Ibu Rieny yang terhormat,
Salam perkenalan. Alangkah bahagianya jika lembaran putih ini sampai ke tangan Ibu. Semoga keadaan Ibu dan keluarga sehat dan selalu dalam lindungan Tuhan YME (terima kasih, RH).
Saya lulusan D1 kebidanan, punya seorang adik laki-laki dan sekarang sudah kerja. Ayah saya petani yang ulet, sehingga dengan hasil kerjanya beliau bisa menyekolahkan saya dan Adik (kami 2 orang bersaudara) sampai akhirnya bekerja.
Tragedi menimpa keluarga kami. Tahun 1997, Ayah selingkuh dengan ipar ibu, dan mengajaknya tinggal di rumah. Waktu itu, saya masih sekolah di kota. Yang ada di rumah hanya Adik dan Ibu. Adik tidak tahu kalau di antara Ayah dan Bibi ada hubungan, sementara Ibu tahu tapi diam, tidak berani bicara karena selalu diancam mau dibunuh. Waktu itu Adik kelas II SMU. Saya pun tidak tahu, karena mereka (Ayah, Ibu dan Bibi) memang punya bisnis buah-buahan. Sampai akhirnya, saya mendengar gosip tak sedap itu. Saat saya tanya Ibu, beliau hanya diam dan kadang mengatakan semua itu bohong.
Singkat kata, Paman dan Bibi cerai. Dan ketika semua itu saya tanyakan kepada Ayah, beliau bilang, jangan percaya orang lain. "Mereka hanya iri pada kita," begitu kata beliau. Dan kalau ada bukti, kata beliau, kami anak-anaknya boleh bicara. Akhirnya saya pun diam.
Waktu terus berlalu, sampai akhirnya di bulan Januari 2000, saya tahu perselingkuhan mereka. Saya dan Adik sudah bekerja waktu itu. Saat itu pula saya adakan rapat keluarga bersama Paman (adik ayah). Saat itu, Ayah hanya menangis dan diam, dan Ibu diancam dibunuh lagi. Demi keselamatan Ibu, akhirnya Ibu tinggal bersama saya, begitu juga Adik. Saya beri waktu Ayah sebulan untuk berpikir mencari jalan terbaik. Mau nikah atau tidak, kami sudah siap.
Ibu akhirnya kena tekanan darah tinggi serta gangguan lambung (mag). Sebulan kemudian, kami pulang. Dan apa yang terjadi, Bu Rieny? Ayah dan Bibi masih tetap tinggal serumah. Akhirnya, Ibu dan Bibi bertengkar hebat, sedang saya dan Adik dipegangi Ayah. Bibi kemudian melapor ke polisi.
Karena jengkel, kami pun merusak mobil Bibi. Akibatnya, kami ditangkap polisi dan harus memberi ganti rugi Rp 8 juta. Sepeda motor kami kemudian diambil juga oleh Ayah, sehingga kami tak punya apa-apa. Ibu hanya bisa menangis. Akhirnya, saya harus menanggung Ibu dan Adik yang waktu itu sudah nggak bekerja lagi. Saya benar-benar pasrah, meski pernah hampir bunuh diri. Ibu akhirnya meninggal dunia akibat jatuh dari sepeda motor. Ketika dicek, ternyata tekanan darahnya naik dan pembuluh darah di otak pecah.
Betapa hancurnya hati saya, orang yang benar-benar saya cintai telah meninggalkan kami berdua. Sejak saat itu, saya makin benci pada Ayah, meski kepada jiwa raganya saya amat menghormatinya. Kini, saya dan Adik jarang pulang ke rumah, bahkan tak pernah menginap.
Kasus yang melibatkan saya dan Adik sekarang sudah selesai, dengan putusan tahanan rumah. Kami pun menganggap semua sudah selesai. Selama ini, hubungan kami dengan Ayah sangat renggang, padahal Ayah ingin kami dekat dengan beliau, sementara kami sangat benci pada Bibi yang sampai sekarang masih kumpul kebo di rumah.
Yang ingin saya tanyakan, apakah selama ini saya salah karena belum bisa memaafkan kesalahan Ayah hingga akhirnya Ibu jadi korban. Saat ini, keluarga Ibu sangat benci Ayah, sehingga kalau kami akur kembali dengan Ayah, keluarga Ibu tidak mau menerima kami sebagai keponakan. Bu Rieny pasti tahu adat kami yang menganut patrilineal.
Saya ingin punya keluarga yang utuh, meski harus ada ibu tiri. Apalagi Adik ingin kuliah lagi. Dia tidak mau menyusahkan saya, karena saya masih punya utang untuk biaya pemakaman Ibu dan cicilan motor. Saya pun ingin melanjutkan sekolah, ingin kuliah lagi. Apa yang harus saya lakukan Bu Rieny? Rasanya, saya juga segan ngomong kepada Ayah, karena selalu dihantui bayangan Ibu. Tolong beri saya solusi. Terima kasih.
Gadis di X
Gadis sayang,
Anda pastilah dipilih Tuhan untuk menjadi "orang kuat", karena diberi cobaan demikian
beratnya di usia yang masih sangat muda. Bukti bahwa Anda kuat sudah banyak. Membiayai Adik dan Ibu, memungkinkan Ibu memperoleh penghormatan akhir yang layak saat pemakamannya, dan kini mampu pula memelihara keinginan untuk tetap kuliah dan maju di dalam hidup.
Maka, saya yakin bila Anda tetap mempertahankan semangat dan kegigihan yang selama ini sudah Anda miliki, apa pun cita-cita Anda, pasti bisa dicapai. Apalagi bila Anda bisa mengurangi halangan dan rintangan yang "bercokol" di dalam hati dan pikiran Anda. Tahukah Anda bahwa penghalang terbesar itu justru adalah perasaan marah dan dendam yang tak berkesudahan?
Banyak sekali enerji yang harus kita kerahkan untuk memelihara perasaan marah, dendam dan kebencian, Gadis. Ada pakar kesehatan yang mengatakan bahwa kita membutuhkan 6 kali enerji yang lebih banyak untuk marah, dibandingkan enerji untuk menjalani hidup dalam keadaan emosi yang tidak sedang bergejolak. Apalagi kalau marah itu harus kita pelihara terus agar intensitas atau derajatnya tetap tinggi di dalam dada, bukan?
Kalau saya katakan, "Maafkanlah ayah Anda," mungkin Gadis akan mencibir dan mengatakan: "Enaknya bicara, coba Ibu rasakan diadukan oleh ayah kandung dan Bibi ke polisi!" Benar, maka itu di awal tadi saya katakan, pastilah Anda sangat disayang Tuhan karena terpilih untuk memperoleh cobaan begitu berat! Sayangnya, itulah memang solusi paling jitu yang akan membahagiakan Anda dan akan membuat daya dorong untuk mencapai kemajuan meningkat pesat!
Sebagai anak, apalagi perem puan, sangat wajar bila kepahitan dan penderitaan Ibu yang ditimbulkan oleh perempuan lain dalam kehidupan Ayah benar-benar mampu Anda hayati. Tetapi, kalau hati Anda sedang tenang dan jernih, coba deh untuk melihat lagi dengan seksama, apakah di dalam sikap buruknya pada istri, Ayah masih mampu memperlihatkan hal-hal yang baik sebagai Ayah untuk kedua anaknya?
Ada banyak suami buruk tetapi merupakan ayah yang baik bagi anak-anaknya. Hanya saja, peluang mereka untuk melakukan ini biasanya menjadi demikian kecilnya, karena dalam situasi sedang disakiti, istri biasanya akan "bergantung" pada anak-anak, sehingga keberpihakan anak-anak pada ibunya lalu menghalangi upaya seorang ayah untuk menunjukkan sisi-sisi baiknya. Artinya, bila Ayah memberi tanda-tanda bahwa ia ingin Adik (dan juga Anda) bersekolah lagi dengan biayanya, kenapa tidak dilihat sebagai upaya Ayah untuk memenuhi kewajibannya pada anak?
Ibunda sudah sangat damai bersama Tuhan, dan beliau pastilah tidak memiliki kebutuhan adanya "perpanjangan tangan" untuk memelihara dendam akibat pertikaiannya dengan suaminya. Karena Anda masih hidup di dunia, maka Anda lalu memakai ukuran-ukuran keduniaan, sehingga berpendapat bahwa berbaikan dengan Ayah berarti mengkhianati Ibu!
Untuk mencintai secara tulus seperti kebanyakan anak kepada ayahnya, saya yakin di masa sekarang pasti masih susah, tetapi untuk tetap memelihara silaturahmi dan menjaga agar tidak putus hubungan sama sekali, bukankah ini adalah sebuah pertanda bahwa Anda berhati mulia? Bagaimana manusia akan meninggal, pasti Anda sependapat dengan saya, adalah rahasia Tuhan, dan ketika mati datang, salah satu penanda keimanan kita adalah keikhlasan untuk menerimanya, bukan?
Situasi yang Anda alami memang tidak mudah diselesaikan kalau tidak disertai kebesaran hati untuk mencoba memahami bahwa peristiwa itu memang sudah terjadi, dan sudah berlalu pula. Akan tetapi, itu menjadi mungkin dan berpeluang dibuat lebih baik (kalau toh tak tuntas terselesaikan) dengan kesediaan Anda dan Adik untuk memelihara hubungan dengan Ayah.
Bertahap sajalah. Kalau masih belum bisa datang ke rumah, minta bertemu sejenak untuk makan siang bersama di restoran, misalnya. Lalu, meningkat lagi, Ayah yang datang ke rumah Anda. Kalau sudah lebih baik, siapkah Anda untuk menerima Bibi? Bila tidak, katakan saja terus-terang pada Ayah bahwa Anda dan Adik masih butuh waktu untuk itu. Yang penting, setiap bertemu, berilah kesan menyenangkan pada Ayah.
Dengan demikian, Ayah pasti akan merindukan saat kebersamaan dengan anak-anaknya, dan siapa tahu, ia lalu bisa menoleh ke belakang dengan kearifan berbeda dan mengatakan pada dirinya: "Iya ya, anak-anakku sebenarnya yang paling menderita akibat perselingkuhanku." Kalau ia hanya mendapat "kesenangan" dari "kebo" yang dikumpuli-nya, sementara Anda dan Adik jauh darinya, wajarlah kalau ia lalu lekat ke sana dan makin jauh dari Anda.
Proses ini tidak bisa dipaksakan pada Anda dan Adik. Hanya kesadaran bahwa ganjelan berupa kemarahan dan kebencian yang dipelihara malah akan merusak jiwa itulah yang akan jadi obat mujarab untuk segala unek-unek yang Anda rasakan. Belajarlah untuk memaafkan, Gadis sayang, dan percayalah, ini beraaaat sekali. Karena itu, harus selalu kita pelajari, bahkan sampai di usia setua saya sekali pun.
Harus saya akui, untuk saya sendiri pun, ini masih tetap menjadi pe-er, pekerjaan rumah, yang selalu saya "garap" di hati, dengan selalu mengatakan pada diri, sebagai manusia, kita pun punya banyak sekali kekurangan. Maka itu, berkaca pada kemarahan kita pada orang lain dan mencoba meredamnya, akan membuat kita makin tahu betapa lemahnya diri ini sebagai manusia dan betapa besarnya genggaman kekuasaan Tuhan atas kita, karena walau susah, toh kita tetap diberi peluang untuk melakukannya. Dengan imbalan yang sangat besar pula!
Bukankah janji Tuhan adalah kita akan dimuliakan di sisi-Nya kalau kita pandai memaafkan? Yuk, dicoba ya, Gadis. Ajak Adik dan juga saudara-saudara Ibunda untuk melakukannya. Mudah-mudahan, ini kelak akan berbuah manis, sehingga Anda, Adik, Ayah, dan saudara lain akan mampu melihat lebih jernih, siapa sesungguhnya yang memang berharga sebagai manusia, sehingga memang patut untuk dihormati! Salam sayang.
KOMENTAR