA MALU BAWAAN
Jadi, sebenarnya wajar saja bila pada pertemuan pertama anak bereaksi malu. Asalkan sesudah itu anak menjadi berani dan mulai berinteraksi. "Anak, kan, juga bisa menilai. Jika orang asing tadi hangat, menyenangkan, dan ramah, otomatis anak akan jadi berani. Tapi bila orang asing itu enggak ramah dan galak, tentu saja anak tak akan cepat menyesuaikan dan akan menarik diri," tutur Evi.
Bila anak berhasil mengatasi situasi baru, lanjutnya, ia akan cepat menyesuaikan diri. Kalau tidak, "mungkin ia akan menghindar terus, menangis, terus minta perlindungan, atau mengkeret tak berani." Ini yang harus diwaspadai, karena anak jadi tak bisa ditinggal, ibu atau pengasuh harus selalu ada di sampingnya, dan ia tak bisa melakukan kegiatan secara mandiri. Pendeknya, ia harus ditungguin terus meskipun ada teman-temannya. Bila demikian, berarti sudah tak wajar, "karena anak jadi tergantung," tambahnya.
Anak yang sampai lama tetap mengkeret dan malu, menurut Evi, mungkin dasarnya ia memang punya rasa malu yang tinggi. "Tentunya ini harus diatasi, agar anak tak takut bila bertemu orang lain di lingkungannya." Lagi pula, rasa malu bawaan pada dasarnya bisa diubah, kok, jika orang tua memberikan latihan terus menerus. "Meski tetap akan tertanam pada diri anak, tapi sifat pemalu bisa dieliminir, tak mendominasi kepribadiannya kelak."
FAKTOR PENYEBAB
Pemalu, terang Evi lebih lanjut, biasanya disamakan karakteristiknya dengan takut, ragu-ragu, dan tak berani mengekspresikan dirinya di lingkungan, sehingga akhirnya anak menjauhkan diri dari kontak sosial. "Ketika ada lingkungan baru, anak tak cepat masuk. Penyesuaian dirinya cenderung lambat dibanding teman-temannya. Biasanya anak butuh ditemani dulu, nggak mau ditinggal, karena ia masih malu. Dalam malu itu sendiri ada rasa takut, enggak percaya diri." Rasa malu yang tak wajar bisa disebabkan anak merasa tak aman, ada feeling insecure.
"Ia mempersepsikan lingkungan di sekitarnya bukan lingkungan yang aman baginya, sehingga ia malu, ragu-ragu, takut mengekspresikan dirinya di lingkungan," tutur Evi. Bisa jadi karena basic trust anak tak terbentuk sejak ia masih bayi. "Jadi, kepercayaan dasar kepada lingkungan kurang terbentuk saat ia masih bayi, tapi yang terbentuk adalah basic mistrust. Artinya, anak tak percaya terhadap lingkungan, sehingga larinya ke rasa malu dan ragu-ragu, tak berani berinisiatif dan berekspresi," lanjutnya. Orang tua yang over protective juga akan membuat anak menjadi malu. "Apa-apa selalu dilindungi, orang tua takut anaknya jatuh, misalnya, akhirnya akan membuat anak jadi tak berani. Ketika ia ditaruh di lingkungan baru, adaptasinya tak secepat anak lain. Mungkin ia jadi lebih dependen, bahkan bisa pasif," lanjutnya. Begitu pula dengan orang tua yang suka mengkritik anak secara berlebihan.
"Bila anak melakukan sesuatu selalu disalahkan, 'harusnya kamu enggak begini,' sehingga akhirnya anak jadi pemalu dan selalu ragu-ragu." Yang juga berperan adalah temperamen anak. "Sejak lahir anak memang sudah punya gen pemalu," kata Evi. Selain itu, rasa malu juga bisa disebabkan kekurangan secara fisik seperti cacat tangan atau kaki. "Anak akan merasa, kok, ia berbeda dengan anak lain. Itulah yang membuatnya malu." Faktor lain, bila anak sering diejek atau diolok-olok karena rasa malunya. Misalnya, orang tua atau sang kakak menganggap rasa malu anak sebagai hal lucu sehingga si anak diketawain.
"Ini akan menambah rasa malu anak." Sama halnya dengan cap atau stigma dari lingkungan terhadap anak bahwa ia pemalu, juga akan semakin menguatkan anak bahwa ia memang pemalu. Seharusnya, kata Evi, anak pemalu jangan di-reward bahwa ia pemalu, tapi harus di-support. Misalnya, "Ayo, sayang, kamu berani, kok." Jangan malah orang tua bilang, "Anak ini memang pemalu," kala berkunjung ke tetangga, misalnya. "Ucapan demikian justru melabel anak, menguatkan konsep diri anak bahwa ia memang seorang yang pemalu." Karena, terang Evi, pada dasarnya anak batita sudah mulai tumbuh pengertian terhadap dirinya sendiri.
"Bila orang tua sering bilang, 'anak saya cakep, manis, atau pintar,' anak akan bisa mulai memahami, 'oh, ini respon positif dari orang tua.' Sementara kalau orang tua tak terlalu menghargai anak, misalnya, 'Emang, nih, pemalu banget,' juga akan berdampak ke dia." Tapi, apapun penyebabnya, rasa malu yang tak wajar bisa berdampak pada perkembangan emosi dan sosial anak. Secara emosi, anak jadi tak percaya diri, tak mandiri, ragu-ragu akan dirinya sendiri, dan pasif. Secara sosial, anak jadi takut bergaul, kurang melatih keterampilan sosialnya sehingga social skill-nya juga kurang. "Efek tak langsungnya ialah komunikasinya secara verbal juga kurang baik. Anak yang pemalu boro-boro mau main, mau ngomong saja takut," ujar Evi. Wawasan anak terhadap lingkungan kemungkinan juga tak seluas anak lain.
SECARA BERTAHAP
Nah, sudah paham, kan, Bu-Pak, kenapa si kecil jadi pemalu dan apa dampaknya? Selanjutnya yang perlu Bapak-Ibu lakukan ialah membantu si kecil mengatasi rasa malunya dengan latihan. Misalnya, sedikit demi sedikit membawa anak berkunjung ke rumah sanak keluarga. "Ini sangat membantu, lo. Apalagi bila sanak keluarga juga mempunyai anak yang sebaya. Selain melatih anak untuk tak jadi pemalu, juga akan melatih keterampilan sosialnya," tutur Evi.
Bagi anak yang pemalunya parah, misalnya, tetap tak berani main bila tak ditemani ibunya meskipun di lingkungan yang sudah dikenal, bisa dilakukan secara bertahap. Mulanya anak ditemani dulu ketika sedang bermain dengan temannya, lalu secara bertahap ditinggal sampai akhirnya ia berani sendiri. Bisa juga dengan relaksasi untuk menurunkan kecemasan anak. "Biasanya kalau sudah pemalu dan itu intens sekali sehingga anak jadi tertekan di lingkungan sosial, akhirnya ia cemas. Nah, ini bisa dengan relaksasi."
Misalnya, mengajak anak berenang atau melakukan kegiatan lainnya yang menyenangkan. Kemudian, bila anak mulai mau bergaul dengan teman-temannya, orang tua perlu memberinya reward(penghargaan). Misalnya, "Tadi menyenangkan, kan, main sama Toto." Jadi anak diberi semangat. "Dengan kata lain, mengkondisikan sejak dini pada anak bahwa berteman atau berada di suatu lingkungan sosial itu menyenangkan," jelas Evi. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengajari anak untuk melakukan positif self-talking atau berbicara pada diri sendiri tentang hal-hal positif.
"Ini bisa membantu meningkatkan kepercayaan diri anak, lo," ujar Evi. Misalnya, "Aku pintar, aku bisa melakukan ini." Tapi tentunya yang realistis, ya, bukan berkhayal. Orang tua juga perlu mencermati, kira-kira anak punya keterampilan apa. "Apa sih yang menonjol pada diri anak? Misalnya, meski pemalu, tapi anak ternyata pintar menggambar.
Nah, kembangkanlah keterampilannya ini. Dengan begitu, anak akan tahu bahwa ia punya potensi. Ini juga akan membantu meningkatkan kepercayaan diri anak," lanjutnya. Yang tak kalah penting ialah berikan atmosfer keluarga yang hangat, yaitu rasa aman sewajarnya. "Bukan berarti memanjakan, lo, tapi berikan kasih sayang sepenuhnya, kehangatan," ujar Evi. Komunikasi yang baik di keluarga juga perlu agar anak merasa aman, sehingga ia akan mempersepsikan lingkungan sekitarnya sebagai suatu situasi yang menyenangkan pula baginya.
Hasto Prianggoro
KOMENTAR