Jangan lupa, ingat Enny, pada usia prasekolah konsep diri anak masih kabur. "Ia belum punya kesadaran, aku ini siapa? Konsep dirinya sedang dibentuk sehingga aku ini kekurangannya di mana tak diketahuinya." Oleh karena itu, bila terjadi hal demikian, saran Enny, orang tua harus segera memperbaikinya. "Terangkan pada anak bahwa ia keliru menangkap maksud orang tua." Katakan, misalnya, "Yang Bunda maksud manis itu bukan berperilaku seperti itu."
Lalu jelaskan "manis"nya itu seperti apa dan bahwa ia masih punya hak untuk bermain, "Kalau dalam acara pernikahan, kamu memang boleh bersikap demikian karena itu adalah bagian dari tata krama. Tapi di luar pesta perkawinan, kamu tak harus selalu bersikap demikian. Kamu bebas berlarian dan bermain bersama teman-temanmu." Dengan demikian, anak tahu persis kapan ia harus bersikap manis dan sikap manis seperti apa yang dikehendaki orang tuanya. Label positif juga akan berdampak negatif bila tak sesuai realitasnya. "Bila anak terus menerus ingin memenuhi harapan orang tuanya sementara kemampuannya tak ada, tentu bisa melelahkan dan membuatnya frustrasi," terang Enny. Memang, orang tua bermaksud baik dengan memberikan label positif walupun orang tua tahu tak sesuai realitasnya, yaitu demi mendorong agar anak jadi pintar atau rajin. "Tapi kalau orang tua memberikan label diluar ukurannya, anak jadi kurang kepercayaan dirinya. Misalnya, ia obesitas atau kegemukan tapi orang tuanya bilang ia anak cantik, langsing, dan sebagainya," lanjutnya. Konsep dirinya juga jadi salah, kan! Jadi, Bu-Pak, hati-hati, ya, dalam memberikan label positif dan terlebih lagi label negatif.
NAMA KESAYANGAN BUKAN LABEL
Seringkali orang tua memanggil anaknya dengan nama kesayangan yang tak ada kaitan sama sekali dengan nama sebenarnya si anak, seperti si Unyil, Cipluk, Gendut, dan sebagainya. Kendati nama-nama tersebut juga tak nyaman didengar, namun menurut Enny Hanum, dampaknya berbeda bagi anak, "karena saat orang tua mengucapkan nama itu, anak menangkap situasi yang berbeda, yaitu dalam kondisi kesayangan. Jadi, anak akan mengasosiasikannya dengan kedekatan dan rasa sayang orang tua, sehingga tak ada perasaan tak nyaman pada diri anak kala nama itu diucapkan." Memang, lanjut Enny, bila anak sudah mempunyai kelompok bermain kerap kali tak mau dipanggil dengan nama tersebut karena ledekan teman-temannya. "Tapi jangan lupa, lo, di rumah kadang anak hanya mau dipanggil dengan nama kesayangannya itu. Bahkan sampai anak besar pun masih suka dipanggil dengan nama kesayangannya karena adanya hubungan yang intim, yang punya arti khusus." Jadi, berbeda dengan label negatif, panggilan kesayangan tak akan mengubah konsep diri anak.
DIBERI LABEL OLEH LINGKUNGAN
Kadang, label diberikan bukan oleh orang tua, melainkan lingkungan. Sepulang bermain, si kecil lantas "mengadu", "Ayah, tadi aku dikatain anak nakal sama ibunya Doni." Nah, bagaimana reaksi Anda? "Sebaiknya orang tua segera menganulirnya, 'Tidak, Nak, kamu tidak nakal, hanya terlalu aktif.'," saran Enny Hanum. Dengan demikian, anak akan berpikir, "Oh, aku enggak nakal, kok." Tapi sebelumnya orang tua harus tanya dulu, "Mengapa kamu dibilang nakal?" Misalnya, karena ia berlari-larian di rumah sang teman. Nah, jelaskan padanya, "Buat keluarga Doni, lari-larian di dalam rumah itu enggak boleh tapi kalau di rumah ini boleh. Kenapa begitu? Ya, karena begitu peraturannya. Di sana rumah Doni, punya aturan yang berbeda." Menurut Enny, label yang diberikan oleh lingkungan atau orang yang tak dekat secara emosi dengan anak tak begitu berpengaruh pada anak. "Toh, ia bisa bilang ke orang tuanya dan orang tua bisa segera menganulirnya." Lain halnya bila label datang dari orang yang kehidupan sehari-harinya dekat dan tiap hari didengarnya, "anak akan berpikiran, 'Oh, aku memang begitu.'"
Jadi, saran Enny, tak usah terlalu dicemaskan bila anak mendapat label dari lingkungan. Juga tak perlu sampai orang tua melarang anak bermain ke luar rumah atau memindahkannya "sekolah" ke lain tempat. "Kalau kita memang ingin anak menjadi pribadi yang kuat, sebaiknya didik anak untuk mengatasi problem di lingkungannya. Kalau tidak, besarnya nanti ia tak akan bisa bermasyarakat. Jadi, lebih baik menguatkan dia agar lebih survive dalam menghadapi masyarakat." Caranya, ya, dengan memberi pemahaman atau menganulirnya bahwa ia tak seperti label yang diberikan tersebut.
Misalnya, "Betul bahwa kamu keliru, tapi keliru itu bisa diperbaiki. Disebut nakal bila kamu sudah diberitahu mana yang boleh dan tak boleh, tapi dengan sengaja melakukannya terus-menerus. Nah, itu yang namanya nakal. Tapi kamu sebenarnya enggak nakal, kok, kamu anak baik. Karena kamu anak baik, maka kamu tahu itu keliru, kan?" Tentunya minta agar ia tak berbuat keliru lagi, sehingga ia tak akan lagi disebut nakal. "Papa-Mama pernah keliru, kamu juga pernah keliru. Tapi karena kamu anak baik, maka kamu tak akan lakukan lagi."
Nah, dengan meng-handle perasaannya terlebih dulu, maka dampak konsep diri yang salah pun tak akan terjadi. Bila anak diberi label negatif oleh lingkungan namun orang tua tak tahu, maka orang tua harus peka. "Anak, kan, pasti merasa tak nyaman dengan diberi label negatif. Nah, ini akan jelas terlihat dari perilakunya walaupun ia tak bilang ke orang tuanya." Misalnya, ia tak mau main lagi ke luar rumah. Orang tua yang peka tentunya akan melihat perubahan tersebut, lalu tanyakan pada si anak. Dari situlah orang tua bisa tahu dan memberikan penjelasan padanya.
Indah Mulatsih / nakita
KOMENTAR