Tak ada yang dirasa aneh oleh Minati Atmanegara saat melihat putranya "hobi" berjalan jinjit. Ia bahkan menganggapnya lucu, laiknya melihat bocah kecil yang baru belajar berjalan. Ketika beranjak besar, ternyata cara berjalannya tak kunjung berubah. Minati pun mulai resah. Kebiasaan "aneh" itu telah pula mengubah tulang betis si kecil, yang otomatis juga mengubah struktur pinggulnya.
"Bahkan, ia kemudian menderita peradangan di sendi. Dia mulai pincang, enggak bisa jalan, pergelangan bengkak, dan akhirnya harus pakai kursi roda," ujar artis yang kini menekuni bisnis senam. Klimaksnya terjadi saat sang putra duduk di kelas 5 SD. "Saat itu, mendengar ketukan saja, ia sudah kesakitan akibat getaran yang ditimbulkan suara itu," kenang Minati.
Saat itu, barulah Minati sadar, ada yang tak beres dengan kondisi putranya itu. Benar juga, setelah dibawa ke dokter, ia divonis terkena penyakit rematik genetik atau ankylosing spondylitis (AS). "Kata dokter, jika tak segera diatasi, dikhawatirkan bisa terjadi cacat permanen," tutur Minati di studio senamnya beberapa waktu lalu.
Apa sebetulnya rematik genetik? Penyakit peradangan kronis yang menyerang sendi-sendi tulang belakang ini merupakan penyakit yang diturunkan dan cenderung menyerang mereka yang berdarah campuran. "Ayah saya asli Sunda, ibu dari Jerman. Ibu mertua saya campuran Belanda dan Padang, sementara bapak mertua campuran Jawa dan Swiss. Mungkin itu faktor penyebabnya," ujar Minati.
Namun, selain faktor genetis, masih ada faktor pencetus. "Tanpa faktor bakat dan faktor pencetus, seseorang tidak bakal terserang AS. Sayangnya, faktor pencetus ini sampai sekarang belum diketahui penyebabnya," ujar dr. Harry Isbagio, Sp.PD-KR, Ketua Sub-bagian Rematologi FKUI.
GEJALA RASA NYERI
Gejala rematik genetik terjadi terutama dimulai di usia sekitar 20-an, bahkan ada beberapa yang di bawah usia 20 tahun. Secara perlahan, penyakit ini akan berkembang, sampai puncaknya biasa terjadi di usia 40-45 tahun. Gejala utamanya, nyeri pinggang bagian bawah. "Kita juga harus menduga seseorang menderita AS jika dia lelaki, karena penyakit ini lebih banyak menyerang lelaki daripada perempuan," ujar Harry. Perbandingan penderita lelaki dan perempuan kira-kira 8:1.
"Penderita penyakit ini adalah lelaki usia muda sekitar 20 tahun yang menderita sakit pinggang terus menerus lebih dari tiga bulan," papar Harry. Rasa sakit ini bukan seperti rasa sakit akibat kecelakaan atau faktor lain, seperti akibat mengangkat beban kelewat berat. Gejala juga bisa muncul sebelum usia 16 tahun, yang disebut dengan juvenile ankylosing spondylitis. Ini juga yang dialami oleh putra Minati.
Gejala awal berupa rasa nyeri biasanya akan bertambah parah saat penderita bangun tidur di pagi hari. Baru setelah banyak melakukan gerak, rasa nyeri berkurang. "Gerakan-gerakan ini membuat rasa kaku dan nyeri di pinggang berkurang. Pasalnya, dengan bergerak, pinggang atau bagian lain yang sakit pun dilenturkan." Yang sering terjadi, sakit di pinggang dianggap sebagai sakit pinggang biasa karena kecelakaan, mengangkat beban berat, atau saraf terjepit. Bahkan, "Pernah ada penderita yang melakukan operasi karena mengira rasa sakitnya itu akibat saraf terjepit."
Sakit di pinggang disebabkan oleh keadaan yang disebut entesopathy, yaitu radang pada tempat melekatnya ligamen dengan tulang belakang. Ligamen berfungsi menghubungkan dua ruas tulang belakang. Setelah peradangan terjadi cukup lama, akan terjadi pembentukan tulang baru, dan dua ruas tulang belakang ini bisa menyatu. Proses penyatuan ini berjalan lambat, dan setiap tahun akan terjadi pengulangan menyatunya dua ruas tulang belakang. "Proses ini terjadi dari pinggang sampai leher. Dimulai di usia 20-an, dan lambat-laun, saat penderita berusia 40-an tahun, ruas akan menyatu. Proses penyatuannya mirip pohon bambu," cerita Harry.
Ruas tulang belakang yang menyatu akan mengakibatkan penderita sulit menggerakkan badan. Akibatnya, ia jadi susah membungkuk. Dan jika sudah bungkuk, sulit ditegakkan kembali. Atau jika leher yang terserang, menengok pun menjadi pekerjaan yang nyaris mustahil dilakukan.
"Untuk menengok, seluruh badan harus ikut bergerak," kata Harry. Bahkan, pada tingkat berat, tubuh penderita akan membungkuk seperti tanda baca koma. Penderita tak bisa tidur terlentang karena tubuhnya yang "melengkung," dan terpaksa tidur dalam posisi miring.
Selain nyeri di pinggang, rematik genetik juga bisa menyerang sendi peripheral, yaitu sendi sentral yang pusatnya di tulang belakang manusia. Sendi peripheral ini adalah lutut, jari tangan, jari kaki, juga siku. Kondisi ini menyerang 20 persen dari jumlah seluruh pasien. "Yang paling sering diserang adalah pergelangan kaki, lutut, panggul, dan bahu. Biasanya pasien mengeluh rasa sakitnya juga di bagian itu," tutur Harry. Ada kemungkinan, nyeri pada pinggang dan sendi peripheral itu juga disertai penyakit lain yang menyerang mata, kulit, saluran cerna, dan varian lain.
Bestantia Indraswati
KOMENTAR